TIMES MALANG, MALANG – Riset adalah jantung dari peradaban. Dari riset, lahirlah pengetahuan, teknologi, hingga kebijakan yang menuntun arah perjalanan sebuah bangsa. Namun, riset modern hari ini memiliki tantangan sekaligus peluang baru: hadirnya big data. Kita hidup dalam era di mana data berlipat ganda setiap detik.
Dari transaksi belanja, unggahan media sosial, rekam medis, hingga sensor kota pintar, semuanya meninggalkan jejak digital. Pertanyaannya, bagaimana dunia riset memaknai banjir data ini? Apakah big data akan menjadi berkah bagi ilmu pengetahuan, atau justru jebakan baru yang menyesatkan?
Selama berabad-abad, riset bertumpu pada intuisi ilmuwan, teori yang kemudian diuji, dan data yang dikumpulkan dalam jumlah terbatas. Kini, paradigma itu diguncang oleh big data. Jumlah data yang masif membuat pola-pola sosial, ekonomi, bahkan psikologis dapat terbaca tanpa harus melalui hipotesis panjang. Algoritma pembelajaran mesin mampu menemukan relasi tersembunyi yang sebelumnya mustahil dipetakan dengan metode tradisional.
Misalnya, dalam riset kesehatan, big data memungkinkan ilmuwan memetakan potensi wabah hanya dari pola pencarian internet masyarakat tentang gejala tertentu.
Dalam riset pendidikan, data besar dari aplikasi pembelajaran daring bisa mengungkap bagaimana gaya belajar siswa berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Fakta-fakta semacam ini memperkaya khazanah riset dengan kedalaman yang sebelumnya tak terbayangkan.
Peluang bagi Dunia Akademik
Bagi dunia akademik Indonesia, big data membuka jalan menuju akselerasi riset. Bayangkan jika data transportasi, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan yang kini tercecer di berbagai kementerian bisa diintegrasikan.
Mahasiswa dan dosen tidak lagi menghabiskan waktu hanya untuk mengumpulkan data primer dengan segala keterbatasannya, tetapi bisa langsung mengolah data besar untuk menghasilkan analisis yang relevan dengan kebutuhan bangsa.
Big data juga memungkinkan riset interdisipliner tumbuh subur. Sosiolog bisa bekerja sama dengan ahli komputer, ekonom berkolaborasi dengan pakar lingkungan, hingga ulama pesantren bersanding dengan peneliti teknologi untuk membaca pola kehidupan masyarakat digital. Riset tidak lagi menjadi sekadar ruang menara gading, melainkan menyatu dengan denyut kehidupan sehari-hari.
Namun, di balik peluang, big data juga menyimpan bahaya. Pertama, soal validitas. Data yang besar tidak selalu berarti benar. Jika tidak dibersihkan, diseleksi, dan dianalisis dengan tepat, ia bisa melahirkan bias baru.
Misalnya, riset berbasis data media sosial hanya akan merepresentasikan mereka yang aktif di dunia digital, bukan seluruh masyarakat. Akibatnya, kesimpulan bisa melenceng jauh.
Kedua, soal etika dan privasi. Big data sering bersumber dari jejak digital individu: lokasi, transaksi, preferensi, bahkan percakapan pribadi. Jika digunakan tanpa pengawasan ketat, ia bisa menjadi alat kontrol sosial yang menakutkan. Di tangan negara otoriter atau korporasi rakus, big data bisa mengikis hak privasi warga negara.
Ketiga, soal ketergantungan teknologi. Riset big data membutuhkan infrastruktur besar: server, perangkat lunak, hingga tenaga ahli data science. Indonesia masih menghadapi kesenjangan serius dalam hal ini. Jika tidak hati-hati, kita hanya akan menjadi konsumen data global, bukan produsen pengetahuan berbasis data.
Dari Data ke Kebijakan Publik
Big data seharusnya tidak berhenti di ruang laboratorium atau jurnal ilmiah. Nilai paling besar dari riset big data adalah kemampuannya menjadi dasar kebijakan publik. Pemerintah bisa merancang program sosial, kesehatan, atau pendidikan berbasis data nyata, bukan sekadar asumsi politik.
Misalnya, data mobilitas masyarakat bisa digunakan untuk merancang transportasi publik yang lebih efisien. Data konsumsi pangan bisa membantu pemerintah menekan inflasi harga bahan pokok.
Data lingkungan bisa menjadi pijakan dalam menghadapi perubahan iklim. Dengan kata lain, big data adalah pintu menuju evidence-based policy, sebuah kebijakan publik yang berpijak pada bukti, bukan pada kepentingan sesaat.
Literasi Data sebagai Kebutuhan Baru
Akan tetapi, semua itu hanya mungkin jika masyarakat memiliki literasi data. Di era big data, kemampuan membaca, menafsirkan, dan mengkritisi data menjadi sama pentingnya dengan kemampuan membaca teks. Tanpa literasi data, masyarakat mudah terjebak pada manipulasi angka, infografis menyesatkan, atau propaganda digital yang dibungkus seolah-olah ilmiah.
Pendidikan tinggi di Indonesia perlu mengantisipasi hal ini. Kurikulum harus mulai mengintegrasikan literasi data, bukan hanya untuk mahasiswa teknik atau komputer, tetapi juga untuk mahasiswa sosial, politik, hingga agama. Sebab, dunia yang mereka hadapi ke depan adalah dunia di mana data menjadi "mata uang baru" peradaban.
Meski big data begitu menjanjikan, kita tidak boleh lupa bahwa data hanyalah representasi, bukan realitas itu sendiri. Di balik setiap angka ada manusia dengan segala kompleksitasnya. Karena itu, riset big data harus tetap dijaga dalam bingkai humanisme. Ia harus berpihak pada manusia, memajukan kemanusiaan, dan tidak mereduksi hidup hanya menjadi sekumpulan angka.
Riset dan big data adalah tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia. Jika kita mampu mengelola dengan bijak, big data akan menjadi mesin pengetahuan yang membawa bangsa ini melesat dalam ilmu pengetahuan dan pembangunan. Namun, jika kita abai, big data hanya akan menjadi instrumen kontrol segelintir elite atau sekadar banjir informasi tanpa makna.
Di tengah derasnya data yang mengalir, risetlah yang menjadi kompas. Riset menjaga agar data tidak sekadar angka, tetapi berubah menjadi pengetahuan, kebijakan, dan peradaban. Maka, tugas kita adalah memastikan riset dan big data berjalan beriringan, berpijak pada etika, dan bermuara pada kesejahteraan manusia.
***
*) Oleh: Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |