TIMES MALANG, MALANG – Pejabat publik, terutama mereka yang memperoleh mandat langsung dari rakyat, selalu berada di tengah pusaran ekspektasi, tekanan politik, serta kompleksitas persoalan sosial yang tidak pernah sederhana. Namun ada satu hal yang sering terlupakan ketika kita membahas perilaku para pemegang jabatan yakni aspek psikologis.
Padahal, kondisi mental, pola pikir, hingga bias-bias emosional seorang pejabat memengaruhi hampir seluruh keputusan politiknya. Kualitas kebijakan pada akhirnya tidak hanya ditentukan oleh kapasitas teknokratis, tetapi juga oleh kesehatan psikologis dan integritas batin pemimpin itu sendiri.
Di Indonesia, pembicaraan tentang psikologi pejabat masih dianggap tabu. Publik lebih sering mendiskusikan korupsi, kinerja, atau orientasi politik, tetapi jarang menelusuri akar psikologis di balik itu semua.
Banyak penyimpangan kekuasaan terjadi bukan semata karena lemahnya regulasi, tetapi karena psikologi pejabat yang tidak siap menghadapi godaan jabatan dan dinamika sosial di sekitarnya.
Salah satu problem mendasar adalah fenomena power syndrome, yakni kondisi ketika seseorang mulai merasakan dirinya lebih penting dari warga yang diwakilinya. Ketika jabatan naik, standar penghormatan meningkat, dan akses fasilitas makin terbuka, pejabat sering tanpa sadar membangun benteng psikologis yang memisahkannya dari realitas masyarakat. Ia merasa layak mendapatkan perlakuan khusus. Ia merasa suaranya lebih benar dari yang lain. Dan perlahan-lahan, ia mulai kehilangan empati.
Inilah titik ketika pejabat berhenti mendengar. Ketika kritik dianggap serangan, bukan masukan. Ketika warga dianggap pengganggu, bukan pemilik mandat.
Secara psikologis, kondisi ini berbahaya karena mendorong pejabat untuk hidup dalam ruang gema (echo chamber) dikelilingi oleh orang-orang yang selalu mengatakan “iya”, sekalipun kebijakan yang diambil keliru.
Fenomena kedua adalah ilusi kompetensi. Banyak pejabat publik terjebak dalam keyakinan bahwa karena ia terpilih atau diangkat, maka seluruh keputusannya pasti benar. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai Dunning-Kruger effect: semakin minim kapasitas seseorang, semakin besar ia merasa mampu.
Dalam birokrasi, efek ini sangat destruktif. Pejabat yang merasa paling pintar akan menutup ruang dialog, menolak evaluasi, dan memaksakan keputusan tanpa memeriksa dampaknya bagi masyarakat.
Sementara pejabat yang matang secara psikologis akan memahami bahwa kekuasaan bukan indikator kecerdasan. Mereka menyadari bahwa mandat politik memerlukan kerendahan hati untuk terus belajar, mendengar pakar, dan menerima fakta yang tidak sesuai keinginannya.
Namun tidak semua pejabat memiliki kesiapan emosional untuk menjalani proses ini. Banyak yang lahir dari kultur politik transaksional yang lebih menekankan kemenangan, bukan kompetensi.
Akibatnya, jabatan tidak dipandang sebagai ruang pengabdian, tetapi sebagai hadiah atau hak pribadi. Dalam kondisi seperti itu, sangat wajar bila mereka tidak siap menerima kritik, apalagi melakukan evaluasi diri.
Ada lagi fenomena burnout politik, kelelahan psikis akibat tuntutan yang terus-menerus. Banyak pejabat menghadapi tekanan bertubi-tubi: konstituen yang menuntut, partai yang meminta loyalitas, media yang mengawasi, plus dinamika keluarga yang tidak kalah rumit.
Jika seorang pejabat tidak memiliki stabilitas emosional yang baik, ia bisa jatuh pada perilaku reaktif, defensif, atau bahkan sinis terhadap masyarakat. Keputusan publik jadi tidak lagi berbasis akal sehat, tetapi emosi sesaat.
Aspek psikologi juga memengaruhi pola relasi kekuasaan. Pejabat yang tidak siap secara mental cenderung membangun lingkaran loyalis untuk memberi rasa aman. Mereka mencari kenyamanan, bukan kebenaran.
Orang-orang kritis perlahan disingkirkan. Mereka mengelilingi diri dengan pengiyakan. Dan dari sinilah bibit-bibit penyalahgunaan kekuasaan mulai tumbuh. Sebab, di ruang yang steril dari kritik, kesalahan akan terlihat seperti kemenangan.
Padahal, pejabat yang matang secara psikologis justru membutuhkan orang-orang yang berani berbeda pendapat. Ia sadar bahwa keberhasilan kebijakan tidak ditentukan oleh kenyamanan emosionalnya, tetapi oleh keberanian untuk menghadapi kenyataan yang kadang pahit.
Pertama, pejabat publik perlu menyadari bahwa jabatan tidak mengubah kemanusiaan. Mereka tetap manusia biasa yang bisa salah, lelah, bias, atau terpengaruh kepentingan. Menyadari keterbatasan adalah pintu pertama menuju kepemimpinan yang sehat.
Kedua, perlu ada budaya politik yang membiasakan evaluasi terbuka, bukan seremonial. Di banyak negara maju, pejabat memiliki mentor atau konsultan psikologis yang membantu menjaga kestabilan emosional dan mental selama menjabat. Di Indonesia, hal semacam ini sering dianggap tidak perlu, padahal dampaknya sangat signifikan bagi kualitas pengambilan keputusan.
Ketiga, pejabat publik perlu membangun jarak yang sehat dari euforia kekuasaan. Fasilitas bukan identitas. Kehormatan bukan kewenangan absolut. Semakin tinggi jabatan, seharusnya semakin rendah hati seorang pemimpin.
Keempat, partai politik dan masyarakat perlu memastikan bahwa proses rekrutmen pejabat tidak hanya menilai kemampuan teknis, tetapi juga kematangan psikis. Pemimpin yang cerdas tapi tidak stabil akan lebih berbahaya dibanding pemimpin yang sederhana namun bijak.
Psikologi pejabat rakyat adalah faktor penting yang menentukan wajah demokrasi. Sebab kebijakan tidak lahir dari ruang hampa; ia lahir dari kepala dan hati seseorang yang memegang mandat publik.
Ketika psikologi pejabat sehat, keputusan negara pun akan lebih sehat. Tetapi ketika mentalitas kekuasaan dibiarkan tumbuh liar, maka yang muncul bukan lagi pemimpin, melainkan penguasa.
Demokrasi tidak membutuhkan penguasa. Ia membutuhkan wakil rakyat, yang sadar bahwa mandatnya bukan untuk disembah, melainkan untuk bekerja bagi mereka yang memberikan kepercayaan.
***
*) Oleh : Mahsun Arifandy, Mahasiswa Magister Psikologi, UMM.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |