TIMES MALANG, JAKARTA – Idul Fitri selalu menjadi momen yang dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sebagai hari kemenangan setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa, Idul Fitri adalah simbol kebersamaan, pengampunan, dan harapan baru.
Keluarga berkumpul, sanak saudara saling bermaafan, dan masyarakat merayakan dengan penuh suka cita. Namun, di tengah kemeriahan takbir yang berkumandang dan meja-meja makan yang penuh dengan hidangan khas, bayang-bayang suram demokrasi Indonesia semakin jelas terasa.
Tahun ini, Idul Fitri dirayakan dalam suasana politik yang sarat dengan kegelisahan. Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang memperluas kewenangan militer dalam sektor sipil.
Wacana RUU Polri yang berpotensi meningkatkan kontrol kepolisian terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, serta tindakan-tindakan represif terhadap kebebasan pers menjadi ironi di negeri yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
RUU TNI yang baru saja disahkan membawa kekhawatiran serius tentang kembalinya dominasi militer dalam kehidupan sipil. Reformasi 1998 yang berhasil menghapus Dwifungsi ABRI perlahan-lahan mulai terkikis.
Dengan kewenangan yang semakin luas, termasuk dalam bidang ekonomi, infrastruktur, dan kebijakan strategis lainnya, ada potensi besar tumpang tindih antara kepentingan sipil dan militer. Sejarah mencatat bahwa keterlibatan militer dalam urusan sipil sering kali justru menciptakan ketidakadilan, alih-alih keamanan.
Di sisi lain, RUU Polri yang sedang diwacanakan semakin memperlihatkan bagaimana negara ingin memperketat kontrol terhadap masyarakat. Alih-alih menjadi alat perlindungan dan penegakan hukum yang adil, kepolisian justru berpotensi semakin represif.
Wacana ini mencerminkan kecenderungan pemerintahan yang semakin ingin mengatur dan membatasi kebebasan warganya dengan dalih stabilitas dan keamanan nasional.
Namun, yang paling mengkhawatirkan dari semua ini adalah pembungkaman kebebasan pers. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus-kasus intimidasi terhadap jurnalis meningkat. Media-media yang berusaha mengungkap kebenaran kerap kali mendapat tekanan, baik dalam bentuk ancaman fisik, sensor berita, maupun kriminalisasi.
Pers yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi semakin dipinggirkan dan dipaksa tunduk kepada kepentingan penguasa. Tanpa kebebasan pers, masyarakat kehilangan hak untuk mendapatkan informasi yang objektif dan kritis, sehingga semakin sulit bagi rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Ironisnya, semua ini terjadi saat rakyat merayakan Idul Fitri, sebuah hari yang seharusnya membawa kebahagiaan dan harapan. Namun, bagaimana mungkin rakyat bisa benar-benar merasa damai jika demokrasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata mulai kehilangan maknanya? Bagaimana mungkin kita bisa benar-benar merayakan kemenangan jika hak-hak dasar kita semakin tergerus?
Di tengah gema takbir dan tradisi saling memaafkan, mungkin ada baiknya kita bertanya: apakah kita benar-benar hidup di negara yang merdeka? Ataukah kita hanya sedang merayakan Idul Fitri di tanah air yang perlahan-lahan kehilangan jati dirinya?
Demokrasi bukan sekadar jargon yang diulang-ulang dalam pidato resmi, melainkan hak yang harus terus dijaga dan diperjuangkan. Jika kita lengah, bisa jadi tahun-tahun mendatang Idul Fitri bukan hanya dirayakan dalam suasana suka cita, tetapi juga dalam kecemasan akan masa depan bangsa.
***
*) Oleh : Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Mahasiswa Program Magister Ilmu Administrasi Publik FISIPOL Universitas Gadjah Mada, dan Pengurus PB PMII.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |