TIMES MALANG, MALANG – Malang bukan hanya kota dengan udara sejuk dan deretan kampus ternama; ia adalah ruang hidup yang sedang bergerak menuju ekosistem kreativitas kelas dunia. Status sebagai Kota Kreatif UNESCO bukanlah label estetis yang hanya layak dipasang pada baliho atau dokumen perencanaan.
Predikat itu adalah mandat peradaban tuntutan untuk menata kota berbasis kreativitas manusia, inovasi budaya, dan keberlanjutan ekonomi kreatif. Malang, dengan segala potensinya, berdiri di pintu gerbang itu. Pertanyaannya bukan lagi mampu atau tidak, tetapi apakah kota ini benar-benar siap mengambil peran besar tersebut.
Kreativitas Malang sesungguhnya telah lama hidup dalam denyut keseharian warganya. Kampung-kampung tematik yang dahulu muncul sebagai gerakan perbaikan lingkungan berubah menjadi magnet wisata urban yang unik.
Komunitas seni tumbuh tidak hanya di pusat kota tetapi juga di gang-gang sempit, memunculkan seniman mural, ilustrator, pemusik independen, pembuat film, hingga pengrajin kriya yang menembus pasar nasional.
Perguruan tinggi di Malang menyumbang talenta segar setiap tahun, memberi suplai ide tanpa henti bagi sektor kreatif. Ekosistem startup yang muncul dari ruang-ruang inkubasi kampus ikut memperkaya lanskap inovasi kota. Modal sosial dan kultural seperti ini adalah bensin utama untuk menjadi kota kreatif dunia.
Namun, kreativitas tanpa tata kelola yang kuat mudah sekali mandek. Salah satu tantangan terbesar Malang adalah fragmentasi antar pelaku. Komunitas seni berjalan sendiri-sendiri, pelaku ekonomi kreatif terpisah dari industri pendukung, sementara pemerintah kota sering kali hadir hanya sebagai fasilitator acara, bukan arsitek ekosistem.
Kota kreatif UNESCO menuntut lebih daripada itu. Ia membutuhkan governance creativity, model kolaborasi yang menyatukan semua pemangku kepentingan dalam satu visi jangka panjang.
Di sini pemerintah harus mengambil peran strategis sebagai penghubung, penyedia regulasi yang adaptif, dan pendorong investasi yang berpihak pada kreativitas.
Selain itu, infrastruktur kreatif di Malang masih terbatas. Ruang publik yang mendorong pertemuan ide, creative hub yang bisa menjalankan fungsi riset, produksi, dan komersialisasi secara terpadu masih minim. Banyak kreator bekerja secara sporadis tanpa perlindungan hak kekayaan intelektual yang memadai.
Padahal, kota-kota kreatif dunia seperti Bandung, Seoul, hingga Melbourne bergerak cepat karena memiliki ekosistem yang secara sistematis melindungi dan mengembangkan talenta. Jika Malang ingin menjadi bagian dari jejaring global UNESCO, maka penguatan infrastruktur kreatif tidak bisa ditunda lagi.
Tantangan lainnya adalah bagaimana kreativitas kota dapat berkontribusi langsung pada kesejahteraan masyarakat. Kota kreatif tidak boleh hanya hidup di pusat kota atau di kalangan komunitas tertentu. Kreativitas harus menjadi mesin ekonomi baru yang menyentuh warga di pinggiran kota, UMKM, pelaku seni tradisi, hingga generasi muda yang masih mencari arah masa depannya.
Malang perlu memastikan bahwa kebijakan ekonomi kreatif bukan hanya berbentuk festival atau perayaan seni, tetapi juga berwujud pelatihan teknis, pendampingan usaha, pembiayaan murah, hingga proyek-proyek industri kreatif yang menyerap tenaga kerja lokal. Inilah yang membedakan kota kreatif yang sekadar gemerlap dan kota kreatif yang benar-benar memajukan masyarakatnya.
Potensi besar Malang juga ada pada keunggulan pendidikan dan risetnya. Kota ini memiliki modal yang tidak dimiliki banyak kota lain: universitas yang kuat, peneliti yang produktif, dan mahasiswa yang sangat kreatif. Jika potensi kampus dapat terhubung dengan industri kreatif dan kebutuhan kota, maka Malang berpeluang menjadi pusat inovasi kreatif yang berdampak ekonomi tinggi.
Kolaborasi semacam ini tidak hanya menghasilkan karya seni, tetapi juga teknologi budaya, aplikasi kreatif, digital art, game development, hingga riset desain perkotaan. Dengan cara itu, Malang tak sekadar menjadi kota kreatif yang merayakan seni, tetapi juga kota pencipta inovasi yang bersaing di skala global.
Predikat Kota Kreatif UNESCO adalah peluang sekaligus ujian. Malang dihadapkan pada pilihan: apakah berhenti pada romantisme masa lalu dan kebanggaan identitas, atau bergerak maju menjadi kota yang membangun kreativitas sebagai fondasi masa depan.
Kota yang ingin disebut kreatif harus mampu memberikan ruang pada imajinasi warganya, melindungi hasil karyanya, memfasilitasi perkembangannya, dan menghubungkannya dengan jejaring dunia. Semua itu membutuhkan kepemimpinan publik yang visioner, keberanian mengambil keputusan, serta konsistensi membangun ekosistem yang berkelanjutan.
Malang memiliki semua bahan dasar untuk menjadi Kota Kreatif UNESCO yang autentik dan berpengaruh. Yang dibutuhkan sekarang adalah percepatan integrasi, keberanian transformasi, dan cara pandang baru bahwa kreativitas bukan pelengkap kota, melainkan motor utama pembangunan.
Bila itu dilakukan, Malang tidak hanya menjadi kota yang nyaman dihuni, tetapi juga kota yang memproduksi ide, inovasi, dan karya yang diakui dunia. Dan di titik itulah, kreativitas menjadi jalan menuju masa depan yang lebih baik bagi seluruh warganya. (*)
***
*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |