TIMES MALANG, TANGERANG – Pemerintah saat ini sedang merancang sebuah program yang bertujuan untuk memperluas akses pendidikan. Program tersebut adalah Sekolah Rakyat (SR), sebuah program sekolah gratis yang ditujukan untuk anak-anak dari keluarga miskin atau miskin ekstrem, dengan tujuan memberikan akses pendidikan berkualitas dan mengurangi angka putus sekolah. Rencananya, program ini akan dikelola oleh kementerian sosial dan akan dilangsungkan di 53 titik tahun ini.
Namun, program tersebut juga banyak menuai kontra di masyarakat. Program ini dinilai tidak efisien, karena pemerintah belum lama ini telah melakukan efisiensi besar-besaran. Sedangkan program ini rencananya akan dibuat berasrama, yang mana akan memakan banyak biaya.
Sejarah sudah membuktikan kegagalan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Kebijakan pendidikan yang kurang memiliki kajian mendalam serta minim persiapan berakhir di tengah jalan. Padahal, pemerintah daerah sudah banyak yang terlanjur membangun infrastruktur sekolah, tetapi sekarang terbengkalai dan harus dimanfaatkan untuk tujuan lain.
Tidak hanya itu, banyak juga dari masyarakat yang bertanya-tanya mengapa pemerintah tidak memanfaatkan sekolah yang sudah ada, agar tidak menghambur-hamburkan anggaran negara. Masyarakat menganggap bahwa dengan memanfaatkan sekolah yang ada, pemerintah hanya perlu membangun di daerah yang aksesnya sulit dan sangat jauh dari rumah mereka.
Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah memanfaatkan sekolah-sekolah yang sudah ada. Selain dinilai lebih efisien, juga dinilai dapat meminimalisir terjadinya kesenjangan sosial, di mana akan ada kelas sosial di masyarakat. Kelas sosial ini dinilai membedakan-bedakan atau menjadi simbol mendukung ketidaksetaraan.
Kelas sosial sendiri adalah pengelompokan masyarakat yang didasarkan pada berbagai faktor seperti kekayaan, pendapatan, pendidikan, dan pekerjaan, yang membentuk lapisan sosial dalam masyarakat. Pengelompokan ini menciptakan perbedaan hierarki dan perbedaan dalam akses terhadap sumber daya dan peluang.
Pemerintah telah melakukan sebuah pembaruan dalam dunia pendidikan yang tujuannya untuk pemerataan. Namun, seharusnya pemerintah juga perlu melakukan tindakan-tindakan yang lebih signifikan dalam menjalankan niat baik tersebut, agar niat baik tersebut tidak menjadi buruk dalam pengaplikasiannya, karena pengelompokan tersebut dinilai tidak berkeadilan sosial.
Saat ini saja, banyak terjadi kecemburuan sosial, seperti anak yang bisa berkuliah di kampus negeri setelah lulus ujian dan mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP), sementara mereka yang kecerdasan intelektualnya di bawah rata-rata tidak bisa lulus ujian dan tidak bisa mendapatkan KIP.
Padahal, lembaga pendidikan adalah tempat belajar bagi setiap warga negara. Akan tetapi, mengapa harus ada penyeleksian? Bukankah lembaga pendidikan itu tempat untuk mencerdaskan anak bangsa? Tapi mengapa harus pilih-pilih dalam mencerdaskan?
Sistem seleksi menurut penulis adalah bentuk dari pembatasan terhadap hak mendapatkan fasilitas belajar yang baik. Apabila sistem tersebut dinilai sebagai pemantik agar generasi mampu berkompetisi atau menguji keseriusan anak dalam belajar, mengapa pemerintah tidak membuat pembaruan dalam sistem tersebut?
Seperti penyeleksian yang tidak diadakan di awal masuk, tetapi pada saat telah dimulainya proses belajar mengajar, sistem ini dilakukan selama 6 bulan atau sekurang-kurangnya 2 bulan.
Artinya, pembaruan ini untuk memberikan kesempatan bagi setiap warga negara, baik yang memiliki kecerdasan intelektual di atas rata-rata maupun di bawah rata-rata. Tujuannya agar tidak ada kelas sosial dan menciptakan keadilan sosial yang sesungguhnya.
Dengan demikian, program Sekolah Rakyat ini adalah langkah yang sangat bagus dari pemerintah dalam melihat pendidikan yang belum merata. Namun, perlu diperhatikan agar kemerataan tempat belajarnya terpenuhi, tetapi tidak menimbulkan ketidakmerataan yang baru, yaitu adanya kelas sosial yang berdampak pada kesenjangan sosial nantinya.
Maka dari itu, jika pemerintah benar-benar ingin pendidikan yang merata, pemerintah harus fokus terlebih dahulu membangun di daerah yang benar-benar tidak ada lembaga pendidikan sama sekali, dan mereka yang harus berjalan jauh untuk ke sekolah serta aksesnya yang sangat ekstrem.
Daerah-daerah tersebutlah yang sudah pasti tepat sasaran dalam program ini dibandingkan fokus di pinggir kota, tetapi tidak tepat sasaran.
Oleh karena itu, program ini dapat tepat sasaran dan tidak menimbulkan kesenjangan sosial yang baru. Pemerintah harus fokus pada pembangunan infrastruktur pendidikan di daerah-daerah yang benar-benar membutuhkan, bukan hanya di pinggiran kota.
Dengan demikian, kita dapat menciptakan keadilan sosial yang sesungguhnya dan memberikan akses pendidikan yang berkualitas bagi semua anak bangsa.
***
*) Oleh : Muhamad Razbi Cipta Ilahi, Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |