TIMES MALANG, MALANG – Di era digital, media sosial bukan lagi sekadar ruang berbagi foto, video, atau kabar harian. Ia telah menjelma menjadi arena perdebatan publik, ruang ekspresi politik, bahkan panggung peradilan alternatif.
Tidak jarang sebuah kasus hukum, perilaku pejabat, atau tindakan selebritas langsung dihakimi oleh jutaan warganet sebelum aparat hukum sempat memprosesnya. Fenomena ini melahirkan istilah “trial by social media” di mana netizen memegang palu hakim, dan algoritma menjadi ruang sidangnya.
Fenomena ini pada satu sisi bisa dipahami. Kekecewaan publik terhadap sistem hukum yang dianggap tidak adil, penuh kompromi, bahkan sarat korupsi, mendorong masyarakat mencari kanal alternatif untuk menyalurkan aspirasi.
Media sosial dengan sifatnya yang cepat, viral, dan masif memberi ruang bagi suara rakyat yang selama ini terpinggirkan. Namun, di sisi lain, situasi ini juga menghadirkan bahaya serius: rusaknya prinsip keadilan, hancurnya reputasi seseorang tanpa proses pembuktian, dan terjadinya polarisasi sosial yang ekstrem.
Ambil contoh kasus-kasus viral yang sempat menghebohkan publik. Mulai dari selebritas yang dilaporkan karena skandal pribadi, pejabat yang disorot karena gaya hidup mewah, hingga perkara kriminal yang videonya beredar luas. Sebelum polisi bertindak, warganet sudah melayangkan vonis.
Pelaku dinyatakan bersalah, korban dituduh berlebihan, dan keluarga mereka ikut terseret dalam hujatan. Algoritma media sosial memperkuat situasi ini. Semakin kontroversial, semakin banyak interaksi, semakin tinggi peluang sebuah kasus “digoreng” tanpa batas.
Dalam konteks ini, media sosial bekerja seperti “pengadilan jalanan digital”. Tidak ada standar pembuktian, tidak ada asas praduga tak bersalah, dan tidak ada mekanisme banding. Yang ada hanyalah komentar, likes, dan retweet yang menjadi legitimasi massa. Padahal, keadilan yang sehat tidak mungkin dibangun dari emosionalitas mayoritas.
Demokrasi sekalipun menolak prinsip “hukum berdasarkan voting”. Jika media sosial terus difungsikan sebagai hakim, maka yang terjadi adalah demokrasi yang terdistorsi menjadi mobokrasi kekuasaan oleh massa tanpa aturan.
Masalah lain adalah sifat media sosial yang ahistoris. Seseorang bisa dengan cepat dihancurkan oleh potongan video beberapa detik tanpa melihat konteks, latar belakang, atau fakta lengkap.
Dalam sekejap, reputasi yang dibangun bertahun-tahun runtuh hanya karena framing yang terlanjur viral. Bahkan ketika pengadilan formal kelak menyatakan tidak bersalah, luka sosial yang ditimbulkan tetap sulit dipulihkan. Internet tidak pernah lupa, dan jejak digital sulit dihapus.
Fenomena ini juga memperlihatkan paradoks. Publik mengkritik aparat hukum yang lambat atau tidak adil, tetapi di sisi lain mereka mempraktikkan ketidakadilan baru melalui “hukuman sosial” yang tak kalah kejam.
Kritik yang semula diarahkan untuk memperbaiki sistem, justru bergeser menjadi bentuk balas dendam kolektif. Akhirnya, media sosial menjadi arena pelampiasan frustrasi, bukan ruang deliberasi yang sehat.
Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa “trial by social media” muncul karena adanya ruang kosong dalam sistem hukum dan politik kita. Ketika kasus besar tidak pernah jelas penyelesaiannya, ketika pejabat bermasalah tetap lolos dari jerat hukum, maka publik memilih bersuara di media sosial sebagai bentuk tekanan moral.
Di sinilah media sosial memiliki fungsi positif: ia bisa menjadi alat kontrol kekuasaan. Banyak kasus korupsi, kekerasan, atau ketidakadilan yang baru mendapat perhatian serius setelah viral. Dalam konteks ini, media sosial berperan sebagai alarm publik.
Persoalannya adalah bagaimana menyeimbangkan fungsi kontrol ini dengan prinsip keadilan. Sebab, keadilan tidak bisa ditegakkan hanya dengan logika trending topic. Masyarakat membutuhkan literasi digital yang kuat agar tidak mudah terjebak pada sensasi.
Media massa arus utama pun seharusnya hadir sebagai filter, bukan sekadar ikut-ikutan memburu klik dari isu viral. Media perlu menyajikan klarifikasi, verifikasi, dan konteks yang menyejukkan ruang publik.
Selain itu, pemerintah juga perlu memperbaiki sistem hukum agar publik tidak kehilangan kepercayaan. Selama masyarakat melihat bahwa pengadilan bisa dibeli, hukum bisa dinegosiasikan, dan pejabat bisa kebal hukum, selama itu pula media sosial akan terus berfungsi sebagai pengadilan alternatif.
Reformasi hukum, penegakan etika, dan transparansi lembaga negara mutlak diperlukan agar publik tidak terus-terusan mencari keadilan di ruang digital.
Media sosial memang tidak bisa dihentikan. Ia adalah realitas baru yang akan terus memengaruhi wajah demokrasi dan hukum di Indonesia. Namun, kita perlu menyadari bahwa menjadikan media sosial sebagai hakim utama hanya akan membawa pada kekacauan. Ia bisa menjadi pelengkap dalam kontrol sosial, tetapi tidak bisa menggantikan lembaga peradilan formal.
Keadilan sejati lahir bukan dari sorak-sorai netizen, tetapi dari keberanian kita memperkuat institusi hukum dan membangun masyarakat yang lebih beradab dalam menyikapi perbedaan. Jika tidak, kita hanya akan terjebak dalam sirkus digital, di mana siapa yang paling viral, dialah yang menang entah benar atau salah.
***
*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |