TIMES MALANG, JEMBER – Dalam kajian ilmu praktik sosial, Pierre Bourdieu adalah tokoh yang sangat fundametalis dalam pandangan kritisnya terhadap bagaimana praktik sosial berkerja dalam masyarakat. Disamping Bourdieu merupakan tokoh sosiologi, ia juga seseorang filsuf dan intelektual public prancis yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh tokoh tokoh besar seperti Aristoteles, Thomas Aquinus, Hegel, Mark, Durkhaiem, Max weber dan lain-lain.
Bourdieu dengan pemikiranya melahirkan sebuah teori struktualisme-konstruktif atau biasa di kenal dengan teori praktik sosial. Adapaun konsep dari praktik sosial yang dikemukan Piere Bourdie yaitu Habitus, arena, kekerasan simbolik modal dan strategi.
Dalam konteks Indonesia saat ini, sebagaimana disaat menikmati Lebaran atau hari raya, masyarakat Indonesia mulai menampakkan sifat konsumerisme untuk memenuhi kebutuhannya dengan berbagai tradisi yang khas.
Namun di balik kemeriahan dalam merayakan hari raya, terdapat dinamika sosial yang menarik untuk dikaji, oleh karena itu Pemikiran Bourdieu dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai permasalahan yang terjadi seperti Mudik, berbagi THR, membeli pakaian baru, dan menghidangkan makanan khas.
Dengan hal ini dapat menunjukkan bagaimana teori praktik sosial Pierre Bourdieu antaranya Habitus, arena, Modal dan Strategi dapat bekerja untuk membantu kita dalam menyadari bahwa dibalik kesakralan Lebaran, ada dinamika sosial yang dapat mengubah nilai sesuai dengan perubahan zaman.
Praktik Sosial Perspektif Pierre Bourdieu
Beberapa praktik sosial yang dilakukan di era modernisasi seperti dewasa ini ialah, persoalan dikotomi sosial sebagaimana oleh Bourdieu tidak hanya dipandang satu sisi saja yakni pertentangan kelas, tetapi memiliki dimesnsi lebih luas lagi, yaitu bisa menyangkut hubungan individu dengan masyarakat, gaya-gaya individu, kekuasaan, kepemilikan modal, struktur modal, dominasi sosial, dan konsumerisme.
Yang semuanya bermuara kepada neoliberalisme dan globalisasi. Untuk mengurai isu-isu tersebut, Bourdieu menggunakan beberapa konsep utama sebagai sarana kunci mengurai dikotomi sosial tersebut, konsep habitus, konsep arena (field), dan modal.
Pierre Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai pengkondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Habitus adalah merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus ini terlahir sebagai sikap dari hasil pembelajaran, aktivitas bermain dan juga pendidikan masyarakat luas.
Sedangakan konsep arena, Bourdieu lebih memandang arena (field) sebagai relasional ketimbang secara struktural. Arena adalah jaringan relasi antar posisi objektif di dalamnya, yang menduduki posisi bisa jadi merupakan aktor atau institusi, dan mereka dihambat oleh struktur ranah.
Arena merupakan ruang khusus yang ada didalam masyarakat, ada berbagai macam arena seperti arena pendidikan, arena bisnis, arena pertarungan dan lain sebagainya. Ketika seseorang ingin berhasil disuatu arena maka ia perlu memliki habitus yang tepat dan kompetitif. Habitus mendasari terbentuknya Arena, dilain pihak Arena menjadi lokus bagi kinerja habitus.
Sementara dalam konsep Modal, Bourdieu mendefinisikan sebagai hal-hal material yang dapat memiliki nilai simbolik dan signifikan secara kultural. Bourdieu mengartikan modal sebagai relasi sosial yang terdapat dalam suatu sistem pertukaran baik material maupun simbolik tanpa ada perbedaan.
Modal yang dimaksudkan oleh Bourdieu disini adalah berupa pertama modal sosial (berbagai jenis relasi bernilai dengan pihak lain yang bermakna), kedua modal budaya (pengetahuan sah satu sama lain) dan ketiga modal simbolik (prestise atau gengsi sosial).
Maka dari itu dapat ditarik kesimpulan bahwa antara habitus, field dan modal berkorelasi secara langsung dan bertujuan menerangkan praktek sosial. Karakteristik modal dihubungakan dengan skema habitus.
Sebagai pedoman tindakan dan klasifikasi dan ranah selaku tempat beroperasinya modal. Sedangkan ranah senantiasa dikelilingi oleh relasi kekuasaan objektif berdasarkan pada jenis jenis modal yang digabungkan dengan habitus.
Analisis Tradisi dalam Perayaan Lebaran ala Pierre Bourdieu
Dalam konteks lebaran, tradisi terus berkembang dari generasi ke generasi, membentuk kebiasaan yang dilakukan tanpa dipikirkan secara mendalam. Lebaran di era disrupsi sosial sekarang ini tradisi lebaran mengalami pergeseran nilai, tidak hanya meningkatkan sprititualitas masyarakat akan tetapi memunculkan tindakan konsumerisme yang berlebihan dan terjadinya konstruk sosial dari perbedaan kelas.
Habitus dalam perayaan hari lebaran ini melahirkan tekanan sosial terselubung yang membuat seseorang merasa harus menjalankan tradisi tertentu, meskipun tidak sesuai dengan kondisi mereka.
Dalam kasus ini dapat dilihat dari ekpektasi penggunaan baju baru untuk lebaran, sejak kecil kita diajarkan bahwa lebaran identik dengan baju baru, padahal nilai religiusnya tidak mengajukan untuk berbuat seperti itu.
Didalam ajaran Islam dalam memeriahkan atau menghortami lebaran cukup dengan menggunakan pakaian yang terbaik, pakaian terbaik tidak harus membeli pakaian baru, disrupsi nilai akan berubah ketika seorang menekankan untuk membeli pakaian baru.
Tentu hal ini merupakan konstruk sosial yang harus diperbaiki dan tidak dijadikan sebagai standar keberhasilan dalam merayakan lebaran, maka dari situlah kekerasan simbolik bekerja yang mengakibatkan orang orang dengan modal ekonomi terbatas akan mengalami tekanan psikologis dalam memaksakan diri secara finansial untuk memenuhi standar sosial yang ada.
Selanjutnya dalam analisis modal, Bourdieu membagi modal menjadi beberapa jenis yang dapat menunjukkan bagaimana Lebaran menjadi ajang reproduksi ketimpangan sosial. Dalam konteks lebaran kecenderungan modal lebih menekankan pada nilai simbolik atau prestise sosial.
Kekerasan simbolik dapat dilihat melalui pemberian hadiah atau THR, tradisi lebaran pemberian THR menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh para orang tua memberikan hadiah kepada anak kecil, akan tetapi hal ini juga memicu konstruk sosial terutama THR yang tidak bisa dikembalikan dengan kualitas seimbang dari si pemberi, maka si penerima akan terikat dalam hubungan hutang budi.
Dalam hal ini dapat dikatakan, memberi juga merupakan cara untuk memiliki, dengan cara mengikat orang lain dan menyelubungi obligasi melalui sikap kedermawaan. Inilah apa yang disebut oleh Bourdieu sebagai "kekerasan simbolik" Bentuk kekerasan simbolik itu 'lembut', kekerasan yang tidak terikat', 'kekerasan yang dibarinkan dalam sikap-sikap kepercayaan, kewajiban, loyalitas pribadi, hadiah, kesalehan, yang semua itu merupakan bentuk kebaikan dalam etika kehormatan.
Sementara Arena dalam konteks Pierre Bourdieu adalah ranah kompetisi di mana individu berpartisipasi dalam berbagai bentuk interaksi sosial. Dalam ranah ini, Arena dapat dilihat pada bagaimana ruang sosial masyarakat dijadikan ajang persaingan untuk mendapatkan pengakuan dan dominasi.
Dalam pendekatan lebih dekat, konteks sosial sebagaimana bentuk tradisi silaturrahim mengalami pergeseran nilai karena menjadi unjuk rasa status, hal ini dilihat dari pakaian dan Asessoris yang dipamerkan, barang barang mewah yang dipertontonkan, dan perbincangan status ekonomi setiap individu kelompok.
Dalam perspektif Pierre Bourdieu, Perayaan Hari Raya bukan hanya tradisi keagamaan, tetapi juga arena praktik sosial yang dapat diukur melalui konsep Bourdieu terkait Habitus, Modal dan Arena. Selain itu, Lebaran sebagai arena sosial juga menunjukkan bagaimana tradisi yang seharusnya berbasis spiritualitas berubah menjadi ajang kompetisi status.
Oleh karena itu, penting untuk menyadari bagaimana tradisi Lebaran telah mengalami perubahan nilai akibat pengaruh kapitalisme, neoliberalisme, dan globalisasi. Dengan memahami konsep-konsep Bourdieu, kita dapat lebih kritis dalam melihat bagaimana struktur sosial bekerja dalam kehidupan sehari-hari.
***
*) Oleh : Novia Ulfa Isnaini, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora UIN KH Ahmad Shiddiq Jember.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |