TIMES MALANG, BONDOWOSO – Hari Raya Idul Fitri merupakan momen yang penuh makna bagi umat Islam. Setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa, umat Islam merayakan kemenangan dengan tradisi silatur atau anjangsana ke rumah sanak saudara, tetangga, dan sahabat. Tradisi ini bertujuan untuk mempererat hubungan, saling memaafkan, dan berbagi kebahagiaan.
Silaturahmi di Hari Raya seharusnya menjadi kesempatan untuk menjalin kembali hubungan yang mungkin sempat merenggang, mempererat persaudaraan, dan mengutamakan nilai kebersamaan.
Silaturahmi bukan sekedar rutinitas tahunan, tetapi juga membawa keberkahan dalam kehidupan seseorang. Momentum Lebaran seharusnya menjadi ajang memperbaiki hubungan dan membangun kedekatan emosional.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada kecenderungan masyarakat menjadikan Lebaran sebagai ajang fashion show. Tren ini semakin diperkuat oleh media sosial yang menampilkan unggahan foto-foto OOTD (Outfit of The Day) saat Lebaran.
Banyak orang berlomba-lomba mengenakan pakaian serba baru, bermerk, dan mahal demi terlihat menarik di mata orang lain. Tidak sedikit yang merasa tertekan jika tidak bisa mengikuti tren ini.
Islam tidak pernah melarang umatnya untuk berpakaian bagus. Rasulullah SAW sendiri menyukai kebersihan dan kerapihan dalam berbusana. Namun, yang perlu diperhatikan adalah niat di baliknya.
Jika berpakaian rapi dan sopan didasarkan pada rasa syukur kepada Allah, maka itu adalah hal yang baik. Namun, jika tujuan utamanya adalah untuk pamer atau merasa lebih unggul dari orang lain, maka itu adalah sikap yang kurang bijaksana.
Agar anjangsana Lebaran kembali pada makna sejatinya, ada beberapa etika yang perlu diperhatikan. Niatkan silaturahmi sebagai ajang menjalin hubungan, bukan sekadar ajang gengsi. Saat berkunjung ke rumah saudara atau tetangga, niatkan untuk mempererat hubungan, bukan untuk memamerkan pakaian atau penampilan.
Kesederhanaan dalam berpenampilan mencerminkan ketulusan hati. Mengenakan pakaian yang rapi dan bersih tentu dianjurkan, tetapi tidak perlu berlebihan hingga menciptakan kesenjangan sosial atau membuat orang lain merasa minder. Yang lebih penting adalah bagaimana kita berbicara dengan sopan, menghormati tuan rumah, dan tidak membanding-bandingkan kondisi ekonomi satu sama lain.
Mengabadikan momen bersama keluarga memang wajar, tetapi jika lebih banyak waktu dihabiskan untuk berfoto daripada berinteraksi, maka esensi silaturrahmi akan hilang. Prioritaskan kebersamaan dibandingkan kesempurnaan tampilan di media sosial. Saat bertamu, penting untuk menghormati kondisi tuan rumah. Tidak semua orang memiliki kemampuan finansial yang sama.
Momentum Lebaran adalah waktu yang tepat untuk kembali ke nilai-nilai kesederhanaan. Lebaran seharusnya menjadi kesempatan untuk berbagi kebahagiaan dengan orang-orang di sekitar kita, bukan malah menciptakan tekanan sosial akibat standar gaya hidup yang berlebihan.
Kesederhanaan tidak berarti tidak boleh memakai pakaian baru atau tampil rapi. Namun, yang perlu diingat adalah bahwa yang lebih penting dari sekadar pakaian baru adalah hati yang baru. Jika pakaian baru hanya mempercantik tampilan luar, hati yang baru akan memperindah akhlak dan mempererat hubungan antar sesama.
Lebaran bukanlah ajang untuk pamer atau berlomba dalam hal penampilan. Esensi dari anjangsana Lebaran adalah mempererat silaturahmi, menyebarkan kebahagiaan, dan saling memaafkan. Jika kita dapat menahan diri dari perilaku konsumtif dan kembali kepada nilai-nilai sejati dari silaturahmi, maka kebersamaan dan keberkahan akan lebih terasa di Hari Raya.
Marilah kita kembali pada makna sejati Lebaran dengan menjadikan anjangsana sebagai momen untuk mempererat hubungan, bukan sekadar ajang fashion show. Dengan begitu, Idulfitri benar-benar menjadi hari kemenangan, bukan hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam hati dan akhlak kita.
***
*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMP Negeri 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional Literasi Baca-Tulis.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |