https://malang.times.co.id/
Opini

Perlindungan Pekerja Inklusif

Selasa, 25 November 2025 - 17:12
Perlindungan Pekerja Inklusif Tati, S.Pd., MPA., Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Jakarta.

TIMES MALANG, JAKARTA – Kondisi perubahan struktur ekonomi, percepatan digitalisasi, dan dampak perubahan iklim memengaruhi perubahan wajah dunia kerja di Indonesia dengan cepat. Model perlindungan konvensional yang biasanya berfokus pada keselamatan dasar dan jaminan formal dirasa sudah tidak lagi memadai. Sebab, pekerja akan menghadapi berbagai risiko dan transformasi baru dalam dunia kerja di era kontemporer. 

Data BPS menunjukkan jumlah penduduk bekerja di Indonesia terus meningkat sekitar 145–146 juta penduduk pada 2024–2025, namun demikian dengan tingkat penganggurannya juga semakin terbuka sekitar 4,7–4,9 persen. Hal ini menunjukkan bahwa skala isu perlindungan kerja harus dijawab secara sistemik oleh berbagai level lintas sektoral.

Paralel dengan itu, kebutuhan inklusivitas menuntut agar perlindungan menjangkau pekerja rentan, antara lain pekerja informal, pekerja platform, perempuan dengan pekerjaan tidak tetap, serta penyandang disabilitas.

Kelompok tersebut, dalam program jaminan sosial masih terbatas. Data kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dalam satudata.kemnaker.go.id menunjukkan puluhan juta peserta, tetapi gap antara pekerja formal dan informal besar sehingga banyak pekerja belum mendapat proteksi yang memadai. 

Oleh karena itu, rekonsiliasi antara inklusivitas dan keberlanjutan menuntut desain kebijakan yang adaptif, efisien fiskal, serta berbasis bukti dan kerja sama multi-pihak.

Perubahan lanskap ketenagakerjaan global memiliki dinamika eksternal yang kompleks. Laporan kolaboratif ILO, WHO, dan WMO menunjukkan bahwa lebih dari 2,4 miliar pekerja di seluruh dunia kini terekspos risiko panas ekstrem. 

Kondisi yang tidak hanya menurunkan produktivitas, tetapi juga meningkatkan insiden cedera dan kematian terkait kerja. Risiko ini terutama dirasakan oleh pekerja yang bekerja di luar ruangan atau memiliki paparan lingkungan tinggi.

Dalam konteks Indonesia, transformasi dunia kerja memperlihatkan kerentanan sektoral yang signifikan. Sektor pertanian dan konstruksi, yang menjadi tempat bekerja jutaan tenaga kerja, sangat terdampak oleh kenaikan suhu, intensitas sinar ultraviolet, dan perubahan pola cuaca. 

Ketergantungan sektor-sektor tersebut pada aktivitas fisik luar ruang menjadikan pekerja lebih rentan terhadap heat stress, dehidrasi, dan penurunan performa kerja. Karena itu, kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang berbasis standar lama yang tidak mempertimbangkan faktor iklim, menjadi tidak lagi relevan untuk memastikan perlindungan pekerja secara komprehensif.

Selain lingkungan, transformasi dunia kerja juga didorong oleh ekspansi gig economy yang mengubah struktur dan hubungan kerja secara fundamental. Model kerja berbasis platform menciptakan fleksibilitas, tetapi sekaligus memperluas kategori pekerja tanpa ikatan kontrak jangka panjang dan tanpa jaminan sosial yang memadai. 

Banyak pekerja gig tidak terdaftar sebagai pekerja formal sehingga skema jaminan sosial berbasis kontribusi penuh sulit menjangkau mereka. Kondisi ini menuntut hadirnya model perlindungan sosial yang lebih adaptif dan inklusif, termasuk desain kebijakan baru yang dapat menyesuaikan karakteristik kerja digital yang tidak stabil dan cenderung berbasis permintaan.

Dalam perspektif Human Resources Management (HRM), perlindungan pekerja tidak hanya dipahami sebagai kewajiban regulatif, melainkan sebagai bagian strategis dari pembangunan sumber daya manusia. 

Pendekatan Strategic Human Resource Management (SHRM) menekankan bahwa organisasi harus mengintegrasikan keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan pekerja ke dalam strategi jangka panjang. Sebab, investasi terhadap kesejahteraan fisik dan mental karyawan terbukti meningkatkan produktivitas, loyalitas, dan kinerja organisasi.

Selain itu, teori human capital menegaskan bahwa pekerja bukan sekadar biaya, melainkan aset berharga yang memerlukan perlindungan sistematis agar mampu berkontribusi optimal dalam lingkungan kerja yang terus berubah.

Praktik HR seperti rekrutmen inklusif, pelatihan berkelanjutan, manajemen kinerja yang adil, dan desain pekerjaan yang memperhatikan keselamatan menjadi fondasi utama dalam mencegah risiko kecelakaan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja. 

HRM juga harus memperhatikan kebutuhan kelompok rentan, seperti pekerja disabilitas dan pekerja informal yang mulai diintegrasikan dalam sistem perlindungan melalui skema jaminan sosial yang lebih fleksibel. Sebab, pendekatan ini sejalan dengan tren global yang menempatkan kesejahteraan pekerja sebagai indikator utama keberhasilan organisasi dalam era kompetitif.

HRM dituntut untuk mengembangkan kebijakan yang bersifat adaptif, termasuk mendorong penggunaan teknologi untuk pemantauan keselamatan, menyediakan pelatihan reskilling bagi pekerja platform, dan membangun sistem kerja yang tetap memberikan rasa aman meskipun hubungan kerja bersifat tidak permanen. 

Upaya merekonsiliasi perlindungan pekerja yang inklusif dan berkelanjutan memerlukan strategi yang komprehensif, adaptif, dan berbasis bukti. 

Pertama, mengintegrasikan risiko iklim ke dalam kebijakan ketenagakerjaan, terutama bagi sektor yang rentan terhadap paparan panas dan kondisi lingkungan ekstrem. Contohnya penyesuaian standar jam kerja, penyediaan fasilitas istirahat dengan ventilasi atau pendingin, serta implementasi sistem peringatan dini berbasis indeks panas menjadi bagian dari upaya mitigasi risiko.

Kedua, strategi rekonsiliasi harus mencakup penguatan jaminan sosial yang adaptif dan inklusif, terutama bagi pekerja informal, pekerja platform, dan mereka yang berada di sektor rentan. Skema jaminan sosial perlu dirancang dengan pendekatan fleksibel, seperti kontribusi berbasis pendapatan fluktuatif, mekanisme subsidi silang, serta integrasi registri pekerja informal dalam sistem nasional. Kerja sama antara pemerintah, BPJS, platform digital, dan sektor swasta memungkinkan penyediaan produk mikro-asuransi dan perlindungan dasar yang lebih terjangkau.

Dalam tingkat organisasi, kebijakan HR yang inklusif, misalnya rekrutmen berbasis kompetensi, akomodasi bagi penyandang disabilitas, dan pelatihan reskilling akan membantu meningkatkan peluang pekerja untuk beralih ke pekerjaan yang lebih aman dan berkelanjutan.

Ketiga, insentif fiskal dan tata kelola yang mendukung agar implementasi standar keselamatan dan keberlanjutan tidak menambah beban usaha kecil dan menengah (UKM). Pemerintah dapat memberikan subsidi transisi, dukungan teknis, serta penyederhanaan regulasi agar UKM mampu menerapkan praktik K3 modern tanpa terdorong kembali ke sektor informal.

Keempat, penerapan indikator kinerja berkelanjutan. Hal ini dapat melalui pelaporan Environmental, Social, and Governance (ESG) maupun audit internal yang memasukkan metrik keselamatan, inklusi, dan adaptasi iklim. Dengan demikian, organisasi memiliki insentif ekonomi dan reputasional untuk berinvestasi dalam perlindungan pekerja.  (*)

***

*) Oleh : Tati, S.Pd., MPA., Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Publik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.