TIMES MALANG, JAKARTA – Aksi demonstrasi yang berlangsung di berbagai daerah sebagai bentuk penolakan terhadap putusan Undang-Undang TNI menuai reaksi keras dari aparat kepolisian. Sayangnya, alih-alih melindungi hak konstitusional rakyat untuk bersuara, aparat justru menunjukkan tindakan represif yang mencederai prinsip demokrasi.
Bentrokan, kekerasan fisik, dan penangkapan sewenang-wenang menjadi gambaran suram bagaimana negara merespons suara kritis warganya.
Demonstrasi merupakan hak asasi yang dijamin oleh konstitusi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.
Namun, dalam praktiknya, hak ini sering kali dibungkam dengan kekerasan, menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan besar antara hukum di atas kertas dan realitas di lapangan.
Tindakan represif yang dilakukan aparat juga bertentangan dengan prinsip negara hukum. Kepolisian seharusnya mengayomi masyarakat dan menjaga ketertiban dengan pendekatan persuasif.
Sayangnya, dalam banyak kasus, pendekatan yang digunakan justru intimidatif dan koersif. Hal ini mencerminkan pola pikir otoritarian yang seharusnya telah ditinggalkan sejak reformasi.
Kekerasan terhadap demonstran juga menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya dilindungi oleh aparat? Seharusnya, polisi berada di pihak rakyat, bukan menjadi alat kekuasaan untuk membungkam mereka yang berani mengkritik kebijakan pemerintah. Jika tindakan represif terus terjadi, kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian akan semakin luntur.
Tindakan brutal ini juga semakin memperparah luka demokrasi di Indonesia. Jika rakyat merasa takut untuk menyampaikan pendapat, maka demokrasi telah kehilangan esensinya. Pemerintah dan aparat harus memahami bahwa kritik bukan ancaman, melainkan bentuk kepedulian rakyat terhadap jalannya pemerintahan.
Selain itu, represifitas aparat hanya akan memperburuk eskalasi konflik. Alih-alih meredam ketegangan, kekerasan yang dilakukan polisi justru berpotensi memicu perlawanan yang lebih besar. Sejarah telah menunjukkan bahwa tindakan represif kerap menjadi bahan bakar bagi gerakan perlawanan yang lebih luas dan semakin sulit dikendalikan.
Pendekatan represif juga berisiko mencoreng citra Indonesia di mata dunia. Sebagai negara yang mengklaim demokratis, tindakan represif semacam ini hanya akan memperlihatkan wajah otoritarianisme yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi universal. Reputasi Indonesia sebagai negara demokratis bisa dipertanyakan jika praktik kekerasan terhadap demonstran terus terjadi.
Masyarakat sipil, akademisi, hingga organisasi hak asasi manusia harus bersuara lebih keras menolak segala bentuk tindakan represif ini. Kebebasan berpendapat adalah pilar utama demokrasi, dan tanpa perlindungan terhadap hak ini, Indonesia berpotensi mengalami kemunduran demokrasi yang serius.
Pemerintah juga harus berani mengevaluasi kinerja aparat keamanan. Jika kekerasan terus dibiarkan, maka ini akan menjadi preseden buruk bagi penanganan demonstrasi di masa depan. Pengawasan terhadap kepolisian harus diperketat agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat yang hanya ingin menyampaikan aspirasinya.
Penting bagi pemerintah dan aparat untuk mengadopsi pendekatan yang lebih humanis dalam menangani aksi demonstrasi. Dialog dan mediasi harus diutamakan, bukan pentungan dan gas air mata. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memberi ruang bagi semua suara, bukan hanya yang mendukung pemerintah.
Kita tidak boleh tinggal diam melihat tindakan represif terus berulang. Jika demokrasi ingin tetap hidup, maka rakyat harus berani menolak segala bentuk tindakan yang membungkam kebebasan berekspresi. Aparat harus kembali pada tugas utamanya: melindungi dan mengayomi masyarakat, bukan menjadi alat represi.
Pada akhirnya, demokrasi bukan hanya soal hak memilih pemimpin, tetapi juga hak untuk menyuarakan pendapat tanpa rasa takut. Jika kekerasan terhadap demonstran terus dibiarkan, maka kita patut bertanya: masihkah kita hidup dalam negara demokrasi, atau sedang berjalan mundur ke era otoritarianisme?
***
*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |