TIMES MALANG, MALANG – Puasa intermiten telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir sebagai metode non-farmakologis untuk menurunkan berat badan dan meningkatkan kesehatan. Ada berbagai bentuk puasa intermiten, yang paling umum adalah pembatasan waktu makan (time-restricted feeding), puasa selang-seling (alternate-day fasting), puasa dua kali seminggu, dan puasa 24 jam (Al-Jafar et al., 2023).
Puasa Ramadan merupakan bentuk puasa intermiten pembatasan waktu makan (time-restricted feeding), yang melibatkan menahan diri dari makan, minum, dan merokok dari sejak fajar atau matahari terbit hingga maghrib atau matahari terbenam, dengan durasi puasa 12 hingga 22 jam per hari, tergantung pada musim dan lokasi geografis (Khalil et al., 2022).
Umat Muslim yang sudah baligh atau puber dan sehat diwajibkan untuk berpuasa selama bulan Ramadan, yang berlangsung selama 29 hingga 30 hari. Namun, puasa tidak diwajibkan bagi individu muslim yang tidak sehat, anak-anak yang belum mengalami pubertas, serta wanita hamil dan menyusui.
Puasa Ramadan berbeda secara signifikan dari kebiasaan atau pola hidup sehari-hari kita. Hal ini terutama karena perubahan dalam waktu makan, frekuensi makan, dan komposisi diet. Selain itu, pola aktivitas fisik, kantuk di siang hari, dan kebiasaan tidur juga dapat berubah (Faris et al., 2020). Perubahan ini berpotensi mempengaruhi nafsu makan dan respons hormonal (Al-Rawi et al., 2020).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa puasa Ramadan dapat mempengaruhi komposisi tubuh, termasuk massa lemak tubuh, persentase lemak, lingkar pinggul, lingkar pinggang, dan pengendalian berat badan (Faris et al., 2019). Puasa Ramadan juga berdampak terhadap regulasi nafsu makan (Alogaiel et al., 2025).
Jaringan tubuh perifer, termasuk usus dan jaringan adiposa, menghasilkan dan melepaskan beberapa hormon yang berpengaruh pada pusat kontrol nafsu makan di otak. Selain itu, hormon peptida gastrointestinal juga berperan dalam regulasi nafsu atau asupan makanan (Zanchi et al., 2017).
Hormon leptin, ghrelin, glucagon-like peptide-1 (GLP-1), peptide tyrosine-tyrosine (PYY), dan cholecystokinin (CCK) merupakan hormon utama yang mengontrol rasa lapar dan kenyang (Schloegl et al., 2017).
Hormon leptin, dikenal sebagai hormon kenyang, yang diproduksi oleh jaringan adiposa, berperan penting dalam mengatur asupan energi dan keseimbangan energi, serta mengurangi nafsu makan dengan menekan asupan makanan dan meningkatkan pengeluaran energi (Rosenbaum et al., 2014).
Hormon ghrelin, dikenal sebagai hormon lapar, bekerja berlawanan dengan hormon leptin. Hormon ghrelin ini diproduksi di saluran pencernaan dan bertindak di otak atau hipotalamus, yang menstimulasi rasa lapar (Inui et al., 2004).
Glukagon-like peptide-1 (GLP-1) adalah hormon peptida usus yang disekresikan terutama oleh sel L di usus halus sebagai respons terhadap nutrien atau zat gizi di saluran pencernaan. Hormon GLP-1 ini berperan dalam homeostasis glukosa dengan merangsang sekresi insulin, mengurangi sekresi glukagon, dan memperlambat motilitas lambung (Reimann et al., 2004).
GLP-1 mempengaruhi regulasi glukosa darah melalui dampak dari rilis insulin dan agonis reseptor GLP-1 digunakan dalam terapi farmakologi untuk menurunkan kadar glukosa darah dan mengontrol berat badan (Andersen et al., 2018).
Hormon peptide tyrosine-tyrosine (PYY) diproduksi oleh sel L di saluran pencernaan, terutama di ileum dan kolon, sebagai respons terhadap makanan yang masuk. Hormon insulin adalah hormon peptida yang diproduksi oleh sel beta pankreas dalam pulau Langerhans sebagai respons terhadap peningkatan kadar glukosa dalam darah.
Hormon cholecystokinin (CCK) adalah hormon kenyang jangka pendek yang dilepaskan oleh sel endokrin di usus bagian atas, terutama duodenum dan jejunum. Hormon ini juga merangsang kontraksi kantong empedu, yang membantu dalam pencernaan lemak.
Setiap tahun, jutaan Muslim dewasa menjalani puasa Ramadhan, yang menyebabkan berbagai perubahan gaya hidup, termasuk perubahan waktu makan, pola tidur-bangun, durasi tidur, paparan cahaya, dan olahraga, yang dapat mempengaruhi hormon pengatur nafsu makan (Figueiro et al., 2012).
Alogaiel et al. (2025) telah melaporkan penelitian tinjauan pustaka dengan sistematis dan meta-analisis untuk menilai efek puasa Ramadhan terhadap hormon pengatur nafsu makan.
Alogaiel et al. (2025) telah melaporkan penelitiannya tentang efek puasa Ramadhan terhadap hormon yang mengatur nafsu makan, yakni hormon leptin, ghrelin, insulin, gastrin, glukagon-like peptide-1 (GLP-1), peptide tyrosine-tyrosine (PYY), dan cholecystokinin (CCK).
Mereka telah melakukan tinjauan pustaka dengan metode Tinjauan Sistematis dan Meta-Analisis atas data base laporan penelitian ilmiah pada MEDLINE, Embase, Cochrane Library, CINAHL, Google Scholar, dan Web of Science yang relevan dan telah dipublikasi hingga Maret 2024.
Ada sebanyak 16 laporan penelitian ilmiah yang memenuhi kriteria dengan total 664 responden penelitian (341 pria, 51,4%), rata-rata usia responden adalah 33,9 ± 10,8 tahun.
Meta-analisis dari 12 laporan penelitian ilmiah dengan data lengkap terkait hormon leptin menunjukkan bahwa puasa Ramadhan tidak memiliki efek signifikan terhadap konsentrasi leptin (standardized mean differenc atau SMD = 0,11 µg/mL, 95% CI: 0,36 hingga 0,14).
Meta-analisis dari 3 laporan penelitian ilmiah dengan data lengkap terkait hormon ghrelin menunjukkan adanya peningkatan signifikan pada konsentrasi ghrelin setelah puasa Ramadhan (SMD = 0,31 pg/mL, 95% CI: 0,03 hingga 0,60).
Meta-analisis dari 6 laporan penelitian ilmiah yang meneliti hormon insulin menunjukkan bahwa setelah puasa Ramadhan tidak ada efek signifikan terhadap konsentrasi insulin (SMD = 0,24 µU/mL, 95% CI: 0,54 hingga 0,02).
Meta-analisis dari 3 laporan penelitian ilmiah yang mengevaluasi hormon gastrin tidak menemukan efek signifikan dari puasa Ramadhan terhadap kadar gastrin (SMD = 0,23 pg/mL, 95% CI: 0,71 hingga 0,99).
Puasa Ramadan secara signifikan meningkatkan kadar hormon ghrelin, sementara tidak menunjukkan efek signifikan pada hormon leptin, insulin, dan gastrin. Meskipun peningkatan hormon ghrelin konsisten dalam berbagai laporan penelitian ilmiah, heterogenitas yang tinggi dalam penelitian terkait hormon leptin menunjukkan perlunya penelitian lebih lanjut untuk memahami mekanisme fisiologis puasa Ramadhan terhadap hormon pengatur nafsu makan.
Alogaiel et al. (2025) telah melaporkan bahwa hasil peneliatian yang tidak konsisten terkait hormon leptin menunjukkan bahwa faktor individu seperti perubahan berat badan, pola makan, dan durasi puasa dapat mempengaruhi respons hormon ini.
Kadar hormon insulin tetap stabil menunjukkan bahwa puasa Ramadan tidak berdampak negatif terhadap regulasi glukosa pada individu sehat. Tidak ada perubahan signifikan dalam kadar hormon gastrin, yang mengindikasikan bahwa fungsi sekresi lambung tetap terjaga selama puasa Ramadan.
Puasa Ramadan memiliki efek yang terbatas tetapi dapat berdampak pada peningkatan hormon ghrelin, yang berhubungan dengan rasa lapar dan keseimbangan energi. (*)
***
*) Oleh : Eko Saputro, Widyaiswara Ahli Madya-BBPP Batu.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |