TIMES MALANG, LAMONGAN – Peristiwa aksi teror pengiriman kepala babi dan kepala tikus kepada media Tempo, adalah peristiwa yang menyedihkan dalam konteks demokratisasi suatu negara, yang baru memiliki kesadaran berdemokrasi.
Pengiriman yang sarat teror itu tidak bisa dihindari untuk dimaknai sebagai upaya pembungkaman terhadap media, dan Tempo adalah representasi dari media yang terdepan dalam memberikan kritiknya secara tajam terhadap kebijakan-kebijakan yang lahir.
Dalam masyarakat demokratis mana pun, kebebasan dan independensi pers memainkan peran vital sebagai pilar keempat demokrasi. Jurnalis tidak hanya bertugas memberikan informasi kepada publik, tetapi juga bertindak sebagai pengawas kekuasaan (Watchdog), serta menjadi suara bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, aksi teror dan ancaman sistematis terhadap jurnalis dan institusi media telah muncul sebagai ancaman serius terhadap kebebasan pers dan, pada akhirnya, terhadap fondasi demokrasi itu sendiri.
Istilah "teror" dalam konteks ini tidak terbatas pada tindakan kekerasan massal secara konvensional. Ia mencakup berbagai bentuk intimidasi-serangan fisik, ancaman pembunuhan, pelecehan digital, pengawasan ilegal, hingga kriminalisasi hukum-yang semuanya bertujuan untuk membungkam suara kritis di media.
Ketika serangan-serangan semacam ini terjadi secara sistematis atau dibiarkan tanpa hukuman, mereka menyampaikan pesan yang mengerikan: mengatakan kebenaran itu berbahaya, dan kekuasaan yang tak terkendali akan melakukan apa pun untuk tetap bertahan.
Di berbagai belahan dunia, dari zona konflik hingga negara-negara yang mengklaim menjunjung tinggi demokrasi, pers kini berada dalam tekanan. Di beberapa negara, jurnalis secara rutin dipenjara dengan menggunakan undang-undang keamanan nasional yang kabur, atau dituduh menyebarkan “informasi palsu” hanya karena melaporkan isu-isu penting.
Di tempat lain, reporter yang meliput topik-topik sensitif seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kerusakan lingkungan, atau pelanggaran HAM—menjadi target kekerasan. Pembunuhan terhadap Jamal Khashoggi, seorang jurnalis asal Saudi dan pengkritik rezim, di dalam konsulat pada tahun 2018, menjadi peringatan keras bahwa tak ada jurnalis yang benar-benar aman jika kebebasan pers tidak dijaga oleh institusi yang kuat dan akuntabilitas global.
Era digital telah menambahkan lapisan kompleksitas baru. Pelecehan online dan doxxing menjadi alat teror yang digunakan untuk menyerang jurnalis, khususnya perempuan dan kelompok minoritas.
Kampanye perundungan yang terorganisir seringkali bertujuan untuk merusak kredibilitas jurnalis, memicu kebencian publik, dan mengucilkan mereka secara sosial maupun profesional.
Jika dibiarkan, serangan-serangan ini akan melemahkan semangat para pekerja media dan menghambat jurnalisme investigatif—jenis jurnalisme yang justru paling dibutuhkan dalam negara demokrasi.
Dampak terhadap Diskursus Demokratis
Ketika jurnalis diancam atau diserang, kebenaran adalah korban pertama. Ruang redaksi bisa saja mulai melakukan swasensor untuk menghindari risiko atau kontroversi, yang pada akhirnya menghadirkan realitas yang sudah disterilkan kepada publik.
Akibatnya, isu-isu penting yang membutuhkan pengawasan publik mungkin tidak pernah diliput. Kekosongan informasi ini kemudian diisi oleh propaganda, disinformasi, atau retorika populis yang lebih mengandalkan emosi daripada fakta.
Lebih jauh lagi, teror terhadap pers menciptakan iklim ketakutan, tidak hanya di kalangan jurnalis, tetapi juga di dalam masyarakat sipil secara luas. Warga mulai meragukan hak mereka untuk berbicara bebas, mengkritik kekuasaan, atau mengorganisasi protes.
Prinsip demokrasi partisipatif menjadi hampa jika informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan secara sadar tidak tersedia atau sengaja disembunyikan.
Dalam demokrasi yang sehat, negara harus menjadi pelindung kebebasan pers. Sayangnya, dalam banyak kasus, negara justru menjadi pihak yang diam atau bahkan aktif dalam intimidasi terhadap media.
Ketika pemerintah menggunakan kerangka hukum seperti UU ITE, UU Terorisme, atau hukum pencemaran nama baik untuk menekan media, mereka sedang menyalahgunakan hukum untuk tujuan yang berlawanan dengan keadilan.
Demikian pula, ketika aparat penegak hukum gagal menyelidiki atau menghukum pelaku kekerasan terhadap jurnalis, mereka menciptakan budaya impunitas yang mendorong kekerasan serupa di masa depan.
Patut dicatat pula bahwa para pemimpin politik sering menjadi penentu suasana dalam perlakuan terhadap media. Ketika pejabat publik menyebut jurnalis sebagai "musuh rakyat", "pengkhianat", atau "pembuat berita palsu", mereka merusak kepercayaan masyarakat terhadap media dan melegitimasi perilaku permusuhan terhadap para reporter.
Retorika semacam ini, meskipun menguntungkan secara politis dalam jangka pendek, memiliki dampak jangka panjang yang merusak norma-norma demokrasi.
Meski menghadapi tantangan besar, perlawanan tetap berlangsung. Jurnalis-jurnalis pemberani di seluruh dunia terus bekerja di tengah ancaman, didorong oleh komitmen terhadap kebenaran dan pelayanan publik.
Organisasi media independen, pejuang kebebasan pers, dan pengawas hukum terus mendorong perbaikan dan perlindungan yang lebih kuat bagi para jurnalis.
Solidaritas internasional juga sangat penting. Lembaga-lembaga global seperti PBB, UNESCO, dan organisasi non-pemerintah seperti Reporters Without Borders serta Committee to Protect Journalists memainkan peran penting dalam mengekspos pelanggaran dan menekan pemerintah untuk menghormati kebebasan media.
Negara-negara demokratis juga harus saling mendukung dalam perjuangan ini, misalnya dengan menjadikan hak asasi manusia dan kebebasan pers sebagai syarat bantuan luar negeri dan hubungan diplomatik.
Pers bukanlah institusi yang sempurna. Ia juga bisa salah, bias, atau terpengaruh. Namun, solusinya bukanlah membungkam atau meneror. Justru kemampuan media untuk mengoreksi diri, menerima kritik, dan terus berkembang adalah alasan mengapa ia sangat penting dalam demokrasi.
Aksi teror terhadap pers bukanlah insiden yang terpisah-pisah; ia adalah tindakan politik yang memiliki implikasi luas. Serangan ini menandai kemunduran nilai-nilai demokratis dan kemajuan menuju kontrol otoriter.
Untuk membela demokrasi, kita harus membela pers bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan hukum, perlindungan nyata, dan budaya yang menghargai aliran informasi yang bebas.
Demokrasi akan mati dalam kegelapan, dan pers adalah cahaya pertamanya. Memadamkan cahaya itu berarti mengundang tirani.
***
*) Oleh : Anshori, Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |