TIMES MALANG, BONDOWOSO – Dalam tradisi berbuka puasa, salah satu ungkapan yang sering kita dengar adalah "berbuka dengan yang manis". Ungkapan ini bukan sekadar ajakan untuk mengonsumsi makanan manis saat berbuka, tetapi memiliki makna yang lebih luas.
Baik dari segi kesehatan, sosial, maupun emosional. Memahami filosofi di balik ungkapan ini akan memperkaya pengalaman kita dalam menjalankan puasa dan menjadikan momen berbuka lebih bermakna.
Secara fisiologis, berpuasa selama lebih dari 12 jam membuat kadar gula dalam darah menurun. Itulah sebabnya, makanan yang mengandung gula alami seperti kurma menjadi pilihan ideal untuk berbuka.
Kurma mengandung glukosa yang mudah dicerna oleh tubuh, sehingga dapat mengembalikan energi dengan cepat tanpa memberikan lonjakan gula yang berlebihan.
Selain kurma, makanan lain seperti madu, buah-buahan manis, atau jus alami juga dapat menjadi pilihan yang baik. Mengonsumsi makanan manis alami saat berbuka membantu tubuh menyesuaikan diri setelah seharian tidak mendapatkan asupan makanan dan minuman.
Namun, perlu diingat bahwa tidak semua yang manis baik untuk kesehatan. Konsumsi gula berlebihan dari makanan olahan atau minuman berkadar gula tinggi justru dapat berdampak buruk bagi kesehatan, seperti meningkatkan risiko obesitas dan diabetes.
Berbuka dengan yang manis juga bisa dimaknai dalam konteks sosial dan emosional. Momen berbuka puasa sering kali menjadi kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga, sahabat, atau komunitas.
Di meja makan, kita tidak hanya berbagi makanan, tetapi juga berbagi cerita, kebahagiaan, dan kehangatan. Hal ini menciptakan suasana yang manis dalam arti emosional.
Dalam banyak budaya, berbuka puasa bukan hanya tentang makan dan minum, tetapi juga tentang mempererat hubungan dengan orang-orang terdekat. Tradisi berbagi takjil di lingkungan sekitar mencerminkan nilai kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama.
Seseorang yang berbagi makanan dengan orang lain, terutama mereka yang membutuhkan, akan mendapatkan kepuasan batin dan mempererat hubungan sosial.
Selain makanan dan kebersamaan, "yang manis" juga dapat diartikan sebagai sikap dan hati yang penuh kebaikan. Puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga melatih diri untuk memiliki hati yang lebih sabar, bersyukur, dan penuh kasih sayang.
Berbuka dengan yang manis berarti menyambut waktu berbuka dengan hati yang tenang, penuh rasa syukur, dan menjauhi amarah atau emosi negatif.
Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang yang memiliki hati yang lembut adalah mereka yang selalu berkata baik, bersikap ramah, serta menjauhi prasangka buruk dan dendam. Puasa adalah waktu yang tepat untuk merefleksikan diri dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.
Dengan demikian, berbuka dengan yang manis tidak hanya sebatas makanan, tetapi juga tentang bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menjadi lebih baik dalam kehidupan sehari-hari.
Saat waktu berbuka tiba, momen tersebut menjadi waktu yang paling dinantikan. Rasa syukur atas nikmat makanan dan minuman begitu terasa. Di berbagai belahan dunia, masih banyak orang yang kurang beruntung dan kesulitan mendapatkan makanan untuk berbuka.
Oleh karena itu, menikmati makanan berbuka dengan penuh kesadaran dan rasa syukur menjadi bentuk penghargaan terhadap apa yang dimiliki.
Kita juga diajarkan untuk tidak berlebihan dalam berbuka. Meskipun berbuka adalah waktu untuk mengembalikan energi, bukan berarti kita harus makan berlebihan. Sebaiknya, makanan dikonsumsi dengan porsi yang cukup agar tubuh tetap sehat dan bertenaga.
Pemaknaan berbuka dengan yang manis juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di luar bulan puasa. Kita bisa menerapkan kebiasaan berbagi, menjaga hubungan sosial yang harmonis, serta membiasakan diri untuk selalu bersikap baik dan penuh kasih sayang terhadap orang lain.
Sikap manis dalam bertutur kata, dalam memberikan bantuan, serta dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan adalah cerminan dari pribadi yang matang secara emosional.
Puasa mengajarkan kita bahwa menahan diri bukan hanya soal menahan lapar, tetapi juga tentang bagaimana kita menjadi manusia yang lebih baik setelahnya.
"Berbuka dengan yang manis" bukan hanya soal makanan yang dikonsumsi, tetapi juga tentang bagaimana kita mengisi waktu berbuka dengan kebersamaan, sikap positif, dan rasa syukur.
Dengan memahami makna mendalam dari ungkapan ini, kita dapat menjadikan puasa sebagai waktu yang penuh makna dan menjadikannya sebagai bekal dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, marilah kita tidak hanya menikmati manisnya makanan saat berbuka, tetapi juga manisnya hati, sikap, dan hubungan dengan sesama.
Dengan begitu, puasa tidak hanya menjadi rutinitas tahunan, tetapi juga menjadi momen transformasi diri menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih bermakna.
***
*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso. Dewan Pakar Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Bondowoso.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |