TIMES MALANG, MALANG – Kabupaten Malang menyimpan potensi besar dalam sektor perkebunan, khususnya dari komoditas kopi. Dikelilingi lereng pegunungan dengan iklim yang mendukung, dua varietas kopi unggulan, yakni Robusta dan Arabica, menjadi andalan daerah ini dalam mendukung kesejahteraan petani lokal.
Data Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (TPHP) Kabupaten Malang menyebutkan bahwa jenis Robusta menjadi penyumbang produksi terbesar. Kepala Dinas TPHP Kabupaten Malang, Avicenna M. Saniputera, menjelaskan bahwa total potensi lahan komoditas kopi di daerah ini mencapai lebih dari 28.700 hektare, dengan produksi tahunan untuk tahun 2024 menembus 866 ton.
“Kopi Robusta mendominasi dengan luasan lahan tanam mencapai 21.113 hektare, dan dari situ dihasilkan sekitar 15.057 ton biji kopi dari 17.814 hektare areal produktif,” kata Avicenna kepada TIMES Indonesia, Jumat (30/5/2025).
Tanaman kopi Robusta tersebar luas di 19 kecamatan di Kabupaten Malang. Beberapa wilayah bahkan dikenal sebagai sentra utama penghasil kopi, seperti Ampelgading, Poncokusumo, Tirtoyudo, Dampit, dan Ngajum. Kecamatan Wagir, Jabung, dan Karangploso juga turut menyumbang hasil yang signifikan.
Wilayah dengan produksi tertinggi tercatat di Ampelgading: 1.280 ton per tahun, Poncokusumo: 975 ton, Dampit & Tirtoyudo: masing-masing 950 ton, dan Ngajum: 805 ton.
Potensi Kopi Arabica dan Tantangan Produksi
Sementara itu, jenis kopi Arabica juga ditanam di Kabupaten Malang, khususnya di daerah ketinggian seperti Ampelgading, Tirtoyudo, dan Poncokusumo. Meski luasan lahannya lebih kecil—sekitar 7.000 hektare—kopi jenis ini tetap menjanjikan.
Beberapa angka produksi Arabica di antaranya Ampelgading: 259 ton/tahun dari 698 hektare, Poncokusumo: 182,4 ton/tahun dari 475 hektare, dan Tirtoyudo: 20 ton/tahun
Meski hasil produksi kopi terus meningkat, Avicenna mengakui masih ada tantangan besar. Salah satunya, ketidakseimbangan antara kapasitas produksi dan serapan industri pengolahan.
"Contohnya di Dampit, ada produsen kopi yang bisa menyerap hingga 45 ribu ton biji kopi, tapi sejauh ini baru bisa terpenuhi 15 ribu ton dari hasil lokal sekali masa panen. Artinya, masih ada ruang untuk perluasan dan revitalisasi," jelasnya.
Petani Masih Bergantung pada Perantara
Di balik angka produksi yang menjanjikan, realitas di lapangan masih memperlihatkan tantangan klasik: distribusi hasil panen yang tidak langsung ke konsumen akhir.
Pietra Widiadi, seorang pekebun kopi dari Kecamatan Wagir, mengungkapkan pengalamannya selama 10 tahun menggeluti dunia kopi. Meski harga kopi terus meningkat, tidak serta-merta membawa dampak signifikan pada kesejahteraan petani.
“Lima atau enam tahun lalu, harga cherry merah masih di bawah Rp 6.000 per kg. Sekarang bisa Rp 12.000. Biji kopi kering OC kelas tiga sebelum panen sempat nyaris Rp 90.000 per kg, tapi turun jadi Rp 60.000 setelah panen,” ujarnya.
Namun menurut Pietra, lonjakan harga tidak selalu berpihak pada petani kecil, sebab mayoritas hasil panen masih dijual melalui perantara sebelum sampai ke pembeli besar atau pasar kota. (*)
Pewarta | : Khoirul Amin |
Editor | : Imadudin Muhammad |