TIMES MALANG, MALANG – Fenomena guru ngonten kini menjadi wajah baru pendidikan kita. Guru tak lagi sekadar berdiri di depan kelas dengan kapur dan papan tulis, melainkan juga tampil di layar gawai dengan ring light menyala terang. Mereka merekam, mengedit, memoles, dan memublikasikan momen belajar agar terlihat menarik kadang inspiratif, kadang penuh sensasi.
Di balik itu semua, muncul pertanyaan mendasar: apakah konten yang dihasilkan benar-benar bagian dari proses belajar? Atau hanya upaya lain agar algoritma menyukai mereka?
Kemajuan teknologi membuat setiap orang bisa menjadi penyiar untuk dirinya sendiri. Platform digital tak hanya menjadi ruang bermain anak muda atau panggung para selebgram, tetapi juga tempat guru memperluas jangkauan edukasi.
Di satu sisi, ini adalah peluang besar: ilmu pengetahuan tak lagi terjebak di bangku kelas. Tapi di sisi lain, muncul problem serius pendidikan kehilangan konteks, bahkan arah.
Di kelas, guru memiliki otoritas dan ekosistem pembelajaran yang jelas: ada kurikulum, interaksi, umpan balik, dan evaluasi. Namun, ketika pembelajaran bergeser ke konten yang dikejar bukan lagi pemahaman mendalam, melainkan jumlah like, view, dan subscriber maka nilai pendidikan terancam tereduksi menjadi sekadar hiburan tipis-tipis. Anak didik bisa jadi terkesima, tapi tidak benar-benar belajar.
Kita semua paham: profesi guru di era digital tidak bisa menutup diri dari teknologi. Tapi yang sering luput adalah kenyataan bahwa setiap medium memiliki logikanya sendiri. Logika platform digital adalah viralitas. Logika pendidikan adalah kebermaknaan. Ketika guru memaksa keduanya bersatu tanpa fondasi yang kuat, konflik kepentingan muncul diam-diam.
Guru yang semula mendokumentasikan kegiatan belajar sebagai bagian dari portofolio pembelajaran, perlahan tergoda untuk menampilkan “adegan-adegan” yang lebih dramatis, lucu, atau menyentuh.
Tugas praktik siswa yang sederhana bisa tiba-tiba menjelma menjadi video cinema yang indah, tapi justru jauh dari tujuan pembelajaran. Bahkan ada yang menggiring siswa menjadi pemeran konten hanya demi meningkatkan engagement. Lalu di mana batas etiknya?
Fenomena ini menjadi semakin rumit ketika konten yang dibuat guru tidak memiliki kejelasan konteks. Apa hubungan video itu dengan capaian kompetensi? Apakah nilai yang disampaikan sudah benar secara akademik? Bagaimana privasi siswa dijamin? Tanpa pedoman yang tegas, kreatifitas bisa berubah menjadi eksploitatif.
Yang lebih mengkhawatirkan, guru yang aktif berkonten sering mendapat label “guru keren”, “guru kekinian”, bahkan “guru inspiratif” meski kualitas pembelajarannya di kelas mungkin biasa saja. Sementara guru yang fokus di ruang kelas, mendalami pedagogi, dan mencurahkan waktu untuk pendampingan siswa satu per satu, justru tak pernah masuk dalam sorotan kamera. Jangan sampai dunia pendidikan kita memberi reward yang terbalik: yang terpublikasi dianggap prestasi, yang berdampak dianggap biasa.
Pendidikan tidak boleh berjalan mengikuti logika pasar digital. Karena pasar selalu menggoda untuk tampil lebih, bukan mendidik lebih. Ketika guru sibuk membangun personal branding, siapa yang memastikan karakter peserta didik dibangun dengan benar? Ketika guru asyik mengejar followers, siapa yang mengejar ketertinggalan siswa dalam literasi dan numerasi?
Kita tidak sedang menyalahkan guru yang kreatif memanfaatkan media digital. Banyak guru konten yang benar-benar transformatif menyajikan pengetahuan yang sulit menjadi lebih mudah dipahami, bahkan menjangkau jutaan pembelajar yang sebelumnya tak tersentuh kelas formal. Tapi catatan kritis ini adalah pengingat bahwa profesi guru memiliki mandat moral yang lebih dalam daripada sekadar “tampil keren.”
Solusinya bukan melarang guru mengonten. Solusinya adalah mengembalikan konten ke dalam konteks. Setiap materi yang dipublikasikan harus tetap berpijak pada kurikulum, pedagogi, dan etika.
Ada baiknya lembaga pendidikan menyusun panduan yang jelas mengenai produksi konten edukatif, termasuk perlindungan data dan keterlibatan siswa. Pemerintah dan mitra pendidikan pun harus memberi ruang peningkatan kompetensi digital bagi guru, agar mereka tidak terperangkap dalam perilaku digital serba impulsif.
Kita butuh keseimbangan baru. Guru boleh populer, tetapi integritas tetap menjadi poros. Guru boleh kreatif, tetapi orientasi pendidikan harus tetap utama. Jangan sampai generasi mendatang belajar lebih banyak tentang gaya bicara guru daripada isi pelajarannya.
Masa depan tidak ditentukan oleh berapa banyak konten yang kita tonton, melainkan seberapa dalam kita memahami dunia. Dan itu, sampai kapan pun, butuh guru yang mengajar dengan penuh makna bukan guru yang sekadar muncul di layar. (*)
***
*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |