TIMES MALANG, MALANG – Pidato di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) bukan sekadar protokol diplomasi. Ia adalah panggung sejarah, tempat sebuah bangsa menunjukkan wajah dan nuraninya di hadapan dunia.
Ketika Presiden Prabowo Subianto berdiri di podium itu, suaranya tidak hanya mewakili pemerintah, tetapi juga gema jutaan rakyat Indonesia yang sejak lama menyimpan janji: bahwa penjajahan harus lenyap dari muka bumi.
Dalam pidatonya, Prabowo menegaskan komitmen Indonesia untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Ucapan itu bukan sekadar retorika, melainkan sebuah ikrar yang berakar dari sejarah. Sebab negeri ini lahir dari perlawanan terhadap kolonialisme, dari luka yang sama dengan yang kini masih dialami rakyat Palestina.
Di balik kata-kata yang terucap, ada pantulan wajah Bung Karno, Hatta, dan para pejuang yang pernah mengingatkan dunia bahwa kebebasan adalah hak segala bangsa.
Pidato itu mengalir seperti sungai yang menembus padang tandus. Dunia yang kerap bisu terhadap penderitaan Palestina seakan diingatkan kembali bahwa ada bangsa besar di Asia Tenggara yang tidak rela kemanusiaan dikubur oleh kepentingan geopolitik.
Prabowo tidak hanya bicara tentang konflik politik, ia bicara tentang martabat manusia. Tentang bayi-bayi yang lahir di bawah dentuman rudal, tentang tanah yang direbut paksa, tentang hak yang dirampas dengan dalih keamanan.
Namun, pidato hanyalah awal. Tantangan sesungguhnya adalah menjadikannya kompas yang menuntun langkah konkret Indonesia. Dunia internasional sudah kenyang dengan janji yang indah, tetapi lapar akan tindakan yang berani.
Maka publik bertanya: apakah Indonesia, di bawah kepemimpinan Prabowo, akan menyalakan kembali obor solidaritas global yang pernah digenggam Bung Karno? Ataukah pidato itu hanya akan menjadi gema yang hilang di lorong diplomasi?
Sejarah memberi kita teladan. Pada 1962, Indonesia dengan tegas menolak partisipasi Israel dalam Asian Games, meski diancam sanksi internasional. Bung Karno lebih memilih prinsip ketimbang tunduk pada tekanan. Sikap itu melahirkan reputasi Indonesia sebagai bangsa yang teguh menjaga nurani.
Kini, Prabowo punya peluang untuk menghidupkan kembali keberanian itu: menjadi pemimpin yang menolak tunduk pada logika kekuasaan besar, dan memilih berdiri bersama mereka yang tertindas.
Dukungan kepada Palestina bukan sekadar agenda politik luar negeri. Ia adalah ujian moralitas. Dalam penderitaan rakyat Palestina, kita bercermin pada siapa diri kita.
Jika kita bungkam, maka kita mengkhianati sejarah kita sendiri. Tetapi jika kita bersuara lantang, kita meneguhkan kembali janji konstitusi: bahwa keadilan dan kemanusiaan harus menjadi dasar hubungan antarbangsa.
Visi Indonesia untuk perdamaian dunia harus berdiri di atas tiga pilar. Pertama, moralitas: bahwa keputusan politik luar negeri tidak boleh buta terhadap nurani. Kedua, solidaritas: bahwa Indonesia harus merajut aliansi dengan negara-negara yang sejalan, baik di Asia, Afrika, maupun Amerika Latin. Ketiga, keberanian: sebab tanpa keberanian, semua pidato hanya akan menjadi puisi kosong.
Indonesia punya ruang manuver strategis. Dari kursi di PBB, Indonesia bisa mendorong resolusi yang lebih kuat untuk menghentikan agresi di Palestina. Dari ASEAN, kita bisa menggalang sikap regional yang lebih lantang.
Dari Gerakan Non-Blok, kita bisa membangkitkan kembali semangat kolektif untuk menolak dominasi narasi pro-penjajah. Dalam dunia yang kerap memuja bedil dan bom, Indonesia bisa hadir sebagai kekuatan moral.
Pidato Prabowo di PBB adalah momentum. Ia bukan akhir, melainkan awal dari jalan panjang yang harus ditempuh dengan konsistensi. Rakyat Indonesia yang berduyun-duyun turun ke jalan membela Palestina selama ini menunggu bukti bahwa suara mereka sampai di telinga dunia. Bahwa negeri ini tidak hanya bersedih dalam doa, tetapi juga bertindak dalam arena diplomasi.
Palestina bukan sekadar isu politik. Ia adalah lambang kemanusiaan. Di sana terkandung pesan universal: bahwa hak untuk hidup, merdeka, dan bermartabat tidak bisa ditawar. Dukungan kita bukan hanya karena ikatan agama atau sejarah, melainkan karena keadilan adalah inti dari peradaban.
Kini, dunia menyaksikan. Palestina menanti. Pidato telah diucapkan, janji telah ditebar, dan sejarah akan mencatat apakah Indonesia benar-benar berani menjadi cahaya di tengah gelapnya peradaban.
Jika Prabowo konsisten, maka pidato itu akan dikenang sebagai titik balik. Jika tidak, ia akan terkubur bersama ribuan pidato lain yang hanya menjadi arsip diplomasi.
***
*) Oleh: Thoriqul Choir, S.H, Pegiat Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |