https://malang.times.co.id/
Opini

Percakapan Digital dan Bayang-Bayang Jerat Hukum

Kamis, 02 Oktober 2025 - 19:01
Percakapan Digital dan Bayang-Bayang Jerat Hukum Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Ruang digital hari ini bukan sekadar wadah percakapan, melainkan arena pertarungan gagasan, opini, bahkan emosi publik. Namun, di balik riuh percakapan itu, ada bayang-bayang yang kerap menghantui: jerat hukum. 

Sering kali kita melihat bagaimana pernyataan sederhana di media sosial tiba-tiba dikaitkan dengan pasal tertentu, dilaporkan ke aparat, bahkan digiring seolah-olah sebagai tindak pidana serius. Hukum sedang menjadi instrumen untuk mendewasakan ruang digital, atau justru jebakan yang mengancam kebebasan berekspresi.

Dalam iklim demokrasi, kebebasan berpendapat adalah hak fundamental warga negara. Konstitusi jelas menjamin hak setiap orang untuk menyatakan pikiran di muka umum. Namun, dalam praktik, hak ini kerap berbenturan dengan tafsir hukum, terutama ketika percakapan digital dianggap melewati batas. 

UU ITE menjadi contoh paling nyata. Pasal-pasal karet yang multitafsir menjadikan siapa pun berpotensi tersandung, bahkan hanya karena komentar, unggahan meme, atau sekadar retweet. Ruang digital yang semestinya menjadi wadah dialektika pun berubah menjadi ladang ketakutan.

Kita perlu jujur mengakui, ada dua wajah hukum dalam ruang digital. Di satu sisi, hukum memang diperlukan untuk menjaga agar kebebasan tidak berubah menjadi kebebalan. Tanpa aturan, media sosial bisa menjelma menjadi hutan belantara: fitnah, ujaran kebencian, hingga provokasi kekerasan bisa merusak tatanan sosial. 

Namun di sisi lain, hukum yang kabur batasnya justru membuka peluang kriminalisasi. Kritik bisa ditafsirkan sebagai pencemaran nama baik. Sindiran bisa dipaksa menjadi ujaran kebencian. Akibatnya, masyarakat tidak lagi berani bicara, dan demokrasi kehilangan rohnya.

Fenomena “menjerat dengan hukum” juga erat kaitannya dengan kepentingan politik dan ekonomi. Tidak jarang, hukum dijadikan alat untuk membungkam lawan atau pesaing. Mereka yang kritis terhadap kekuasaan atau korporasi besar justru paling rentan menjadi target. 

Kasus-kasus semacam ini memperlihatkan bagaimana hukum dipraktikkan tidak netral, melainkan selektif: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Di titik inilah, percakapan digital berubah dari arena publik yang sehat menjadi ajang penuh jebakan.

Persoalan yang muncul bukan hanya soal kebebasan berekspresi, melainkan juga soal keadilan prosedural. Banyak warga yang berhadapan dengan laporan hukum di ruang digital tidak memiliki akses memadai terhadap pembelaan. 

Biaya, stigma sosial, dan ketidakpahaman hukum membuat mereka terjebak dalam lingkaran kriminalisasi. Alih-alih melindungi martabat manusia, hukum justru menjadi momok yang menakutkan.

Kita tidak boleh menutup mata bahwa fenomena ini bisa melemahkan kualitas demokrasi kita. Demokrasi tanpa kebebasan berbicara hanyalah formalitas. Apalagi di era digital, percakapan publik di media sosial adalah denyut nadi demokrasi itu sendiri. 

Jika warga takut bicara karena khawatir diseret ke ranah hukum, maka yang tersisa hanyalah ruang kosong yang diisi propaganda elite. Itulah awal kematian dialektika publik.

Namun, tentu bukan berarti kebebasan di ruang digital bisa absolut. Kita tetap harus menjaga etika dalam berucap, menimbang dampak sosial dari setiap unggahan, dan menghargai martabat orang lain. 

Hukum memang perlu hadir, tetapi bukan sebagai jerat yang mencari-cari kesalahan, melainkan sebagai pagar yang jelas batasnya. Batas itu harus transparan, proporsional, dan tidak multitafsir. Dengan begitu, hukum menjadi penuntun, bukan alat represi.

Masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawal persoalan ini. Pertama, mendorong reformasi regulasi digital, terutama UU ITE, agar pasal-pasal karet diperjelas dan tidak disalahgunakan. 

Kedua, memperkuat literasi digital agar publik lebih sadar konsekuensi dari setiap kata yang diucapkan di dunia maya. 

Ketiga, membangun solidaritas warga agar mereka yang terjerat hukum tidak dibiarkan sendirian. Sebab, ruang digital adalah milik bersama; jika satu orang dibungkam, maka semua orang kehilangan kebebasannya.

Fenomena percakapan digital yang “dijerat” hukum juga mengingatkan kita pada perlunya membedakan antara public accountability dan kriminalisasi. Kritik terhadap pejabat publik, misalnya, semestinya dilihat sebagai bentuk partisipasi politik warga. 

Ia harus dijawab dengan argumentasi, bukan laporan polisi. Hanya dengan cara itu, demokrasi bisa tumbuh dewasa: menerima kritik sebagai vitamin, bukan racun.

Kita perlu menegaskan kembali prinsip dasar: hukum hadir untuk melindungi, bukan menakut-nakuti. Dunia digital memang membuka ruang bagi ekspresi, tetapi juga menuntut kedewasaan etika.

Jika hukum dijadikan jerat yang sewenang-wenang, maka yang lahir bukan masyarakat beradab, melainkan masyarakat bisu. Saat itulah kita benar-benar kehilangan esensi dari demokrasi. Karena itu, mari kita kawal bersama agar ruang digital tetap menjadi panggung dialektika sehat, bukan medan kriminalisasi. (*)

***

*) Oleh: Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.