TIMES MALANG, MALANG – Krisis pertanian kita hari ini bukan semata tentang sawah yang kian menyusut atau petani yang semakin menua. Krisis pertanian adalah krisis arah pembangunan bangsa. Indonesia menyebut dirinya negara agraris, tetapi cara negara memperlakukan sektor pertanian tidak mencerminkan identitas besar itu.
Petani seolah dibiarkan berjalan sendirian di tengah pusaran modernisasi yang tidak berpihak, kebijakan yang berubah-ubah, dan pasar yang semakin dikuasai korporasi besar.
Ironisnya, negara baru tersentak ketika harga pangan melonjak, pasokan terganggu, atau inflasi tak terkendali. Padahal masalah itu bukan tiba-tiba muncul semalam; ia hasil akumulasi dari bertahun-tahun kegagalan melihat pertanian sebagai sektor strategis, bukan sekadar penyedia bahan mentah.
Salah satu masalah paling mendasar ialah alih fungsi lahan yang tak terbendung. Sawah berubah menjadi perumahan, kebun berubah menjadi ruko, dan tanah subur berubah menjadi beton. Pemerintah memang memiliki regulasi perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, tetapi implementasinya lemah.
Ketika lahan pertanian berubah menjadi ruang komersial, yang hilang bukan hanya tanah, tetapi masa depan ketahanan pangan bangsa. Kita kehilangan ruang produksi, kehilangan generasi petani, dan kehilangan kedaulatan pangan.
Di sisi lain, petani yang masih bertahan justru bekerja di bawah bayang-bayang ketidakpastian harga dan tingginya biaya produksi. Ketergantungan terhadap pupuk kimia dan benih impor membuat petani tidak memiliki kendali atas siklus produksi mereka sendiri.
Ketika pupuk bersubsidi langka, petani terjebak pada pilihan mahal atau gagal panen. Ketika harga gabah jatuh saat panen raya, petani kembali disalip tengkulak. Siklus timpang ini terus berputar, dan negara tidak cukup hadir untuk memutus mata rantainya.
Kebijakan pertanian kita sering kali hanya responsif terhadap krisis, bukan visioner. Setiap kali harga naik, solusinya impor. Impor dijadikan jalan pintas untuk menenangkan gejolak, padahal ia mengganggu harga pasar lokal dan mematikan harapan petani. Impor bukan dosa, tetapi ketergantungan yang berkepanjangan adalah kegagalan.
Indonesia seharusnya bisa membangun sistem produksi pangan yang tangguh melalui riset, inovasi bibit, efisiensi irigasi, dan modernisasi alat pertanian. Namun anggaran riset pertanian masih jauh dari memadai, pusat penyuluhan banyak yang hidup segan mati tak mau, dan transformasi teknologi berjalan tanpa ekosistem pendampingan.
Persoalan lain yang kerap diabaikan adalah regenerasi petani. Data menunjukkan rata-rata usia petani kita sudah mendekati 50 tahun. Sementara anak muda lebih tertarik bekerja di kota atau sektor digital karena pertanian dipersepsikan sebagai profesi yang keras, berisiko, dan tidak menjanjikan.
Ini bukan salah mereka; ini salah negara yang gagal memperbaiki ekosistem pertanian agar layak secara ekonomi dan menarik secara sosial. Tanpa regenerasi, dalam dua atau tiga dekade ke depan, kita bisa mengalami krisis produksi yang jauh lebih parah dibanding apa yang kita rasakan hari ini.
Padahal Indonesia punya modal besar: tanah subur, iklim tropis, ribuan varietas lokal, hingga kearifan tradisional yang jika dipadukan dengan inovasi bisa melahirkan pertanian modern berbasis kerakyatan. Tetapi modal sebesar itu tidak akan berarti tanpa keberanian politik untuk mengubah arah kebijakan.
Pertanian seharusnya ditempatkan sebagai sektor strategis yang mendapat prioritas anggaran, bukan sisa dari pembagian pos pembangunan. Modernisasi pertanian tidak bisa hanya diukur dari jumlah traktor yang dibagikan, tetapi dari transformasi pengetahuan petani, kemampuan desa mengolah pasca panen, hingga akses pasar yang adil.
Koperasi tani harus diperkuat, bukan sekadar dipajang sebagai formalitas administrasi. Rantai pasok yang panjang harus dipangkas agar petani mendapatkan harga yang layak. Dan yang paling penting, negara harus membangun ekosistem yang membuat pertanian menjadi profesi yang bermartabat dan menguntungkan.
Krisis pangan global akibat perubahan iklim, geopolitik, dan disrupsi rantai pasok seharusnya menjadi alarm keras bagi Indonesia. Kita tidak bisa selamanya bergantung pada pasar internasional. Ketahanan pangan bukan slogan; ia fondasi kedaulatan bangsa. Dan ketahanan pangan hanya mungkin terwujud jika petani sejahtera dan lahan pertanian terlindungi.
Saat ini, banyak desa mulai mengembangkan pertanian organik, pertanian terpadu, hingga agro-wisata sebagai bentuk inovasi lokal. Upaya ini patut diapresiasi, tetapi tidak cukup. Mereka membutuhkan dukungan negara, bukan hanya pujian. Pertanian tidak bisa berdiri sendiri. Ia memerlukan kebijakan yang terintegrasi antara pusat dan daerah, antara kementerian pertanian dan kementerian PUPR, antara lembaga riset dan perguruan tinggi, antara desa dan pasar.
Kita sering mengatakan bahwa petani adalah pahlawan pangan. Namun gelar itu akan menjadi klise jika tidak dibarengi keberpihakan nyata. Pahlawan bukan untuk dipuji, tetapi untuk diperjuangkan. Dan memperjuangkan petani berarti memperjuangkan masa depan bangsa.
Jika negara benar ingin berdaulat, maka pertanian harus ditempatkan sebagai jantung pembangunan nasional. Karena ketika lahan mengering dan kebijakan mandek, yang rapuh bukan hanya pertanian tetapi ketahanan kita sebagai bangsa.
***
*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |