TIMES MALANG, JAKARTA – Pendidikan di Indonesia mengalami permasalahan yang kompleks. Memiliki dilema dan tantangan yang begitu banyak. Hal ini bisa dilihat diberbagai jagat media serta realita dilapangan diantaranya tantangan, antara lain kekerasan, adiksi gawai, pornografi, judi daring, narkoba, serta bullying yang merajalela dan lain sebagainya.
Bahkan hal ini juga diperkuat data dari KPAI (kpai.go.id) sepanjang tahun 2024, menerima 2.057 pengaduan, diantaranya kasus terbanyak adalah keluarga dan pengasuhan alternatif (1.097 kasus), anak korban kekerasan seksul (265 kasus), anak dalam pemenuhan Pendidikan, pemanfaatan waktu Pendidikan, pemanfaatan waktu luang, budaya dan agama (241 kasus), anak korban kekerasan fisik psikis (240 kasus), serta anak korban pornografi dan cyber crime (40 kasus). Tidak jarang di dipungkiri hal ini terjadi di lingkungan Pendidikan.
Padahal jika menelisik dari tujuan Pendidikan Indonesia menurut sisdiknas no 20 tahun 2003 tujuan Pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Idealnya dengan Pendidikan harusnya mempertajam pemikiran dan memperhalus perasaan, sehingga apa yang menjadi persoalan Pendidikan kita? Lantas apa yang menjadi faktor dari semua ini?
Makna Pendidikan
Kemajuan dan kualitas suatu bangsa diukur dari tingkat pendidikannya. Untuk itu peningkatan kualitas di bidang pendidikan menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar, karena dunia sekarang ini ditandai dengan persaingan dan kompetisi secara global.
Hal ini juga sesuai dengan yang selalu digaungkan dalam Pendidikan Indonesia, akan tetapi masih jauh antara cita dan realita yang terjadi. Padahal Pendidikan seolah dijadikan pennggerak dalam mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul.
Akan tetapi semacam hal yang bertolak belakang, seharusnya dengan Pendidikan mmenjadikan manusia manusia tetapi disaat bersamaan terjadi hal yang tidak sejalan, seolah adanya kehilangan moral serta intelektual. Saat ini jarang tingkah sopan santun yang terwujud dalam proses Pendidikan.
Seolah adab dan bukti sebagai bagian terdidik mengalami penurunan, tidak jarang hal ini menjadi diskriminasi terhadap pendidik, walaupun juga tidak jarang hal sebaliknya.
Tugas Perkembangan Optimalkan Peran Guru BK
Seyogyanya pertumbuhan dan perkembangan manusia harus seimbang sesuai fase, dalam Pendidikan saat ini seolah pertumbuhan dan perkembangan memiliki gap, tidak jarang tingkat pertumbuhan belum menjamin tingkat perkembangan dari individu.
Hal ini seolah penting, karena masing-masing tingkatan memiliiki tugas perkembangan yang nantinya juga menjadi peran dalam membentuk karakter individu, oleh karenanya penguatan peran guru BK dalam program unggulan sejalan serta selaras. Akan tetapi yang perlu ditekankan adalah pendidikannya juga disesuikan dengan kompetensinya yaitu S1 Bimbingan dan Konseling (BK).
Hal ini sudah tertuang sesuai Permendikbud nomor 111/2014 tentang “Bimbingan dan Konseling memandirikan peserta didik dalam rangka mencapai perkembangan yang utuh dan optimal”, serta diperkuat dengan Permendiknas No. 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor, bahwa guru BK adalah lulusan S1 BK, dan menempuh pendidkan profesi guru/Konselor.
Sehingga pendampingan akan dapat dipertanggungjawab secara keilmuan, serta professional karena harus dilakukan oleh ahlinya. Yang selama ini masih belum sesuai, harapannya dengan menjadi program unggulan kementerian Pendidikan hal ini akan lebih diperkuat kembali.
Kesejahteraan Sosial dan Psikologis Pendidik
Hal yang menjadi tantangan dan dilemma adalah nasib kesejahteraan guru, guru seolah menjadi profesi yang serba salah, jika proses outcome dari Pendidikan menjadi sasaran yang utama, padahal guru seolah tidak memiliki daya kekuatan.
Lebih-lebih mengenai kesejahteraan antara membagi waktu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Padahal sudah jelas bahwa gaji guru sudah tertuang dalam Pasal 14 ayat (1) bagian a Undang-Undang no.14 Tahun 2005.
Hal yang sangat penting selain kurikulum adalah seorang pendidik, jika pendidik juga bermutu dan sejahtera secara sosial dan psikologis tentu Pendidikan yang bertumu akan diraih. Serta dengan kesejahteraan yang memadai tuntunan yang besar juga pasti akan dijalankan dengan bagus.
Dengan pemaksimalan program profesi guru (PPG) yang juga dicanangkan oleh kemendikdasmen merupakan solusi yang bagus, sehingga nantinya kesejahteraan guru-guru Indonesia tidak memprihatinkan.
Karena guru juga merupakan jabatan profesionalitas, maka juga sewajarnya dan selayaknya mendapatkan kelayakan dalam kesejahteraan secara ekonomi. Tetapi dengan PPG ini baiknya diperlukannya uji kompetensi guru (UKG) untuk tetap menjaga kompetensi dari para guru.
Bila perlu diberikan supervisi yang sesuai dengan bidang masing-masing agar kesejahteran yang diberikan juga nantinya dapat dipertanggungjawabkan dengan profesionalitas seorang guru.
Dengan pelbagai dilema dan tantangan dunia pendidikan Indonesia bisa terentaskan dengan baik. Dengan slogan Kemendikdasmen Ramah yaitu akronim dari Responsif, Akuntabel, Melayani, Adaptif, Responsi, menjadi rumah untuk solusi Pendidikan kita.
Semoga ini menjadi langkah yang jitu untuk menjawab dilema dan tantangan pendidikan Indonesia.
***
*) Oleh : Shopyan Jepri Kurniawan, Konselor Pegiat Pendidikan Indonesia (PUNDI) dan Pengurus Daerah Asosiasi Bimbingan dan Konseling Jawa Tengah (ABKIN Jateng).
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |