TIMES MALANG, MALANG – Di era digital hari ini, kemampuan berbicara bukan lagi sekadar keahlian tambahan ia sudah menjadi mata uang sosial yang menentukan nilai seseorang di ruang publik. Orang yang pandai berbicara, mampu mengartikulasikan gagasan dengan percaya diri, dan memikat audiens lewat narasi yang hidup, memiliki peluang lebih besar untuk dikenal, dipercaya, bahkan sejahtera.
Inilah zaman di mana public speaking tidak lagi milik politisi, dosen, atau pembicara seminar, tetapi menjadi kebutuhan semua orang yang ingin punya pengaruh dari influencer, content creator, pebisnis, hingga aktivis sosial.
Ironisnya, banyak orang hari ini lebih sibuk mempercantik feed media sosial ketimbang melatih kemampuan berbicara. Mereka lupa bahwa di balik setiap konten yang viral, selalu ada kemampuan komunikasi yang kuat.
Kamera, mikrofon, dan algoritma hanyalah alat, tetapi yang membuat pesan hidup adalah suara manusia yang meyakinkan. Public speaking bukan tentang seberapa keras seseorang berbicara, melainkan seberapa dalam kata-katanya mampu menembus kesadaran orang lain.
Kemampuan berbicara yang baik adalah seni sekaligus strategi. Ia adalah jembatan antara ide dan pengaruh. Dalam dunia digital yang sangat cepat dan bising, kemampuan menyusun kata dengan struktur yang kuat dan emosi yang tepat adalah modal utama.
Lihatlah para tokoh besar dunia digital mereka tidak selalu yang paling pintar, tetapi yang paling komunikatif. Mereka bisa membuat hal rumit menjadi sederhana, dan hal sederhana menjadi inspiratif. Itulah kekuatan retorika modern.
Bagi generasi muda, terutama mereka yang ingin menjadi influencer atau pengusaha digital, public speaking adalah pondasi dari personal branding. Tanpa kemampuan berbicara yang meyakinkan, pesan yang baik pun bisa kehilangan daya.
Di ruang digital yang padat, kepercayaan adalah mata uang paling mahal, dan kepercayaan itu lahir dari cara seseorang berkomunikasi. Nada suara, pilihan diksi, ekspresi wajah, bahkan kejujuran yang terpancar dari mata semua itu berbicara jauh sebelum algoritma media sosial bekerja.
Lebih dari itu, public speaking juga menjadi kunci kesejahteraan ekonomi di dunia digital. Mengapa? Karena ekonomi digital adalah ekonomi narasi. Produk bisa sama, tetapi yang membedakan adalah cara menjual cerita di baliknya.
Seorang pebisnis online yang mampu menjelaskan nilai produknya dengan emosi dan keyakinan akan memenangkan pasar dibanding mereka yang hanya memamerkan harga murah.
Begitu pula dengan influencer mereka yang mampu membangun hubungan emosional dengan audiens lewat kata-kata akan lebih dipercaya oleh brand, lebih sering dilirik oleh sponsor, dan lebih mudah bertahan di tengah persaingan konten yang kejam.
Berbicara di depan publik tidak bisa dipelajari hanya dari menonton tutorial atau meniru gaya orang lain. Ia lahir dari keberanian untuk tampil apa adanya, melatih spontanitas, dan membangun kesadaran diri bahwa setiap kata punya tanggung jawab.
Dalam konteks ini, public speaking bukan sekadar soal teknik, tapi juga soal karakter. Orang yang berani bicara jujur, yang bisa menyeimbangkan logika dan empati, akan selalu memenangkan hati audiens.
Sayangnya, banyak yang terjebak pada tampilan luar suara dibuat terlalu keras, gestur dibuat dramatis, padahal yang dibutuhkan audiens adalah ketulusan. Dunia digital semakin jenuh dengan kepalsuan. Oleh karena itu, public speaking masa kini justru menuntut keaslian: menjadi diri sendiri, namun dalam versi terbaik.
Bukan meniru gaya orang lain, tapi menemukan suara yang paling autentik dari dalam diri. Di sinilah bedanya antara mereka yang hanya viral dan mereka yang benar-benar berpengaruh.
Lebih jauh, kemampuan berbicara yang baik juga memiliki dimensi sosial. Di tengah derasnya arus informasi dan polarisasi, public speaking yang bijak bisa menjadi jembatan perdamaian. Orang yang mampu berbicara dengan tenang dan rasional di tengah perdebatan digital adalah penjaga kewarasan publik.
Dunia hari ini tidak kekurangan orang pintar, tetapi kekurangan orang yang bisa berbicara dengan hati dan empati. Dalam konteks ini, public speaking bukan hanya alat mencari rezeki, tetapi juga sarana membangun peradaban komunikasi yang lebih beradab.
Maka siapa pun yang ingin sukses di dunia digital entah sebagai content creator, pebisnis, jurnalis, atau aktivis perlu menempatkan public speaking sebagai investasi utama.
Ia bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan modal sosial, ekonomi, dan spiritual. Karena setiap kata yang lahir dari keberanian dan kejujuran akan menemukan jalannya sendiri untuk didengar, bahkan di tengah kebisingan algoritma.
Dunia digital bukan hanya tentang siapa yang paling viral, tetapi siapa yang paling bernilai. Dan nilai itu lahir dari kemampuan berbicara yang mampu menggerakkan pikiran dan perasaan orang lain.
Public speaking yang sejati tidak menjadikan seseorang terkenal karena volume suaranya, tapi karena makna dari setiap kata yang ia ucapkan.
***
*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Guru SDIT IQRO.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |