https://malang.times.co.id/
Opini

Buruh Berlindung dari Perbudakan

Kamis, 01 Mei 2025 - 11:35
Buruh Berlindung dari Perbudakan Dandung Sumajid, Wakil Ketua 2 PC PMII Kota Malang

TIMES MALANG, MALANG – Lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja kembali membuka luka lama bagi kelas pekerja di Indonesia. Alih-alih memperbaiki kondisi ketenagakerjaan, peraturan ini memperdalam jurang ketimpangan antara buruh dan pengusaha, sekaligus menunjukkan wajah negara yang semakin menjauh dari prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.

Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan." Ini adalah fondasi konstitusional yang seharusnya menjadi pedoman utama dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan. 

Namun dalam praktiknya, Perppu Cipta Kerja lebih menonjolkan kepentingan efisiensi dan fleksibilitas pasar ketimbang perlindungan terhadap buruh sebagai warga negara yang memiliki hak atas kesejahteraan.

Kesejahteraan Buruh yang Kian Tergerus

Salah satu dampak nyata dari kebijakan ini adalah semakin lemahnya posisi tawar buruh dalam relasi kerja. Penghapusan atau pelemahan prinsip kebutuhan hidup layak dalam penentuan upah minimum membuat buruh sulit memenuhi kebutuhan dasar mereka, terlebih di tengah lonjakan inflasi dan biaya hidup. 

Buruh tidak hanya kehilangan kepastian pendapatan, tetapi juga kehilangan rasa aman dalam bekerja. Skema kerja kontrak dan outsourcing yang semakin diperluas menimbulkan ketidakpastian status kerja dan menurunkan akses terhadap jaminan sosial.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan tujuan kesejahteraan yang seharusnya dijamin oleh negara. Dalam perspektif hak asasi manusia, pekerjaan bukan sekadar alat untuk bertahan hidup, tetapi juga sarana untuk mencapai martabat sebagai manusia. Oleh karena itu, perlindungan terhadap pekerja sejatinya adalah bagian dari kewajiban negara dalam menjamin hak asasi manusia.

Perlindungan Pekerja sebagai Hak Asasi Manusia

Hak atas pekerjaan yang layak telah diakui dalam berbagai instrumen HAM internasional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Dengan demikian, setiap kebijakan ketenagakerjaan haruslah tunduk pada prinsip non-diskriminasi, keadilan, dan perlindungan terhadap kelompok rentan.

Namun sayangnya, Perppu Cipta Kerja justru menjauhkan buruh dari jaminan tersebut. Pengurangan hak cuti, ketidakpastian kontrak kerja, dan mekanisme pemutusan hubungan kerja yang dipermudah adalah bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hak dasar pekerja. 

Hal ini menunjukkan bahwa negara tidak lagi melihat buruh sebagai subjek yang harus dilindungi, melainkan sebagai objek yang harus disesuaikan dengan dinamika pasar.

Demokrasi Partisipatif yang Ditinggalkan

Selain dari sisi substansi, proses lahirnya Perppu Cipta Kerja juga menuai kritik tajam. Dalam negara demokrasi, kebijakan publik seharusnya disusun secara partisipatif dengan melibatkan kelompok-kelompok yang terdampak. 

Namun faktanya, proses perumusan Perppu ini dilakukan tanpa konsultasi yang memadai dengan serikat pekerja, akademisi, dan masyarakat sipil. Hal ini mencerminkan krisis demokrasi partisipatif, di mana rakyat didelegitimasi dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup mereka.

Penggunaan Perppu pun patut dipertanyakan. Perppu, sebagai instrumen hukum darurat, seharusnya digunakan dalam situasi kegentingan yang memaksa. Padahal Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan memerintahkan perbaikan dengan pelibatan publik secara bermakna. Penerbitan Perppu menjadi bentuk pengabaian terhadap putusan tersebut dan pelecehan terhadap prinsip negara hukum.

Retorika Fleksibilitas Kerja

Salah satu narasi utama yang digunakan untuk membenarkan Perppu Cipta Kerja adalah pentingnya fleksibilitas kerja dalam menghadapi disrupsi ekonomi dan globalisasi. Namun dalam praktiknya, fleksibilitas kerja sering kali dimaknai sebagai penghilangan hak-hak dasar buruh demi kemudahan bagi pengusaha. Konsep ini, jika tidak dikontrol dengan prinsip keadilan, mudah berubah menjadi dalih untuk melakukan eksploitasi.

Pekerja kontrak yang terus diperpanjang tanpa batas waktu, buruh outsourcing yang tak punya kepastian kerja, dan upah minimum yang ditentukan secara sepihak adalah contoh konkret dari bagaimana fleksibilitas dijadikan alat untuk menekan biaya, bukan untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban. Akibatnya, buruh terperangkap dalam sistem kerja yang tidak hanya eksploitatif, tetapi juga tidak manusiawi.

Negara Vs Pasar

Dalam situasi ini, pertanyaan fundamental yang harus diajukan adalah: berpihak ke mana negara? Apakah kepada rakyat yang lemah dan rentan, atau pada pasar dan modal yang mengejar efisiensi?

Dalam sistem demokrasi sosial, negara idealnya berperan sebagai penyeimbang antara kepentingan ekonomi dan keadilan sosial. Namun dalam konteks Perppu Cipta Kerja, negara tampak lebih condong menjadi fasilitator investasi ketimbang pelindung rakyat.

Tentu, investasi penting bagi pertumbuhan ekonomi. Namun pertumbuhan yang tidak disertai pemerataan dan perlindungan terhadap kelompok rentan hanya akan memperlebar kesenjangan. Pembangunan ekonomi semestinya berorientasi pada manusia, bukan hanya pada angka.

Alternatif Solusi Keadilan Ketenagakerjaan

Krisis ketenagakerjaan akibat Perppu Cipta Kerja bukan tanpa jalan keluar. Negara perlu mengembalikan proses legislasi ke jalur demokrasi yang partisipatif. Revisi terhadap Perppu harus dilakukan dengan melibatkan buruh, serikat pekerja, akademisi, dan masyarakat sipil secara bermakna, bukan sekadar formalitas.

Selanjutnya, prinsip Kebutuhan Hidup Layak harus dikembalikan sebagai dasar perhitungan upah minimum. Upah harus mencerminkan kebutuhan riil buruh dan keluarganya, bukan sekadar disesuaikan dengan indeks makro ekonomi. Ini adalah bentuk pengakuan atas martabat buruh sebagai manusia yang berhak hidup layak.

Pemerintah juga harus membatasi praktik outsourcing hanya pada pekerjaan penunjang, bukan pekerjaan inti. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan sistem kerja fleksibel yang merugikan pekerja.

Penegakan hukum ketenagakerjaan perlu diperkuat untuk memastikan perlindungan jam kerja, status kerja, dan hak-hak lainnya. Tidak boleh ada impunitas bagi pelanggar hak buruh.

Terakhir, daya tawar buruh harus ditingkatkan melalui penguatan serikat pekerja dan solidaritas antar pekerja. Negara perlu menjamin kebebasan berserikat dan tidak melakukan intervensi atau pembatasan terhadap kegiatan kolektif buruh.

Peran Mahasiswa dan Masyarakat Sipil

Di tengah ketimpangan ini, mahasiswa dan masyarakat sipil memiliki peran strategis untuk mendorong perubahan. Gerakan mahasiswa yang kritis dan independen dapat menjadi kekuatan moral dalam menyuarakan kepentingan kelompok yang dilemahkan sistem.

Masyarakat sipil, termasuk LSM, akademisi, dan media, perlu terus mengawal isu ketenagakerjaan agar tidak terpinggirkan dari ruang publik.

Kebijakan yang tidak menjamin keadilan sosial harus dikritisi, dan bila perlu ditolak. Sebab diam dalam ketidakadilan adalah bentuk persetujuan terhadap penindasan.

Keadilan Sosial Harus Menjadi Orientasi

Perppu Cipta Kerja, jika dibiarkan tanpa koreksi, akan menjadi simbol kemunduran perlindungan buruh dan pelemahan prinsip negara kesejahteraan. 

Negara harus kembali pada amanat konstitusi dan menjadikan keadilan sosial sebagai orientasi utama dalam pembangunan. Tanpa perlindungan terhadap buruh, pembangunan akan kehilangan makna kemanusiaannya.

Kesejahteraan tidak boleh menjadi hak eksklusif pemilik modal. Ia harus menjadi milik bersama, termasuk buruh yang telah menyumbangkan tenaga dan waktunya demi roda ekonomi. Di sinilah letak tanggung jawab negara: menjamin bahwa kerja bukanlah bentuk baru dari perbudakan, melainkan jalan menuju kehidupan yang bermartabat. (*)

***

*) Oleh : Dandung Sumajid, Wakil Ketua 2 PC PMII Kota Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

 

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.