TIMES MALANG, MALANG – Dalam banyak peristiwa hukum di negeri ini, keadilan kerap terasa seperti senjata api yang diarahkan ke mereka yang kecil, lemah, dan tak punya perlindungan. Kesalahan sepele bisa berujung pidana berat, sementara pelanggaran besar yang berdampak luas justru berakhir dengan klarifikasi, mediasi, atau sekadar permintaan maaf. Hukum, yang seharusnya menjadi pagar keadilan, berubah menjadi alat yang menakutkan bagi rakyat kecil dan jinak bagi mereka yang berkuasa.
Fenomena ini bukan cerita baru. Ia berulang, konsisten, dan seolah menjadi pola yang diterima sebagai kewajaran. Penjual kecil yang tersandung perkara administratif diproses cepat hingga ke pengadilan. Warga miskin yang terlibat konflik kecil langsung berhadapan dengan jeruji besi.
Sebaliknya, kasus-kasus besar yang menyangkut elite politik, korporasi, atau pejabat publik justru berjalan lambat, berliku, dan sering kali menguap tanpa kejelasan. Di titik ini, publik bertanya: untuk siapa sebenarnya hukum bekerja?
Masalahnya bukan semata pada teks undang-undang, melainkan pada cara hukum dijalankan. Penegakan hukum sering kali kehilangan rasa proporsionalitas. Kesalahan kecil diperlakukan seolah kejahatan besar, tanpa mempertimbangkan konteks sosial, motif, dan dampak.
Hukum dipakai secara literal, tetapi miskin keadilan substantif. Akibatnya, hukum menjadi tajam ke bawah, tumpul ke atas sebuah ungkapan klise yang terus terbukti relevan.
Ketika hukum bekerja tanpa empati, ia berubah menjadi senjata. Bagi rakyat kecil, proses hukum bukan ruang mencari keadilan, melainkan ancaman yang menghancurkan hidup. Biaya perkara, tekanan psikologis, stigma sosial, hingga hilangnya mata pencaharian menjadi harga yang harus dibayar. Dalam banyak kasus, hukuman yang dijatuhkan jauh melampaui bobot kesalahan. Di sinilah hukum kehilangan wajah manusianya.
Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki kekuasaan dan sumber daya, hukum sering kali menjadi permainan prosedural. Pasal-pasal ditafsirkan lentur, proses hukum dinegosiasikan, dan keadilan menjadi soal teknis administratif.
Pengacara mahal, akses politik, dan jaringan kekuasaan menciptakan jarak antara kesalahan dan konsekuensi. Hukum tidak lagi bekerja sebagai norma yang setara, melainkan sebagai arena tawar-menawar.
Ketimpangan ini melahirkan krisis kepercayaan publik. Ketika masyarakat melihat hukum hanya tegas pada yang lemah, kepercayaan terhadap institusi penegak hukum runtuh perlahan.
Hukum tidak lagi dipandang sebagai pelindung, tetapi sebagai ancaman. Ironisnya, kondisi ini justru memperkuat budaya main hakim sendiri, sinisme terhadap negara, dan sikap apatis terhadap keadilan.
Lebih berbahaya lagi, hukum yang tidak adil akan melahirkan ketakutan, bukan kepatuhan. Masyarakat patuh bukan karena percaya pada keadilan hukum, tetapi karena takut pada sanksi. Dalam jangka panjang, ini merusak fondasi negara hukum. Hukum seharusnya mendidik, bukan semata menghukum. Ia seharusnya memperbaiki, bukan menghancurkan.
Persoalan ini menuntut refleksi serius dari aparat penegak hukum. Penegakan hukum tidak boleh dilepaskan dari kepekaan sosial. Diskresi harus digunakan untuk melindungi keadilan, bukan sekadar menuntaskan berkas perkara. Restorative justice seharusnya menjadi pendekatan utama untuk kasus-kasus kecil, bukan jargon yang berhenti di seminar dan dokumen kebijakan.
Di sisi lain, pembuat kebijakan juga memikul tanggung jawab besar. Regulasi yang membuka ruang kriminalisasi terhadap kesalahan kecil harus dievaluasi. Hukum pidana tidak boleh menjadi jalan pintas menyelesaikan semua persoalan sosial. Kemiskinan, keterbatasan pendidikan, dan ketimpangan ekonomi tidak bisa diselesaikan dengan penjara.
Keadilan bukan soal seberapa keras hukum ditegakkan, tetapi seberapa adil ia dirasakan. Hukum yang benar bukan hukum yang paling menakutkan, melainkan yang paling melindungi martabat manusia. Selama hukum terus berfungsi seperti senjata api yang diarahkan ke mereka yang kecil, maka yang kita bangun bukan negara hukum, melainkan negara ketakutan.
Apakah hukum akan terus menjadi alat represi bagi yang lemah, atau berani berdiri tegak sebagai penegak keadilan bagi semua? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah hukum masih layak dipercaya, atau sekadar menjadi simbol kekuasaan yang kehilangan nurani.
***
*) Oleh : Baihaqie, Kader HMI dan Mahasiswa Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |