TIMES MALANG, MALANG – "Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah dunia," Nelson Mandela.
Nelson Mandela pernah mengajarkan kepada dunia bahwa transformasi bangsa bergantung pada kualitas pendidikannya. Afrika Selatan, negara yang baru terbebas dari sistem apartheid pada 1994, kini bahkan melampaui Indonesia dalam beberapa aspek pembangunan, termasuk pendapatan per kapita. Keberhasilan itu, sebagian besar, dipicu oleh komitmen mereka terhadap pendidikan yang inklusif dan dikelola dengan baik.
Ironisnya, Indonesia yang menyatakan kemerdekaannya sejak 1945, justru masih tertatih-tatih dalam menjamin hak dasar pendidikan warganya. Padahal, dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat secara eksplisit ditegaskan bahwa salah satu tujuan bernegara adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Penegasan itu diperkuat dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar.
Namun, cita luhur ini tercoreng sejak pemerintahan Orde Baru. Pada tahun 1968, pemerintah mulai memperkenalkan SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan), yang secara bertahap membebani peserta didik—bahkan di jenjang sekolah dasar. Padahal, pada era sebelumnya, khususnya masa pemerintahan Soekarno, pendidikan dasar hingga menengah pada dasarnya bebas biaya.
Warisan Orde Baru ini seolah mengakar kuat hingga kini. Sekolah-sekolah, bahkan yang mendapat bantuan dari negara, tetap memungut biaya dari peserta didik. Hal ini bertentangan dengan semangat konstitusi yang mewajibkan negara mencerdaskan rakyatnya tanpa diskriminasi ekonomi.
Kondisi ini akhirnya mendapat titik terang melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 27 Mei 2025. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa frasa "tanpa memungut biaya" dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 jika hanya diterapkan pada sekolah negeri. MK menegaskan bahwa negara, baik pusat maupun daerah, wajib menjamin pendidikan dasar gratis di semua satuan pendidikan—termasuk yang diselenggarakan oleh masyarakat atau swasta.
Putusan ini menjadi tonggak penting dalam membangun keadilan sosial dalam bidang pendidikan. Tidak boleh ada lagi diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta dalam hal pembebasan biaya pendidikan dasar. Selama satuan pendidikan menerima dana negara—baik melalui BOS, beasiswa, atau bentuk lain—maka tidak boleh lagi membebani siswa dengan pungutan.
Penting dipahami bahwa sekolah bukanlah entitas bisnis yang bertujuan mencari keuntungan. Sekolah merupakan instrumen negara untuk menjalankan mandat konstitusional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka jika ada lembaga pendidikan yang mendirikan sekolah dengan orientasi profit, mereka sejatinya sedang mengkhianati cita-cita kemerdekaan.
Dari sini, publik dan penegak hukum harus semakin kritis terhadap operasional sekolah. Pertanyaannya: apakah sekolah-sekolah tersebut benar-benar menjalankan peran konstitusionalnya atau malah menjelma menjadi mesin pencetak uang yang menindas hak-hak dasar rakyat?
Putusan MK ini juga menjadi koreksi terhadap interpretasi lama Pasal 34 UU Sisdiknas, yang selama ini hanya memastikan gratisnya pendidikan dasar di sekolah negeri. Padahal, konstitusi dalam Pasal 28C ayat (1) telah menegaskan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri, memperoleh pendidikan, dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Lebih lanjut, jenjang pendidikan dasar telah dijelaskan secara eksplisit dalam Pasal 17 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2003 sebagai mencakup SD/MI dan SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat. Jaminan ini diperkuat dalam PP No. 47 Tahun 2008 yang memandatkan pemerintah menanggung biaya pendidikan dasar bagi seluruh warga negara, tanpa kecuali.
Dengan keluarnya putusan MK ini, paradigma pendidikan nasional harus berubah. Pemerintah wajib memastikan bahwa anggaran APBN dan APBD dialokasikan secara adil, tidak hanya untuk sekolah negeri tetapi juga swasta yang turut menyelenggarakan pendidikan dasar.
Namun, perubahan kebijakan tanpa pengawasan akan sia-sia. Masyarakat dan penegak hukum harus aktif mengawal pelaksanaannya. Penyelewengan terhadap dana pendidikan harus ditindak tegas, karena setiap rupiah yang dikorupsi dalam pendidikan adalah pengkhianatan terhadap masa depan bangsa.
Sudah saatnya Indonesia menutup warisan buruk Orde Baru dalam dunia pendidikan. Sekolah berbayar di tingkat dasar bukan hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga menghambat laju kemajuan bangsa. Pendidikan adalah hak, bukan komoditas. Dan negara bertanggung jawab penuh untuk memenuhinya.
***
*) Oleh : Wiwid Tuhu Prasetyanto, S.H., M.H., Advokat pada ASMOJODIPATI LAWYER’S, Pekerja Sosial di Lembaga Sosiohumaniora Malang dan Plt. Bupati LIRA Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |