https://malang.times.co.id/
Opini

Kedaulatan Pangan Nasional

Rabu, 17 September 2025 - 21:32
Kedaulatan Pangan Nasional Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Setiap hari kita makan nasi, sayur, buah, dan lauk-pauk yang mestinya lahir dari tanah subur Nusantara. Ironisnya, kebutuhan pangan yang menjadi urat nadi bangsa ini justru semakin bergantung pada impor. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2024 impor beras Indonesia mencapai lebih dari 3,5 juta ton, sementara impor kedelai dan gandum bahkan jauh lebih tinggi. 

Di satu sisi, pemerintah lantang menyuarakan kedaulatan pangan. Namun di sisi lain, wajah nyata di lapangan menunjukkan bahwa petani, yang semestinya menjadi garda terdepan, justru kerap terpinggirkan.

Kita sering mendengar jargon “Indonesia negeri agraris.” Akan tetapi, jargon itu seakan hanya tinggal narasi kosong tanpa keberpihakan yang nyata. Lahan pertanian menyusut drastis akibat alih fungsi tanah menjadi perumahan, kawasan industri, dan infrastruktur. 

Data Kementerian ATR/BPN menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan ratusan ribu hektare lahan sawah produktif setiap tahun. Sementara itu, generasi muda semakin enggan menjadi petani karena sektor ini identik dengan kemiskinan dan ketidakpastian. Pertanyaannya, sejauh mana pemerintah serius memberdayakan petani sebagai kekuatan pangan nasional?

Di balik semua problem itu, pemberdayaan petani bukan sekadar soal teknis budidaya atau penyediaan bibit unggul. Lebih dalam lagi, ia adalah persoalan struktural yang berkaitan dengan regulasi, akses permodalan, infrastruktur, hingga rantai distribusi. 

Banyak petani masih menghadapi kesulitan modal karena akses kredit perbankan yang rumit. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) memang dicanangkan, tetapi dalam praktiknya tak semua petani bisa mengakses dengan mudah. Ironisnya, di saat petani kesulitan mengajukan modal, perusahaan besar dengan mudah mendapatkan fasilitas dan subsidi.

Masalah klasik lain terletak pada harga jual. Petani kerap dihadapkan pada situasi tragis: saat panen raya, harga gabah atau komoditas mereka anjlok karena permainan tengkulak dan lemahnya perlindungan dari pemerintah. 

Hal ini menimbulkan paradoks: ketika petani panen, mereka justru rugi. Kondisi ini membuat profesi petani semakin tidak menarik, sehingga tidak heran jika data BPS menunjukkan jumlah petani terus menurun dari tahun ke tahun.

Jika kita berbicara tentang kedaulatan pangan, maka semestinya negara hadir secara utuh. Kedaulatan pangan bukan berarti sekadar mampu membeli pangan dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, melainkan kemampuan bangsa untuk mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi secara mandiri. 

Pemerintah seharusnya menempatkan petani sebagai subjek, bukan objek kebijakan. Mereka harus diberdayakan melalui penyediaan akses modal murah, jaminan harga yang adil, dan perlindungan dari praktik impor yang merugikan.

Sebagai contoh, impor pangan sering dijadikan alasan untuk menstabilkan harga dan mengatasi kelangkaan. Tetapi apakah pemerintah benar-benar memastikan bahwa impor tidak mematikan produk lokal? 

Impor beras, kedelai, hingga bawang putih kerap dilakukan pada saat petani sedang memasuki masa panen. Akibatnya, harga lokal jatuh dan petani semakin tertekan. Dalam jangka panjang, praktik ini hanya membuat ketergantungan semakin dalam, sekaligus memutus regenerasi petani.

Di sisi lain, pemberdayaan petani juga menuntut inovasi. Era disrupsi hari ini membuka peluang besar untuk mengintegrasikan teknologi dengan pertanian. Akses digital dapat membantu petani memasarkan produknya tanpa harus melalui rantai panjang distribusi. 

Teknologi sensor, big data, hingga artificial intelligence bisa dipakai untuk memprediksi cuaca, meningkatkan produktivitas, dan mengurangi risiko gagal panen. Namun inovasi ini tak akan berarti jika pemerintah tidak memberikan pelatihan, pendampingan, dan infrastruktur digital yang memadai di desa-desa.

Perlu diingat, sektor pertanian bukan hanya urusan ekonomi, tetapi juga menyangkut kedaulatan bangsa. Ketika Indonesia terlalu bergantung pada impor pangan, maka kita rentan terhadap gejolak harga global dan tekanan politik negara pemasok. 

Bayangkan jika suatu saat negara-negara pengekspor besar menutup keran ekspor karena krisis global. Apa yang akan terjadi dengan ketahanan pangan kita? Inilah alasan mengapa pemberdayaan petani harus dipandang sebagai strategi geopolitik, bukan sekadar program sektoral.

Pemerintah memang telah menggulirkan program food estate dan modernisasi pertanian. Namun kritik muncul karena banyak program ini hanya menguntungkan korporasi besar dan tidak menyentuh petani kecil. 

Padahal, struktur pertanian Indonesia mayoritas dikelola petani kecil dengan lahan di bawah setengah hektare. Jika mereka tidak diperkuat, maka narasi kedaulatan pangan hanya akan menjadi retorika belaka.

Maka, solusi yang perlu ditempuh adalah reformasi kebijakan pertanian secara menyeluruh. Pemerintah harus berani menetapkan harga dasar yang melindungi petani, bukan hanya konsumen. Subsidi pertanian mesti diarahkan secara tepat sasaran, bukan tersedot oleh kepentingan korporasi. 

Alih fungsi lahan harus dikendalikan dengan ketat agar sawah produktif tidak terus tergerus. Selain itu, pendidikan pertanian harus digalakkan agar generasi muda tidak alergi pada profesi petani, melainkan melihatnya sebagai peluang strategis di masa depan.

Pertanyaan fundamental yang perlu dijawab adalah: mau sampai kapan kita bergantung pada pangan impor sementara negeri ini begitu kaya sumber daya? 

Pemberdayaan petani bukanlah pilihan, melainkan keniscayaan jika Indonesia ingin benar-benar berdaulat. Tanpa keberpihakan nyata kepada petani, kedaulatan pangan hanya akan menjadi slogan kosong, dan masa depan bangsa akan tergadaikan di pasar internasional. (*)

***

*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.