https://malang.times.co.id/
Opini

Pengamen, Hukum, dan Kebudayaan

Rabu, 23 April 2025 - 19:21
Pengamen, Hukum, dan Kebudayaan Dendy Wahyu Anugrah, Penulis buku Islam Blambangan-Islam Pembebasan

TIMES MALANG, JAKARTA – Di bawah kolong langit ini, manusia bekerja untuk keberlangsungan hidup. Sandang, pangan, dan papan adalah kebutuhan primer bagi setiap orang. Tak peduli mereka lahir dari kalangan atas (borjuis) atau bawah (proletar), yang jelas jika mereka tidak bekerja, berarti mereka harus merasakan perihnya perut yang melilit karena kelaparan. 

Demikian adalah hukum kehidupan. Siapa yang lapar, ia harus makan. Dan makanan tidak akan serta-merta jatuh dari langit, ia harus dicari, yakni dengan bekerja. Oleh karena itu, setiap yang bekerja, adalah mulia.

Seorang pengamen dengan tarian tradisional Banyuwangi, Gandrung, yang sempat menjadi “buah bibir” masyarakat belakangan ini juga bisa dianggap bekerja. Sebab Adi Sucipto (85), warga asal Giri itu, masih berusaha dengan kemampuan yang ia miliki untuk tidak mengemis kepada orang lain. 

Namun, ia justru ditertibkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di dekat Simpang Empat Cungking, Jl. Brawijaya Banyuwangi, pada Rabu (16/4) lalu. Berita mengenai Mbah Cip (sapaan akrab) itu kemudian menimbulkan beragam respon (pro dan kontra) dari masyarakat Bumi Blambangan.

Untuk membaca fenomena tersebut, menurut saya, kita perlu menggunakan dua perspektif: yuridis dan kebudayaan. Karena, ada dua hal yang menjadi alasan mengapa Satpol PP menertibkan dan membawa pengamen penari Gandrung itu ke Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Keluarga Berencana (Dinsos-PPKB) Banyuwangi. 

Pertama, karena dianggap meresahkan pengguna jalan dan melanggar ketertiban umum. Kedua, penggunaan kostum tari Gandrung sebagai simbol budaya Banyuwangi.

Inkonsistensi Perbup & Perda

Berkenaan dengan penertiban terhadap Mbah Cip, seorang pengamen penari Gandrung, yang dilakukan oleh Satpol PP tersebut merujuk pada Peraturan Bupati (Perbup) Banyuwangi No. 5 Tahun 2013 dan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyuwangi No. 11 Tahun 2014. 

Dalam Perbup (Pasal 5) dan Perda (Pasal 6) termaktub: “Setiap orang atau sekelompok orang dilarang mengamen dan meminta-minta di persimpangan jalan protokol, Traffic Light atau di dalam kendaraan umum serta mengganggu arus kendaraan lalu lintas dan tempat umum serta tempat fasilitas publik”. 

Selain itu, dalam Perbup dan Perda yang mengatur ketertiban umum tersebut, pelarangan terhadap orang mengamen diperjelas dalam Pasal 28 huruf b (Perbup) dan Pasal 28 huruf g (Perda): “Setiap orang atau badan dilarang menjalankan kegiatan mengemis, mengamen, dan berdagang di jalan protokol atau di Traffic Light”. 

Dari kedua peraturan ini, terdapat pelarangan yang sangat jelas mengenai aktivitas mengamen. Sehingga wajar, jika pengamen berusia 85 tahun itu kemudian ditertibkan oleh petugas. Sebab, aturan yang telah ditetapkan teramat jelas bagi kita.

Namun, di balik aturan pelarangan itu, saya melihat ada inkonsistensi atau ketidakpastian hukum (aturan). Sebab, Perbup dan Perda itu ternyata tidak sepenuhnya berlagu untuk masyarakat Banyuwangi. 

Hal itu dapat kita lihat di Traffic Light Desa Genteng Kulon dan Genteng Wetan, di mana setiap hari sekelompok orang menjalankan aktivitas ngamen dengan memainkan alat musik angklung. 

Bukankah apa yang mereka lakukan itu mengamen, dan sudah barang tentu melanggar Perbup dan Perda? Tapi mengapa mereka seolah-olah diperbolehkan, dan sedangkan di sisi lain, pengamen seperti Mbah Adi Sucipto justru ditertipkan dan dibina? 

Kalau memang alasan penertiban Mbah Cip itu dengan alasan “meresahkan pengguna jalan” dan “mengganggu ketertiban umum”, bukankah sekelompok pemuda asal Genteng tersebut juga sangat berpotensi menyebabkan hal serupa?

Kemudian, mengenai dua hal yang dijadikan dalih penertiban Mbah Cip, seyogianya di dalam Perbup dan Perda memberikan indikator yang jelas. Apa indikator “meresahkan pengguna jalan” dan “mengganggu ketertiban umum” tersebut? Sejauh ini, masih belum jelas indikator kedua alasan itu. Sehingga, selain inkonsistensi hukum, indikator kedua alasan penertiban itu masih bersifat samar. 

Pengamen, Gandrung, dan Kebudayaan

Sesuatu yang membuat heboh dan menjadi sorotan masyarakat ujung timur Jawa ialah kostum tari Gandrung yang dikenakan pria kelahiran 1940 itu ketika mengamen. 

Menurut sebagian besar masyarakat, kostrum Gandrung yang dikenakan Mbah Cip itu mengandung nilai sakral. Oleh karena itu, Dinsos-PPKB melakukan koordinasi dengan pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi untuk melakukan pembinaan terhadap pengamen penari Gandrung tersebut. 

Memang, dalam kehidupan kita, ada dua wilayah yang berbeda satu sama lain, yakni sakral dan profan. Menurut Mircea Eliade dalam The Sacred and The Profane (1987), sakral merupakan wilayah yang supranatural, transenden, dan memiliki nilai-nilai luhur. Sedangkan profan adalah wilayah kehidupan sehari-hari, yang dapat berubah-ubah. 

Kemudian, dalam konteks kostum Gandrung, masyarakat menilai ada nilai-nilai sakral (luhur) yang terkandung di dalamnya. Tentu penilaian ini tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, kita perlu menelaah fenomena penggunaan kostum Gandrung oleh seorang pengamen itu dengan lanskap pelestarian budaya.

Menurut saya, Mbah Cip bisa disebut sebagai pelestari budaya, karena beberapa hal. Pertama, ia menggunakan kostum dan menari Gandrung di jalanan sehingga mempertontonkan budaya ke khalayak, baik masyarakat Banyuwangi maupun luar kota. 

Kedua, budaya yang menghidupi. Selain budaya perlu dihidupkan (dilestarikan), bukankah budaya sudah selayaknya “menghidupi” kita? 

Ketiga, melihat apa yang dilakukan Mbah Cip sebagai upaya menghibur. Sebagaimana festival tahunan “Gandrung Sewu”, dalam pembacaan saya, Mbah Cip justru menghadirkan dan mendekatkan Gandrung kepada masyarakat luas.

Sebab, Tari Gandrung tidak hanya milik kaum elit semata, melainkan milik semua orang. Dan Mbah Cip telah berusaha melakukan hal itu: Gandrung hadir di tengah masyarakat.

Dari pembacaan dengan menggunakan perspektif yuridis dan kebudayaan ini, saya berharap kita tidak terjebak ke dalam cara pandang justifikatif. Sebab, selain peraturan yang diberlakukan penegak hukum masih mengalami inkonsistensi, Mbah Adi Sucipto juga dapat dianggap sebagai pelestari budaya sebagaimana budayawan yang lain.

***

*) Oleh : Dendy Wahyu Anugrah, Penulis buku Islam Blambangan-Islam Pembebasan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.