TIMES MALANG, MALANG – Indonesia adalah paradoks. Di satu sisi, ia berdiri sebagai negeri dengan kekayaan alam yang luar biasa tanah subur, lautan luas, hutan tropis, dan kandungan mineral yang diidamkan dunia. Namun di sisi lain, jutaan rakyatnya masih bergulat dengan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial yang menganga.
Dari Sabang sampai Merauke, kekayaan itu seolah hanya menjadi pemandangan dalam laporan ekonomi, bukan kenyataan yang dirasakan rakyat di meja makan mereka.
Dalam wacana politik nasional, frasa “Indonesia kaya raya” kerap menjadi retorika yang megah namun kosong makna. Kita terlalu sering membanggakan potensi, tapi jarang membicarakan distribusi.
Padahal, akar dari kesenjangan sosial dan ekonomi kita justru terletak pada cara kita mengelola kekayaan alam, apakah untuk kemakmuran bersama, atau untuk kepentingan segelintir elite dan korporasi global.
Menurut data United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Indonesia termasuk dalam sepuluh besar negara dengan cadangan sumber daya alam terbesar di dunia. Namun, fakta di lapangan menunjukkan ironi: 10 persen penduduk menguasai lebih dari 77 persen kekayaan nasional. Artinya, kekayaan itu bukan tidak ada, melainkan tidak terbagi.
Ambil contoh di sektor pertambangan. Pulau-pulau seperti Halmahera, Papua, dan Kalimantan menjadi ladang emas dan nikel bagi dunia industri. Namun masyarakat di sekitar tambang justru hidup di tengah jalan rusak, air tercemar, dan sekolah yang reyot. Sumber daya alam diekstraksi, tapi nilai tambahnya tak pernah tinggal di tanah kelahiran.
Masalah serupa terjadi di sektor perikanan dan hutan. Laut Indonesia menyumbang 12 persen produksi ikan dunia, tetapi nelayan kecil masih berjuang dengan modal pas-pasan.
Hutan kita disebut “paru-paru dunia,” namun masyarakat adat yang menjaga hutan justru tersingkir dari tanahnya sendiri. Potensi yang seharusnya menjadi berkah, berubah menjadi ironi karena struktur pengelolaan yang timpang dan minim keberpihakan pada rakyat kecil.
Dari Ekstraksi ke Keadilan Ekonomi
Kekayaan alam tidak otomatis membawa kesejahteraan. Ia hanya menjadi jalan menuju kesejahteraan bila dikelola dengan prinsip keadilan ekonomi.
Pemerintah perlu mengubah paradigma dari ekstraktif menjadi produktif dan distributif. Artinya, sumber daya tidak hanya digali dan diekspor, tetapi diolah menjadi nilai tambah yang melibatkan masyarakat setempat.
Model ekonomi berbasis komunitas perlu didorong sebagai jalan tengah antara kapitalisme industri dan proteksionisme negara. Misalnya, pengelolaan nikel tidak hanya untuk ekspor bahan mentah, tetapi juga untuk membangun ekosistem industri baterai di dalam negeri, dengan kepemilikan saham bagi masyarakat lokal.
Demikian pula dalam sektor perikanan, koperasi nelayan modern harus menjadi aktor utama dalam rantai pasok, bukan sekadar pemasok bahan mentah bagi konglomerat.
Keadilan ekonomi berarti memastikan bahwa setiap wilayah penghasil sumber daya mendapatkan kompensasi yang setara dengan kontribusinya. Papua, misalnya, tidak boleh terus menjadi halaman belakang yang kaya tambang tapi miskin pembangunan. Konsep Dana Bagi Hasil (DBH) perlu diperkuat dan diawasi agar benar-benar menyentuh masyarakat, bukan berhenti di meja birokrasi.
Menata Ulang Arah Kebijakan Nasional
Kekayaan alam hanya menjadi berkah bila ada keberpihakan dalam kebijakan publik. Dalam konteks ini, negara tidak cukup hanya berperan sebagai pengawas, tetapi harus menjadi pengarah dan pelindung kepentingan nasional.
Langkah-langkah konkret bisa dimulai dengan tiga hal. Pertama, transparansi dan akuntabilitas sektor SDA. Setiap kontrak tambang, izin hutan, dan ekspor migas harus dibuka ke publik agar rakyat tahu siapa yang menikmati hasil kekayaan negeri.
Kedua, penguatan industri pengolahan dalam negeri agar kita tidak selamanya menjadi eksportir bahan mentah.
Ketiga, pembangunan manusia sebagai fondasi kesejahteraan, karena sebesar apa pun sumber daya yang dimiliki, tanpa kualitas manusia yang unggul, kekayaan itu hanya akan menguap dalam pusaran eksploitasi.
Negara-negara seperti Norwegia dan Qatar bisa menjadi cermin. Keduanya memiliki kekayaan alam besar, namun kesejahteraannya lahir bukan dari tambang, melainkan dari tata kelola dan distribusi yang adil.
Mereka menjadikan hasil alam sebagai investasi pendidikan, teknologi, dan sosial, bukan hanya pendapatan fiskal. Indonesia pun bisa menempuh jalan serupa, dengan menempatkan rakyat sebagai pemegang saham utama kekayaan bangsa.
Dari Narasi Kaya ke Praktik Sejahtera
Sudah saatnya narasi “Indonesia kaya” berubah menjadi “Indonesia sejahtera”. Kekayaan sejati bukan diukur dari berapa banyak sumber daya yang kita miliki, tetapi seberapa adil kekayaan itu dibagikan.
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat harus bersama-sama menumbuhkan etos baru: eksplorasi harus diimbangi dengan pemerataan, pembangunan harus berdampak langsung pada kehidupan rakyat.
Tidak ada gunanya cadangan nikel berlimpah jika anak-anak di sekitar tambang tetap kekurangan gizi. Tidak ada maknanya ekspor batu bara meningkat jika petani di sekitar pelabuhan tetap hidup dalam kemiskinan.
Kita tidak sedang kekurangan sumber daya, kita sedang kekurangan keberanian untuk mengelola kekayaan itu dengan adil.
Jika Indonesia mampu menata ulang paradigma pembangunan berbasis keadilan, maka kekayaan alam tidak lagi menjadi paradoks, melainkan berkah.
Dari bumi yang subur, laut yang luas, dan tambang yang melimpah, kita bisa menumbuhkan kesejahteraan yang merata bukan hanya bagi segelintir orang, tapi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 33 UUD 1945 telah memberikan arah yang tegas: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Amanat itu bukan sekadar kalimat normatif, melainkan kompas moral dan politik ekonomi bangsa.
Kekayaan alam Indonesia harus menjadi jalan pembebasan dari kemiskinan dan ketimpangan, bukan menjadi sumber eksploitasi baru. Bila kekayaan itu dikelola dengan semangat keadilan, maka cita-cita Indonesia yang gemah ripah loh jinawi bukan lagi utopia, melainkan keniscayaan.
***
*) Oleh : Ferry Hamid, Peraih Anugerah Tokoh Pemuda Inspiratif ATI 2024 TIMES Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |