TIMES MALANG, MALANG – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pemerintah untuk menggratiskan biaya pendidikan dasar dan menengah, termasuk di sekolah swasta, disambut sebagai angin segar bagi keluarga tidak mampu. Namun di tengah geliat implementasi kebijakan ini, publik mempertanyakan keberlanjutan dan urgensi program sekolah rakyat yang digagas pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial (Kemensos).
Program sekolah rakyat yang ditujukan bagi warga miskin kini dinilai berpotensi kehilangan relevansinya. Salah satu yang mengkritisi hal ini adalah Aulia Luqman Aziz, pengamat pendidikan dari Universitas Brawijaya.
“Sebetulnya sejak awal sekolah rakyat ini tidak perlu menurut saya. Pertama karena leading sector-nya adalah Kemensos. Apa sesuai dengan tupoksi Kemensos?” ujarnya saat diwawancarai, Rabu (28/5/2025).
Luqman menyoroti ketidaksesuaian mandat kelembagaan antara Kemensos dan penyelenggaraan pendidikan. Ia menilai urusan pendidikan seharusnya menjadi tanggung jawab utama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), bukan kementerian sosial.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti stigma sosial yang berpotensi melekat pada peserta didik sekolah rakyat, karena program ini identik dengan kemiskinan.
“Dari pemberitaan yang saya baca, citra sekolah rakyat melekat sekali dengan warga miskin. Saya khawatir nanti berpengaruh ke psikologis warga sekolah. Oh, itu sekolah miskin. Isinya orang-orang miskin,” jelasnya.
Daripada mengembangkan sekolah alternatif, menurut Luqman, pemerintah seharusnya memperkuat sistem pendidikan formal yang inklusif dan benar-benar gratis. Ia juga menyinggung praktik seleksi masuk jenjang pendidikan yang dinilai masih menjadi hambatan.
“Menurut saya, daripada bikin sekolah rakyat, mending alokasikan dana untuk memastikan setiap anak Indonesia bisa sekolah SD sampai SMA gratis, dan tanpa seleksi,” katanya.
Putusan MK sendiri menandai babak baru dalam reformasi pendidikan di Indonesia. Dengan mandat yang tegas untuk menjamin pendidikan gratis bagi semua anak, termasuk di sekolah swasta, perhatian kini tertuju pada kemampuan pemerintah pusat dan daerah untuk menyusun strategi pembiayaan yang efektif dan adil.
Di sisi lain, eksistensi sekolah rakyat yang awalnya ditujukan untuk menutup celah akses pendidikan, kini dipertanyakan. Apakah program ini masih relevan dalam konteks kebijakan baru? Ataukah sudah waktunya untuk mengalihkan fokus ke reformasi menyeluruh sistem pendidikan nasional yang bebas dari stigma sosial?
Para pengamat pun berharap bahwa semangat konstitusional dalam menjamin hak pendidikan benar-benar diwujudkan dengan kebijakan yang terstruktur, tidak diskriminatif, dan menyentuh akar permasalahan pendidikan di Indonesia. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Imadudin Muhammad |