https://malang.times.co.id/
Opini

Pendidikan, Kesehatan dan Si Miskin

Senin, 10 Februari 2025 - 15:23
Pendidikan, Kesehatan dan Si Miskin Moh Gufron, Founder of Komunalis.com.

TIMES MALANG, JAKARTA – Publik kembali diramaikan oleh beredarnya sebuah foto di aplikasi X yang menampilkan tabel skala prioritas arah kebijakan Badan Perencanaan Pembangunan (BPP) untuk Tahun Anggaran 2026. 

Dimana tabel tersebut menempatkan kesehatan dan pendidikan sebagai "Prioritas Pendukung," sementara Program Makan Bergizi Gratis (MBG), ketahanan pangan dan energi, perumahan, serta pertahanan dan keamanan justru mendapatkan prioritas utama. 

Hal ini memicu kontroversi di berbagai kalangan, sebab sebagaimana kita ketahui bahwa: sektor pendidikan dan kesehatan merupakan hak dasar yang dijamin konstitusi dan memiliki peran fundamental dalam pembangunan bangsa.  

Pemangkasan anggaran pendidikan dan kesehatan tak lepas dari ambisi besar pemerintahan Prabowo Subianto untuk sedapat mungkin merealisasikan program unggulan MBG. Demi memastikan keberlanjutan program ini, pemerintah tampaknya mengorbankan beberapa sektor krusial, termasuk pendidikan dan kesehatan. 

Padahal, jika mengacu pada pernyataan Badan Gizi Nasional, salah satu tujuan utama MBG adalah meningkatkan akses terhadap makanan bergizi, memperbaiki pola makan sehat, serta mengurangi kemiskinan. 

Ironisnya, upaya ini justru bertentangan dengan kebijakan pemangkasan anggaran di sektor pendidikan dan kesehatan, yang sejatinya juga merupakan faktor utama dalam pengentasan kemiskinan dan upaya pembangunan. 

Persoalannya, jika pemerintah yang diwakili Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hanya melihat kemiskinan dari perspektif ekonomi semata-yakni sebatas ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar-maka ada kesalahan fundamental dalam memahami akar masalahnya (apalagi sasaran nya bukan untuk anak dari keluarga miskin). 

Kemiskinan tidak hanya dilihat dari satu faktor seperti rendahanya pendapatan, tetapi juga berkaitan dengan kegagalan dalam memenuhi hak-hak dasar, termasuk akses terhadap pendidikan berkualitas dan layanan kesehatan yang memadai (Amartya Sen, 2000). 

Pemangkasan anggaran pendidikan dan kesehatan yang dikemas dalam narasi efisiensi pada dasarnya merupakan langkah yang justru menghambat kemajuan kedua sektor tersebut. 

Walaupun alokasi 20% dari APBN untuk pendidikan tetap dipenuhi sepanjang perjalanan bangsa, realitas di lapangan menunjukkan berbagai persoalan serius, seperti tingginya angka korupsi di sektor pendidikan, komersialisasi sekolah, serta lemahnya tata keloladan kesejahteraan tenaga pendidik masih jamak ditemui hingga hari ini (Indonesian Corruption Watch). 

Lebih parah lagi, pendidikan dasar yang seharusnya bebas biaya masih menyisakan berbagai pungutan liar, serta akses terhadap pendidikan tinggi semakin terbatas akibat mahalnya biaya kuliah.  

Di sektor kesehatan, tantangan yang dihadapi tak kalah besar. Kesenjangan layanan antara wilayah perkotaan dan daerah 3T masih menjadi masalah utama. 

Mahalnya biaya pendidikan kedokteran juga memperburuk situasi, yang pada giliran nya berimplikasi terhadap sedikitnya tenaga medis yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama di daerah terpencil. 

Contoh sederhananya ialah, semisal calon mahasiswa kedokteran yang memiliki bakat dan potensi akademik tinggi tetapi tidak dibarengi dengan finansial yang cukup maka akan menjadi penghalang untuk masuk ke fakultas kedokteran.

Selain itu, Pengalih fungsian  anggaran dari pendidikan dan kesehatan ke program-program lain tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang dapat berujung pada stagnasi pembangunan. Sejatinya, Kesehatan dan pendidikan bukan sekadar sektor pendukung, melainkan investasi fundamental bagi kemajuan bangsa. 

Dengan ini, Pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada solusi jangka pendek seperti pemberian makanan bergizi gratis, tetapi juga mengembangkan kebijakan berbasis pembangunan sumber daya manusia (human capital) yang lebih berkelanjutan.  

Modal manusia menjadi faktor utama dalam pengentasan kemiskinan di negara berkembang seperti Indonesia. Hal itu bisa dicapai hanya melalui pendidikan yang terstruktur dan berkelanjutan, serta layanan kesehatan yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. 

Tanpa kedua faktor ini, masayarakat miskin akan terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputus (Jeffrey Sachs, 2005). Untuk menciptakan pembangunan yang berkeadilan, pemerintah harus memastikan bahwa setiap individu memiliki akses yang setara terhadap pendidikan dan kesehatan berkualitas. 

Dengan demikian, penguatan modal manusia akan menjadi motor utama pembangunan jangka panjang, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata.  

Jika pemerintah benar-benar ingin mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka pendekatan yang digunakan harus bersifat holistik dan tidak mengorbankan satu sektor demi sektor lainnya. 

Program MBG memang memiliki tujuan yang baik, tetapi dengan cara memangkas anggaran pendidikan dan kesehatan dalam realisasi dan pelaksanaan nya adalah suatu keputusan yang tidak elok, karena dua sektor itu sama penting nya dalam pembangunan bangsa.

Sebaliknya, pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang lebih seimbang, seperti memastikan bahwa anggaran pendidikan dan kesehatan tetap diprioritaskan, sembari tetap menjalankan program MBG secara efisien tanpa mengorbankan sektor lain. 

Korupsi dalam sektor pendidikan dan kesehatan juga harus diberantas agar anggaran yang tersedia benar-benar dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas layanan. 

Pemerintah harus memperkuat pula pemerataan fasilitas pendidikan dan kesehatan, terutama di daerah 3T, agar seluruh masyarakat memiliki akses yang setara terhadap layanan dasar. 

Program pembangunan juga harus difokuskan pada peningkatan kualitas tenaga pendidik dan tenaga kesehatan, termasuk memberikan subsidi pendidikan bagi calon dokter dan tenaga medis lainnya.  

Jika pemerintah tetap berpegang pada paradigma pembangunan yang mengesampingkan pendidikan dan kesehatan, maka bukan tidak mungkin masyarakat miskin akan semakin terjebak dalam kondisi yang lebih buruk. 

Seperti yang diungkapkan oleh Robert Chambers (1983), kebijakan yang tidak mempertimbangkanfaktor non-ekonomis dalam pengentasan kemiskinan hanya akan melahirkan kemiskinan yang “terpadu,” atau memperbesar jurang antara pendidikan, kesehatan dan si miskin.

Kesehatan dan pendidikan tidak boleh hanya dipandang sebagai"prioritas pendukung," melainkan sebagai fondasi utama pembangunan yang harus diperkuat. 

Pemangkasan anggaran di kedua sektor ini bukanlah solusi untuk mengefisienkan APBN, tetapi justru dapat memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dalam jangka panjang. Jika kebijakan ini terus dipaksakan, maka yang akan terjadi bukanlah kesejahteraan yang merata, melainkan meningkatnya ketimpangan sosial. 

Oleh karena itu, pemerintah harus mempertimbangkan kembali arah kebijakan pembangunan dengan memastikan bahwa kesehatan dan pendidikan tetap menjadi prioritas utama dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan berdaya.

***

*) Oleh : Moh Gufron, Founder of Komunalis.com.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.