TIMES MALANG, JAKARTA – Di balik gemerlap wacana kemajuan pendidikan Indonesia, terdapat ironi yang menyayat hati: ribuan guru honorer yang hidup dalam ketidakpastian dan kemiskinan. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya, yang mendedikasikan hidup untuk mencerdaskan anak bangsa namun dibiarkan terlantar oleh negara yang seharusnya melindungi mereka.
Sistem Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang digadang-gadang sebagai solusi bagi nasib guru honorer justru menjadi momok menakutkan bagi mereka. Bagaimana tidak? Program yang seharusnya mengangkat derajat guru honorer malah menjadi hambatan baru yang semakin menyulitkan.
Bagi mereka yang hidup dengan penghasilan pas-pasan, biaya PPG adalah beban yang mustahil dipikul. Sementara bagi guru honorer yang sudah sepuh dan tidak melek teknologi, PPG bagaikan jalan terjal yang tak berujung.
Mari berbicara fakta. Guru honorer di berbagai pelosok negeri masih ada yang menerima upah Rp125.000 per bulan. Ada pula yang mendapatkan Rp600.000 tetapi harus menunggu hingga empat bulan untuk menerimanya.
Bayangkan, dengan penghasilan yang tidak mencukupi untuk hidup layak, mereka masih diharapkan untuk memberikan pendidikan berkualitas kepada anak-anak kita. Ini bukan sekadar ketidakadilan, ini adalah penghinaan terhadap profesi mulia yang menjadi tulang punggung masa depan bangsa.
Jika pemerintah sungguh-sungguh peduli dengan nasib guru honorer, seharusnya solusinya sederhana: lakukan pendataan menyeluruh di setiap satuan pendidikan, angkat status mereka menjadi guru tetap, dan berikan kesejahteraan yang layak.
Tidak perlu mempersulit dengan regulasi yang hanya menguntungkan segelintir elit. Guru honorer tidak membutuhkan janji-janji kosong atau program-program yang memberatkan. Mereka butuh pengakuan atas dedikasi dan pengorbanan yang telah mereka berikan selama bertahun-tahun.
Ironi lainnya terletak pada sistem rekrutmen Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sarat dengan praktik korupsi. Tidak sedikit orang yang berhasil menjadi PNS bukan karena kompetensi, melainkan karena mampu membayar "uang pelicin" yang nominalnya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Sementara itu, guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun, yang memiliki pengalaman dan dedikasi nyata, harus terus hidup dalam ketidakpastian.
Tidak heran jika kualitas pendidikan di Indonesia stagnan. Bagaimana bisa meningkat jika sistem pendidikan kita dibangun di atas fondasi yang bobrok? Guru yang benar-benar berdedikasi diabaikan, sementara mereka yang masuk melalui jalur tidak wajar justru menduduki posisi strategis.
Guru-guru hasil "tembak calo" yang bahkan tidak mampu membuat media ajar dibiarkan mengajar generasi penerus bangsa. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Pemerintah harus menyadari bahwa guru honorer bukan sekadar angka dalam statistik. Mereka adalah individu dengan mimpi, harapan, dan keluarga yang bergantung pada penghasilan mereka yang minim.
Mereka adalah pahlawan yang rela berkorban demi masa depan anak-anak Indonesia. Namun, pengorbanan mereka dibalas dengan ketidakpedulian dan pengabaian yang sistematis.
Sudah saatnya pemerintah hadir di tengah-tengah mereka. Bukan dengan program-program yang memberatkan atau janji-janji politik yang tak pernah terealisasi, melainkan dengan kebijakan konkret yang menjamin kesejahteraan dan pengakuan status mereka. Pemerintah harus membuka mata lebar-lebar dan melihat siapa sesungguhnya yang paling berdedikasi dalam mencerdaskan anak bangsa.
Pengangkatan guru honorer menjadi guru tetap atau PNS seharusnya tidak dipersulit dengan berbagai persyaratan yang tidak relevan. Pengalaman mengajar dan dedikasi mereka selama bertahun-tahun seharusnya menjadi modal utama yang dipertimbangkan.
Jika seorang guru honorer telah mengabdi selama lima tahun atau lebih, bukankah itu sudah cukup membuktikan komitmen dan loyalitas mereka terhadap dunia pendidikan?
Kita tidak bisa lagi berpura-pura tidak melihat penderitaan guru honorer. Setiap hari mereka berjuang, bukan hanya untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak kita, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri.
Bagaimana bisa seorang guru fokus mengajar jika pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang bagaimana membayar sewa rumah atau membeli beras untuk keluarganya?
Perubahan harus dimulai dari pengakuan bahwa sistem yang ada saat ini telah gagal melindungi guru honorer. Pemerintah harus berani mengakui kegagalan ini dan berkomitmen untuk melakukan perubahan fundamental dalam kebijakan pendidikan. Nasib guru honorer tidak bisa lagi dibiarkan terkatung-katung dalam ketidakpastian.
Apakah kita akan terus membiarkan mereka yang telah memberikan segalanya untuk pendidikan Indonesia hidup dalam kemiskinan dan ketidakpastian? Apakah kita akan terus menutup mata terhadap ketidakadilan yang mereka alami? Jawabannya ada di tangan kita semua, terutama di tangan pemerintah yang memiliki kewenangan untuk membuat perubahan.
Saatnya bergerak dari sekadar kata-kata menjadi tindakan nyata. Guru honorer bukan beban, melainkan aset berharga yang telah terbukti dedikasi dan komitmennya. Berikan mereka pengakuan, status, dan kesejahteraan yang layak. Hanya dengan demikian, pendidikan Indonesia bisa benar-benar maju dan berkembang sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa.
***
*) Oleh : M. Sahrozzi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |