TIMES MALANG, MALANG – Kabar itu datang seperti bisikan yang pelan tapi menyakitkan. DPR menghapus tunjangan rumah bagi anggotanya sebuah langkah yang di permukaan tampak mulia.
Di tengah himbauan penghematan anggaran, keputusan itu seperti napas segar dari gedung Senayan yang kerap disorot karena kemewahannya.
Namun tak butuh waktu lama, publik kembali dikejutkan oleh kabar lain, dana reses anggota DPR justru naik. Dan seketika, aroma moralitas dalam kebijakan penghapusan tunjangan itu lenyap begitu saja.
Kenaikan itu, menurut sejumlah laporan media, terjadi dari sekitar Rp702 juta menjadi Rp756 juta per anggota. Bagi rakyat, angka itu bukan sekadar statistik ia adalah simbol dari kesenjangan empati.
Saat sebagian besar masyarakat menghitung ulang belanja dapur karena harga sembako naik, para wakilnya di Senayan justru punya alasan baru untuk menebalkan pos kegiatan politik mereka. Hemat di satu pintu, tapi boros di pintu lain. Ironi semacam ini sudah terlalu sering terdengar dari lembaga yang katanya mewakili suara rakyat.
Pihak DPR buru-buru membantah. Mereka menyebut tak ada kenaikan resmi, hanya kesalahan perhitungan. Tapi publik tak lagi mudah percaya. Terlalu banyak cerita yang berulang, fasilitas dikurangi di satu sisi, ditambah di sisi lain.
Tunjangan dipangkas di depan kamera, lalu diganti dengan program yang nilainya setara di belakang meja. Politik simbolik semacam ini mungkin memuaskan logika birokrasi, tapi gagal menyentuh nurani publik. Rakyat hanya melihat satu hal kenyamanan para wakilnya selalu dijaga, apapun namanya.
Mungkin DPR lupa, rakyat kini bukan lagi penonton pasif. Masyarakat membaca berita, mengingat angka, dan memahami pola. Mereka tahu bahwa total dana reses DPR mencapai sekitar Rp2,46 triliun pada tahun terakhir.
Jika dibagi rata ke 580 anggota, setiap wakil rakyat bisa menerima Rp2,5 hingga Rp4 miliar per tahun untuk kegiatan reses. Jumlah itu bahkan melampaui anggaran pembangunan beberapa sekolah negeri di daerah terpencil.
Di mana letak solidaritas ketika wakil rakyat berkeliling dapil dengan biaya miliaran, sementara warga di wilayahnya masih menambal atap sekolah dengan seng berkarat?
Yang membuat publik semakin geram bukan hanya soal nominal, melainkan cara DPR memaknai tanggung jawabnya. Dana reses adalah uang rakyat, disalurkan untuk menampung aspirasi rakyat. Tapi dalam praktiknya, batas antara kepentingan publik dan pribadi sering mengabur.
Banyak pengamat menilai dana reses justru sering cair ke rekening pribadi sebelum kegiatan dilakukan. Mekanisme pelaporan pun lemah. Publik tak pernah tahu berapa sebenarnya uang yang digunakan, untuk kegiatan apa, dan apa hasilnya bagi masyarakat. Laporan kegiatan yang mestinya terbuka sering kali berhenti di meja sekretariat, tidak pernah sampai ke ruang publik.
Dan di situlah letak krisis sesungguhnya. Bukan karena uangnya terlalu besar, melainkan karena rasa percaya yang terus menipis. Rakyat tak lagi yakin bahwa reses benar-benar untuk menyerap aspirasi.
Mereka melihatnya sebagai masa libur berbayar, di mana anggota dewan kembali ke dapil bukan untuk mendengar, tapi untuk memastikan simpul politiknya tetap hidup. Aspirasi rakyat disamarkan dalam daftar kegiatan yang rapi, lengkap dengan foto-foto seremonial dan spanduk bertuliskan “menyerap aspirasi”. Padahal yang diserap justru dana negara.
Situasi ini mencerminkan kegagalan moral sebuah lembaga yang semestinya menjadi penjaga etika fiskal negara. Pemerintah tengah berusaha menekan belanja pejabat, memotong subsidi aparatur, dan mengencangkan ikat pinggang di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Tapi di Senayan, efisiensi tampaknya hanya berlaku untuk rakyat, bukan untuk wakilnya. Ketika masyarakat diminta menahan diri, para politisi justru sibuk mencari celah agar tak kehilangan kenyamanan. Di sinilah moral politik itu goyah bukan karena melanggar hukum, tapi karena melanggar rasa keadilan.
Tak ada yang salah jika anggota DPR mendapat hak sesuai beban tanggung jawabnya. Tapi yang dipersoalkan publik adalah ketidakseimbangan antara penghasilan dan pengabdian.
Ketika kehadiran mereka di ruang sidang sering kosong, ketika produk legislasi tak banyak berubah nasib rakyat, wajar jika dana triliunan itu dipertanyakan.
Rakyat tidak iri. Mereka hanya lelah mendengar alasan bahwa semua sudah sesuai aturan, sementara akal sehat mengatakan sebaliknya.
DPR mungkin akan terus membantah. Mereka akan berkata tak ada kenaikan, semua sesuai prosedur, semua diaudit. Tapi persoalan ini telah melampaui angka dan audit.
Ia sudah masuk ke wilayah moral dan kepercayaan. Sebab ketika lembaga yang seharusnya mengawasi uang rakyat justru sulit diawasi dalam urusan uangnya sendiri, maka legitimasi moralnya sudah runtuh.
Rakyat tak menuntut wakilnya hidup miskin. Mereka hanya ingin wakil yang tahu kapan harus menahan diri. Karena pada akhirnya, kehormatan seorang pejabat publik tidak ditentukan oleh besar kecilnya tunjangan, melainkan oleh kepekaannya terhadap rasa keadilan rakyat yang diwakilinya.
Dan kini, rasa itu nyaris hilang. Gedung Senayan berdiri megah, tapi kepercayaan publik pada penghuninya terus rapuh. Penghapusan tunjangan rumah yang semula tampak seperti langkah berani kini hanya terlihat sebagai permainan angka. DPR mungkin berhasil menghapus satu pos anggaran, tapi gagal menghapus kesan bahwa mereka tetap mencari kenyamanan di balik nama baru.
Defisit terbesar di republik ini bukan pada neraca keuangan, tapi pada neraca kepercayaan. Dan selama moral politik di Senayan masih berputar di antara kepentingan diri, rakyat tak akan lagi melihat para legislator sebagai wakilnya, melainkan sekadar penjaga kursi yang tak rela kehilangan empuknya sandaran.
***
*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |