TIMES MALANG, PEKALONGAN – Diskursus pembangunan nasional, pertumbuhan ekonomi sering dianggap sebagai barometer utama kesehatan ekonomi suatu negara. Namun, ketika pertumbuhan tak lagi mampu mencerminkan kesejahteraan yang merata dan berkelanjutan, maka perlu disadari bahwa kita sedang menghadapi isyarat krisis yang lebih dalam.
Indonesia hari ini menunjukkan gejala tersebut: pertumbuhan tetap berada di kisaran lima persen, tetapi ketimpangan, pengangguran terselubung, dan beban fiskal makin menekan. Alarm bahaya ekonomi Indonesia sebenarnya telah menyala lama hanya saja kita memilih untuk tidak mendengarnya.
Laporan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2025 yang stagnan di angka 4,87 persen sempat disambut optimis. Namun jika ditelisik lebih dalam, kontribusi sektor riil terhadap pertumbuhan semakin menyusut, konsumsi rumah tangga melemah, dan kontribusi ekspor menurun akibat tekanan global.
Ketergantungan pada konsumsi domestik yang tidak diimbangi oleh produktivitas sektor manufaktur dan pertanian menjadi bom waktu tersendiri. Ironisnya, pertumbuhan ini justru lebih banyak ditopang oleh belanja pemerintah dan utang luar negeri.
Kepala BPS juga menyampaikan, ”Dari sisi pengeluaran, ekspor barang dan jasa tumbuh solid sebesar 6,78 persen, ditopang oleh peningkatan ekspor beberapa komoditas barang nonmigas seperti lemak & minyak hewan/nabati; besi & baja; mesin & peralatan listrik; serta kendaraan dan bagiannya. Peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara juga turut mendorong ekspor jasa.”
Sedangkan konsumsi pemerintah mengalami kontraksi 1,38 persen karena normalisasi belanja pemerintah, dimana pada triwulan I tahun lalu terdapat belanja pemerintah yang besar terkait Pemilu. Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) mencatat pertumbuhan 2,12 persen, melambat di tengah ketidakpastian global.
Dari sisi lapangan usaha, sektor pertanian mencatat pertumbuhan tertinggi dalam beberapa tahun terakhir, yaitu sebesar 10,52 persen. Capaian ini berbanding terbalik dibandingkan kondisi triwulan yang sama pada tahun sebelumnya, ketika sektor pertanian mengalami kontraksi atau penurunan sebesar 3,54 persen.
Amalia mengungkap, “Kinerja positif sektor pertanian tahun ini didorong oleh adanya peningkatan produksi padi dan jagung sebesar 51,45 persen dan 39,02 persen sepanjang triwulan 1-2025 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, serta meningkatnya permintaan domestik.”
Selain itu, Amalia juga menjelaskan, ”Peningkatan tersebut mendorong tanaman pangan tumbuh 42,26 persen; dan peningkatan permintaan domestik daging dan telur saat Ramadan dan Idulfitri mendorong peternakan tumbuh 8,83 persen.
Sementara itu, sektor industri pengolahan masih menjadi penyumbang utama PDB dengan pertumbuhan sebesar 4,55 persen, dan sektor informasi dan komunikasi tumbuh signifikan sebesar 7,72 persen, mencerminkan peningkatan kontribusi digitalisasi dalam struktur ekonomi nasional.”
Lebih lanjut, ketimpangan regional semakin mengangap. Pertumbuhan ekonomi di kawasan timur Indonesia jauh tertinggal dibanding Jawa dan Sumatera. Padahal, pembangunan yang ideal semestinya inklusif dan merata.
Ketimpangan ini memperparah disparitas sosial-ekonomi yang pada akhirnya menjadi ladang subur bagi instabilitas sosial. Dalam banyak kasus, pertumbuhan tinggi yang tak berkualitas justru melanggengkan kemiskinan struktural di daerah-daerah tertinggal.
Situasi fiskal pun semakin mencemaskan. Defisit anggaran yang terus melebar, peningkatan pembayaran bunga utang, dan rendahnya efisiensi belanja negara menunjukkan bahwa fondasi pertumbuhan tidak sehat.
Pemerintah tampak terlalu fokus mengejar angka pertumbuhan tanpa memperhatikan struktur pembiayaan yang rapuh. Dalam jangka panjang, ini bisa menjebak Indonesia dalam krisis fiskal yang membatasi ruang gerak kebijakan publik.
Sektor informal, yang menyerap lebih dari 60 persen tenaga kerja, justru menjadi penopang utama ekonomi, namun kerap diabaikan dalam kebijakan nasional. Padahal, kerapuhan sektor informal menjadi potret nyata bahwa pertumbuhan belum berhasil menciptakan lapangan kerja formal yang berkualitas. Banyak masyarakat bekerja, namun tidak sejahtera. Ini yang disebut sebagai fenomena “growth without jobs” atau pertumbuhan tanpa keberdayaan.
Dalam konteks global, Indonesia juga menghadapi tekanan dari perlambatan ekonomi dunia, perubahan iklim, dan gejolak geopolitik. Ketahanan pangan dan energi menjadi isu strategis yang belum ditangani dengan pendekatan jangka panjang.
Ketika dunia bergerak menuju ekonomi hijau dan digital, Indonesia justru masih bergantung pada komoditas primer dan sektor-sektor yang kurang inovatif. Ketidaksiapan menghadapi transisi global ini membuat kita makin rentan.
Lebih memprihatinkan, pertumbuhan juga tidak berbanding lurus dengan indeks kebahagiaan dan kesejahteraan sosial. Angka kekerasan dalam rumah tangga, stres kerja, dan kerusakan lingkungan meningkat meski ekonomi “bertumbuh”.
Ini mengindikasikan bahwa pembangunan kita masih berorientasi pada angka-angka makro, bukan pada kualitas hidup warga negara. Dalam sistem seperti ini, rakyat menjadi objek statistik, bukan subjek pembangunan.
Solusi ke depan bukan lagi sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi semata, melainkan menata ulang paradigma pembangunan. Diperlukan pendekatan baru yang menekankan pada kualitas, keberlanjutan, dan pemerataan. Indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kebahagiaan, dan indeks lingkungan perlu dijadikan parameter utama kebijakan, bukan sekadar PDB.
Peran kampus, lembaga riset, dan komunitas sipil menjadi krusial dalam menyuarakan agenda ekonomi alternatif. Sudah saatnya kita mengedepankan model ekonomi kerakyatan berbasis inovasi dan keberlanjutan.
Skema seperti ekonomi sirkular, kewirausahaan sosial, serta digitalisasi sektor UMKM dapat menjadi katalis perubahan struktural yang dibutuhkan Indonesia.
Pemerintah harus berani melakukan reformasi struktural, termasuk reformasi perpajakan yang adil, optimalisasi BUMN agar tidak sekadar mengejar keuntungan jangka pendek, serta perbaikan tata kelola anggaran. Negara harus hadir sebagai fasilitator perubahan, bukan hanya sebagai akumulator angka pertumbuhan.
Pungkasnya, kita perlu menyadari bahwa pertumbuhan hanyalah satu bagian dari cerita besar pembangunan. Ketika pertumbuhan tak lagi menyelesaikan masalah, justru menutupi luka lama dan menciptakan ketimpangan baru, maka saatnya kita menyusun ulang prioritas kebijakan nasional.
Indonesia harus berani menatap realita, mengurai isyarat krisis, dan membangun masa depan yang bukan sekadar tumbuh, tetapi juga adil dan berkelanjutan.
***
*) Oleh : Agus Arwani, SE, M.Ag., Dosen UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |