https://malang.times.co.id/
Opini

Nyamuk Tak Sudi Disalahkan, Karena Senang Tinggal di Dapur SPPG Tanpa SHLS

Jumat, 24 Oktober 2025 - 23:30
Nyamuk Tak Sudi Disalahkan, Karena Senang Tinggal di Dapur SPPG Tanpa SHLS Abdul Qodir, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Malang dan Peraih Anugerah Politisi Muda Inspiratif Times Indonesia 2023.

TIMES MALANG, MALANG – Di sebuah kabupaten yang rajin menebar janji serta gizi setinggi langit, berdirilah dapur-dapur yang dielu-elukan sebagai penyelamat masa depan. Namun di balik tirai pujian, ada pintu-pintu dapur yang masih enggan dibuka belum berizin, beraroma lembap, dan genangan air di sudutnya berkilau cemas dalam sorot remang tempat nyamuk-nyamuk menemui kejayaannya.

Di tengah gemuruh perayaan Makan Bergizi Gratis, ada suara yang meluncur pelan: “Hati-hati, anak-anak kita yang makan di sana.”

Anehnya, suara itu justru dianggap angin ribut. “Reaktif!” “Bikin gaduh!”, katanya. Kami jadi heran, juga prihatin. Sebab yang bikin gaduh bukanlah yang mengingatkan soal izin dan kesehatan, tetapi mereka yang sibuk membela sebelum sempat menengok ke arah tungku: Layak untuk anak-anak, atau hanya layak untuk dipromosikan?

Malam menjelma seperti halaman yang terus membalik tanpa suara. Di rumah berdinding bambu yang lembut melengkung, Raka anak yang baru pulih dari keracunan di sekolah menatap layar ponselnya. Cahaya dingin dari layar itu memantul di matanya yang masih menyimpan sisa takut.

Ia membaca pelan: “Fraksi PDI Perjuangan tidak pernah meminta program MBG dihentikan. Tidak. Kami hanya menahan tangan tukang masak di dapur yang masih belum mengantongi SLHS. Sebab memberi makan anak dari dapur tanpa izin bukan keberanian politik, tapi kelalaian yang dibungkus semangat.”

Raka diam. Ia menggulir layar lagi. Kalimat berikut menyelinap melalui benaknya: “Lalu muncul sosok yang membandingkan kritik ini bak bunuh nyamuk pakai palu. Baiklah, jika begitu izinkan kami bertanya balik: Yang kami pukul bukan nyamuk, tetapi alarm kesadaran si nyamuk yang betah mengitari dapur kotor MBG.”

Ia tersenyum miris, membayangkan nyamuk-nyamuk itu menertawakan manusia dewasa yang sibuk berdebat sambil membiarkan anak-anak terbaring di ranjang rumah sakit.

Nyamuk tidak akan mati. Mereka ahli bertahan. Yang tumbang duluan justru anak-anak. Karena itu, ketika 16 siswa dan 2 guru harus dirawat, wajar bila kami bertanya: Haruskah kesadaran dibangunkan dengan bantal empuk, atau tepuk tangan?

Kritik ini bukan penolakan. Kami tahu, ini amanah Presiden. Tetapi setia pada gagasan Presiden berarti memastikan anak-anak kenyang dan sehat bukan kenyang lalu masuk IGD.

Maka aneh rasanya ketika izin SLHS baru separuh yang terbit, suara lantang malah diarahkan pada pemberi pengingat. Seolah lebih penting menyelamatkan citra daripada menjaga kesehatan anak.

Katanya, tidak memakai dana APBD. Baiklah, kami tahu. Tapi apakah ketika uangnya dari pusat, tanggung jawab daerah ikut cuti?

Justru karena bukan pakai APBD, maka modal kita satu: akal waras. Sebab apa artinya kemuliaan politik bila ditukar dengan kepedulian yang memudar?

Kami hanya meminta sederhana: Jika dapurnya belum punya izin, hentikan sementara. Bukan programnya tapi proses masaknya. Itu bukan reaksi besar-besaran, itu hanya logika kesehatan dasar yang bahkan balita pun akan paham jika ia bisa berbicara.

Kami tidak menagih tepuk tangan. Yang kami inginkan sederhana: ingatlah bahwa amanah jabatan bukan untuk menjaga perasaan partai, melainkan keselamatan rakyat.

Program boleh dikibarkan setinggi bintang, tapi jangan biarkan jerit pelan anak yang kesakitan terkalahkan oleh sorak-sorai slogan.

Maka wajarlah jika kami bertanya: Berapa dapur yang sudah berizin? Mengapa dari 71 SPPG hanya 35 ber-SLHS? Apakah sisanya tetap memasak sambil menunggu izin atau menunggu korban berikutnya?

Kami menghargai siapa pun yang membela program ini. Namun membela program bukan berarti membungkam kritik. Kritik tidak membunuh gagasan besar, justru menyelamatkannya dari kegagalan pahit.

Yang kami koreksi bukan semangat Presidennya, melainkan kesigapan pelaksananya. Bukan visi nasionalnya, melainkan dapur-dapur yang dipaksa berjalan demi pura-pura “baik-baik saja”.

Negeri ini tidak kekurangan orang yang pandai berbicara, tapi sering kekurangan yang mau mendengar sebelum menjawab. Jika telinga terasa terganggu dengan pertanyaan soal izin dan keselamatan, mungkin yang terganggu bukan pendengaran, melainkan ego.

Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Malang, tetap mendukung program ini. Dukungan kami bukan berupa tepuk tangan yang meriah, melainkan satu permohonan yang sangat sederhana: Pastikan yang disuapkan ke mulut anak-anak itu benar-benar bergizi, bukan risiko tersembunyi di balik tutup ompreng nasi.

***

*) Oleh : Abdul Qodir, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Malang dan Peraih Anugerah Politisi Muda Inspiratif Times Indonesia 2023.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.