TIMES MALANG, MALANG – Pernyataan Kapolres Kota Malang yang menegaskan penolakan terhadap premanisme di wilayah hukumnya patut diapresiasi sebagai bentuk komitmen terhadap penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban umum.
Namun, dari sudut pandang sosiologis dan historis, pernyataan tersebut mengundang pertanyaan kritis mengenai akurasi pemetaan sosial oleh aparat penegak hukum, khususnya mengingat bahwa Kota Malang secara historis bukanlah wilayah yang memiliki jejak budaya premanisme yang signifikan.
Penolakan terhadap premanisme, apabila tidak didukung dengan pembacaan yang cermat atas dinamika sosial lokal, dapat mencerminkan ketidaktahuan institusional terhadap karakter sosiokultural wilayahnya sendiri.
Dalam konteks Kota Malang, pernyataan Kapolres tersebut terkesan lebih merupakan representasi dari retorika seremonial yang tidak berbasis pada realitas empiris.
Kota Malang, yang sejak masa kolonial dikenal sebagai kota pendidikan dan budaya, memiliki nilai kekeluargaan yang kental di dalamnya.
Fenomena premanisme, jika pun muncul, hanya terjadi di tempat tertentu dan tidak terorganisir secara struktural sebagaimana yang terjadi di kota-kota pelabuhan atau pusat industri besar seperti Surabaya atau Jakarta.
Lebih jauh, dalam kacamata teori sosiologi hukum, khususnya pendekatan law in context, tindakan aparat penegak hukum seharusnya tidak hanya reaktif terhadap fenomena kriminalitas yang tampak, melainkan juga harus memperlihatkan kepekaan terhadap struktur sosial dan persepsi masyarakat lokal.
Dengan menyatakan "menolak premanisme" seolah Kota Malang merupakan tempat para preman tersebut, pernyataan tersebut berisiko membangun konstruksi sosial yang keliru di Kota Malang.
Pernyataan tersebut bisa menimbulkan persepsi publik, baik lokal maupun nasional, bahwa di Kota Malang telah terjadi premanisme, padahal hal tersebut tidak terjadi.
Pernyataan tersebut juga berpotensi mengganggu narasi sosial mengenai isu-isu krusial yang benar-benar memerlukan perhatian. Daripada memusatkan perhatian pada isu premanisme yang secara historis dan sosiologis tidak menonjol di Kota Malang, akan lebih bermanfaat jika aparat kepolisian mengarahkan fokusnya pada persoalan-persoalan yang lebih kontekstual di Kota Malang.
Dengan demikian, kritik terhadap pernyataan Kapolres bukan semata menyasar isi pernyataannya, melainkan kami ingin mendorong agar kinerja kepolisian tidak hanya reaktif saja, melainkan tanggap akan isu-isu lokal.
Ketika pemetaan masalah sosial tidak dilakukan dengan cermat dan berbasis data lokal, maka kebijakan yang dihasilkan pun berpotensi menjadi tidak tepat sasaran dan kontekstual. (*)
***
*) Oleh : Mas’udi Hamzah, Kandidat Magister Hukum Universitas Merdeka Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |