https://malang.times.co.id/
Opini

Geopolitik Kedaulatan Digital

Kamis, 24 April 2025 - 12:43
Geopolitik Kedaulatan Digital Munawir Aziz, Penerima Beasiswa AIFIS untuk Studi dan Riset di Amerika Serikat, Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom (2020-2023).

TIMES MALANG, JAKARTA – Indonesia sedang berada di persimpangan geopolitik digital yang menghadirkan ketegangan ekonomi, politik hingga teknologi. Kedaulatan menjadi bagian penting yang diperbincangkan sebagai strategi, maupun jargon program pemerintah ataupun pejabat terkait.

Namun, perbincangan ini belum sepenuhnya menangkap dimensi geopolitik yang menyertainya. Di balik layanan cloud, pusat data, atau jaringan 5G yang kita gunakan sehari-hari, sesungguhnya sedang terjadi pertarungan pengaruh global: antara negara, perusahaan, dan sistem nilai yang mereka bawa.

Indonesia saat ini berada di tengah kontestasi. Di satu sisi, kita ingin mempercepat transformasi digital melalui investasi dan adopsi teknologi terkini. Di sisi lain, kita dihadapkan pada risiko kehilangan kendali atas data strategis, infrastruktur kritikal, bahkan arah teknologi nasional itu sendiri. 

Maka, pertanyaannya kini bukan hanya bagaimana membangun digitalisasi, melainkan bagaimana membangun digitalisasi yang berdaulat dan berpihak pada kepentingan nasional.

Infrastruktur Digital sebagai Medan Geopolitik

Tak seperti di masa lalu, saat geopolitik ditentukan oleh pelabuhan dan minyak, kini teknologi digital menjadi bagian dari perebutan pengaruh global. Jaringan 5G bukan sekadar urusan kecepatan internet, tapi juga infrastruktur strategis untuk masa depan industri, militer, dan keamanan nasional. Sistem cloud dan pusat data bukan sekadar tempat penyimpanan informasi, tetapi menyimpan rahasia negara dan perilaku warga.

Tiongkok, melalui perusahaan seperti Huawei, ZTE, dan Alibaba Cloud, menawarkan solusi teknologi yang terintegrasi, murah, dan cepat. Di sisi lain, Amerika Serikat melalui Amazon Web Services, Google, dan Microsoft Azure, menguasai pangsa pasar cloud global dan menjadi default provider bagi banyak negara. Indonesia menjadi target dari keduanya.

Dalam berbagai proyek strategis—mulai dari smart city, sistem CCTV kota, cloud pemerintah, hingga digital ID—nama-nama asing mendominasi. Dalam jangka pendek, ini mungkin efisien. Namun dalam jangka panjang, dominasi ini berisiko menciptakan vendor lock-in, membatasi ruang kebijakan, dan membuka celah ketergantungan baru.

Indonesia telah merespons isu ini melalui beberapa kebijakan, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) yang mewajibkan penyimpanan data strategis di wilayah Indonesia. Undang-Undang No 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) juga telah disahkan sebagai upaya menjaga hak warga atas datanya.

Namun demikian, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal. Banyak data strategis pemerintah tetap disimpan di luar negeri. Proses pemilihan teknologi seringkali masih ditentukan oleh logika harga dan kecepatan, bukan oleh pertimbangan kedaulatan atau risiko jangka panjang. Pemerintah juga belum memiliki pendekatan diplomasi digital yang tegas. Indonesia cenderung pragmatis—terbuka pada semua pihak, tetapi tanpa peta jalan yang jelas.

Ini mencerminkan dilema klasik negara berkembang: kita butuh investasi dan teknologi asing, tetapi juga ingin menjaga otonomi dan kepentingan nasional. Tanpa strategi yang jelas, kita rentan terseret dalam pertarungan dua kutub teknologi dunia—Tiongkok dan Amerika Serikat—yang masing-masing membawa sistem nilai, standar, dan kepentingannya sendiri.

Menuju Strategi “Non-Blok Digital”

Dalam konteks ini, Indonesia memerlukan pendekatan baru yang lebih strategis dan terkoordinasi: sebuah strategi non-blok digital. Seperti halnya Gerakan Non-Blok dalam politik luar negeri, pendekatan ini menolak keterikatan mutlak pada salah satu blok kekuatan teknologi, dan justru mendorong otonomi, interoperabilitas, dan kerja sama multilateral berbasis kepentingan nasional.

Pertama, Indonesia perlu membentuk unit khusus lintas kementerian yang menangani isu geopolitik digital melibatkan Kementerian Luar Negeri, Kominfo, BSSN, dan lembaga lainnya. Isu ini terlalu besar jika hanya ditangani oleh satu kementerian secara sektoral. 

Unit ini dapat merumuskan prinsip-prinsip diplomasi digital nasional, mengevaluasi risiko geopolitik teknologi dalam pengadaan publik, serta membangun jejaring kerja sama teknologi selatan-selatan. Intinya perlu koordinasi satu pintu dan komando, agar kebijakan bisa menjadi integratif serta bisa dieksekusi secara strategis.

Kedua, Indonesia harus mulai membangun kapasitas teknologi strategis domestik. Kita tidak harus menutup diri dari teknologi asing, tetapi perlu menciptakan ekosistem yang mendorong inovasi lokal: cloud nasional, sistem enkripsi mandiri, open source untuk layanan publik, dan pendanaan riset teknologi berdaulat.

Ketiga, Indonesia harus aktif dalam forum global seperti G20, ASEAN Digital Ministers Meeting, International Telecommunication Union (ITU), dan UN Digital Compact untuk memperjuangkan prinsip-prinsip keterbukaan, netralitas teknologi, dan hak digital negara berkembang. Kita tidak boleh sekadar menjadi konsumen teknologi global, tetapi juga ikut merumuskan aturannya.

Kedaulatan Bukan Isolasi

Kedaulatan digital bukan berarti menutup diri atau menolak kerja sama internasional. Sebaliknya, ini adalah soal kemampuan memilih, mengendalikan, dan menentukan arah sendiri dalam transformasi digital. Ini adalah tentang memiliki otonomi atas data, infrastruktur, dan keputusan digital kita sendiri.

Di era ketika cloud, AI, dan 5G menjadi bagian dari strategi geopolitik global, Indonesia harus bangkit sebagai negara yang berdaulat secara digital bukan hanya sebagai pasar, tetapi sebagai pemain yang mampu menentukan nasibnya sendiri.

Jika kita gagal membangun kedaulatan digital hari ini, mungkin kita sedang membangun kemerdekaan palsu di masa depan.

***

*) Oleh : Munawir Aziz, Penerima Beasiswa AIFIS untuk Studi dan Riset di Amerika Serikat, Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom (2020-2023).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.