https://malang.times.co.id/
Opini

Kekuasaan Gelapkan Sejarah

Rabu, 28 Mei 2025 - 09:42
Kekuasaan Gelapkan Sejarah Thaifur Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Ada sebauh kalimat bijak yang selalu terngiang di kepala saya setiap kali berbicara soal sejarah: history is written by the victors, sejarah ditulis oleh mereka yang menang, oleh mereka yang memengang kendali. 

Kenyataan di negeri ini tak ubahnya sebuah pola yang berulang sejak zaman kolonial, orde lama, orde baru, hingga era reformasi yang katanya lebih demokratis. Narasi masa lalu kita lebih banyak dibentuk oleh mereka yang berkuasa ketimbang oleh suara rakyatnya sendiri.

Ketika pemerintah mengagas proyek penulisan ulang sejarah Indonesia pada tahun ini, saya menyambutnya dengan dua rasa sekaligus: optimisme yang tipis, dan skeptisme yang tebal. 

Di satu sisi, tentu saja ada harapan agar sejarah sejarah bangsa ini bisa ditulis lebih jujur, lebih lengkap, dan lebih manusiawi, terutama bagi kelompok-kelompok yang selama ini diabaikan. 

Tapi di sisi lain, pengalaman kita selama ini mengajarkan bahwa sejarah sangat mudah dimanipulasi ketika berada di bawah kendala kekuasaan.

Proyek penulisan ulang ini, menurut pemerintah, akan melibatkan 113 orang ahli dari berbagai disiplin ilmu. Dana yang dikucurkan sekitar Rp 9 miliar. 

Sepuluh jilid buku akan diterbitkan, mengisahkan perjalanan manusia nusantara sejak 1.8 juta tahun lalu sampai masa reformasi. Kalau dibaca sekilas, ini tentu langkah yang terlihat progresif. Tapi justru disinilah kita perlu lebih waspada.

Seberapa jauh para penulis sejarah bisa benar-benar bebas dan independen, sementara proyek ini berada di bawah payung pemerintah? Siapa yang menetukan batas narasi? 

Apakah luka-luka bangsa yang selama ini ditutupi akan benar-benar diungkapkan, atau hanya dipoles dengan kata-kata yang nyaman bagi telinga kekuasaan?

Sejarah Indonesia penuh dengan luka yang belum sembuh. Tragedi 1965 misalnya, adalah peristiwa yang hingga kini kabutnya belum benar-benar diurai. 

Puluhan ribu orang dibunuh, jutaan lainya ditangkap, disiksa, atau dibuang ke kamp-kamp tahanan tanpa pengadilan. Sampai sekarang, negara belum sungguh-sungguh meminta maaf atau memulihkan martabat para korban. 

Apakah dalam penulisan ulang sejarah ini, bab kelam itu akan ditulis sebagaimana faktanya? Atau akan kembali dilapisi narasi lama yang menyesatkan, seperti yang selama puluhan tahun tertulis di buku pelajaran sekolah kita?

Belum lagi peristiwa penghilangan aktivis 1997-1998, Tragedi Tanjung Priok, pembantaian Talangsari, atau konflik-konflik di Papua yang masih menyisakan luka hingga hari ini. 

Jika proyek ini hanya mengulang narasi versi pemerintah tanpa keberanian mengankat sisi gelap kekuasaan, maka sejarah yang lahir nanti bukanlah rekonsialiasi, melainkan bentuk lain dari penghapusan ingatan kolektif.

Yang juga menjadi catatan penting adalah soal keterlibatan publik. Konon,akan ada uji publik sebelum buku-buku ini resmi diterbitkan. Tapi kita sudah terlalu sering menyaksikan forum-forum semacam itu hanya menjadi formalitas belaka, sekedar panggung untuk memberi kesan seolah semua pihak dilibatkan. 

Padahal suara-suara korban, komunitas adat, perempuan, dan aktivis yang selama ini menjadi saksi penderitaan sejarah justru tak benar-benar diberi ruang.

Sejarah tidak boleh hanya ditulis oleh akademisi dan birokrat saja. Mereka memang penting, tapi tak cukup. Sejarah juga harus lahir dari ingatan para korban, catatan lisan di kampung-kampung, arsip-arsip keluarga yang tersembunyi, dan kesaksian orang-orang kecil yang tak pernah dimuat di koran nasional. Hanya dengan cara itu kita bisa mendapatkan potret sejarah yang utuh, bukan sejarah setengah jadi.

Jujur saya juga megapresiasi langkah pemerintah yang katanya ingin mengankat peran perempuan, komunitas adat, dan daerah-daerah pinggiran dalam proyek ini. Selama ini, sejarah Indonesia memang terlalu Jakarta-sentris, terlalu maskulin, dan terlalu elitis. 

Banyak sekali kisah-kisah penting dari daerah yang hilang begitu saja dalam arus besar narasi nasional. Jika hal ini benar-benar dilakukan, setidaknya kita bisa berharap sejarah Indonesia menjadi lebih prular dan manusiawi.

Tapi sekali lagi, keberhasilanya bukan hanya soal siapa yang menulis, tapi juga bagaimana narasi itu diramu. Apakah benar-benar memberi ruang setara bagi kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan, atau sekadar tempelan simbolis yang tidak menyentuh substansi.

Distribusi hasil penulisan ulang ini juga penting. Buku sejarah jangan hanya disimpan di rak perpustakaan kampus atau kantor kementerian. Ia harus hadir di ruang-ruang publik, sekolah-sekolah, komunitas, dan platfrorm digital yang bisa diakses anak muda. 

Generasi sekarang, yang tumbuh di era media sosial da algoritma, perlu mendapatkan sejarah yang utuh, agar mereka tidak tercerabut dari akar.

Di tengah persimpangan sejarah bangsa ini, penulisan ulang sejarah bisa menjadi langkah penting untuk menyembuhkan luka lama dan membangun bangsa yang lebih adil. 

Tapi bisa juga sebaliknya, menjadi alat baru untuk menutupi kesalahan, menghapus dosa masa lalu, dan memperpanjang ketidakadilan. Seperti yang pernah dikatakan almarhum Artidjo Alkostar ‘’Hukum tanpa keadilan hanyalah kekuasaan tanpa moral.’’ 

Begitu pula dengan sejarah. Tanpa keberanian membuka luka dan kejujuran menuliskan fakta, sejarah hanyalah cerita manis yang penuh dengan kepalsuan. Dan bila itu yang terjadi, kita hanya sedang mewarsikan ingatan palsu kepada generasi mendatang. (*)

***

*) Oleh : Thaifur Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.