TIMES MALANG, MALANG – Fenomena guru swasta di lembaga pendidikan berbasis yayasan belakangan ini patut dibaca lebih jujur dan kritis. Di balik narasi pengabdian, keikhlasan, dan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa, terselip realitas yang sering luput dari pembahasan publik: sekolah-sekolah swasta, khususnya yang dikelola yayasan, kerap menjadi “tempat penampungan” bagi mereka yang masuk dunia pendidikan bukan karena panggilan profesi, melainkan karena kebingungan mencari pekerjaan.
Guru yang direkrut bukan karena kompetensi pedagogik, kecakapan mengajar, atau kematangan etika profesi, tetapi semata-mata karena memiliki gelar sarjana. Pendidikan akhirnya diperlakukan seperti sektor darurat: siapa pun yang “punya ijazah” dianggap layak berdiri di depan kelas. Padahal, gelar akademik tidak otomatis menjadikan seseorang pendidik yang baik.
Masalah ini bukan sekadar soal individu guru, melainkan cermin dari krisis tata kelola pendidikan swasta. Banyak yayasan lebih berorientasi pada keberlangsungan operasional ketimbang mutu.
Kebutuhan mengisi jam mengajar, memenuhi syarat administratif akreditasi, dan menjaga biaya tetap rendah, membuat seleksi guru dilakukan ala kadarnya. Profesionalisme kalah oleh pragmatisme.
Akibatnya, ruang kelas berubah menjadi ruang coba-coba. Guru mengajar sambil belajar, bukan dalam arti pedagogis yang sehat, tetapi dalam makna yang berbahaya: siswa dijadikan objek eksperimen orang dewasa yang belum selesai dengan dirinya sendiri.
Ada guru yang gagap menghadapi kelas, tidak mampu mengelola emosi, miskin metode, bahkan tak memahami substansi mata pelajaran secara utuh. Yang lebih ironis, semua itu sering ditoleransi atas nama “proses” dan “pengabdian”.
Lebih jauh, fenomena ini memperlihatkan kesalahpahaman mendasar tentang profesi guru. Mengajar dianggap pekerjaan alternatif, bukan profesi yang menuntut kompetensi, integritas, dan dedikasi jangka panjang.
Banyak lulusan perguruan tinggi masuk sekolah bukan karena ingin mendidik, tetapi karena tidak terserap di sektor lain. Pendidikan pun menjadi tempat parkir sementara, sembari menunggu peluang yang dianggap lebih “menjanjikan”.
Dalam konteks ini, murid adalah pihak paling dirugikan. Mereka berhak mendapatkan pendidik yang layak, bukan guru yang mengajar dengan setengah hati.
Pendidikan sejatinya adalah relasi jangka panjang yang membentuk karakter, nalar, dan masa depan. Ketika guru sendiri tidak memiliki kejelasan orientasi, bagaimana mungkin sekolah dapat melahirkan generasi yang percaya diri, kritis, dan berdaya saing?
Ironisnya, kondisi ini sering dibungkus dengan romantisme keikhlasan. Guru swasta diminta “bersabar” dengan gaji minim, jam mengajar berlebih, dan fasilitas terbatas. Namun, di sisi lain, yayasan jarang berinvestasi serius pada peningkatan kualitas guru. Pelatihan minim, supervisi lemah, dan evaluasi kinerja nyaris formalitas. Yang penting kelas berjalan, siswa hadir, dan laporan administrasi rapi.
Masalah ini juga diperparah oleh absennya standar rekrutmen yang tegas. Banyak yayasan tidak memiliki peta kebutuhan guru yang jelas, tidak melakukan uji kompetensi mengajar, bahkan tidak memastikan kesesuaian latar belakang keilmuan dengan mata pelajaran. Selama ada yang bersedia digaji murah dan mau mengajar, pintu terbuka lebar.
Padahal, jika pendidikan ingin bermutu, guru harus ditempatkan sebagai inti, bukan sekadar pelengkap. Sekolah tidak boleh menjadi “tempat belajar menjadi guru” tanpa sistem pendampingan yang serius.
Jika yayasan ingin merekrut guru pemula, seharusnya disertai skema pembinaan yang ketat, supervisi berkelanjutan, dan evaluasi yang objektif. Tanpa itu, pendidikan hanya akan melanggengkan mediokritas.
Di sisi lain, negara juga tidak sepenuhnya bebas dari tanggung jawab. Lemahnya pengawasan terhadap sekolah swasta, minimnya intervensi peningkatan mutu guru non-negeri, serta kebijakan yang lebih fokus pada angka ketimbang kualitas, ikut menyuburkan praktik ini. Guru swasta sering terjebak dalam posisi serba tanggung: dituntut profesional, tetapi tidak diberi ekosistem profesional.
Kita perlu jujur mengakui bahwa tidak semua orang cocok menjadi guru, sebagaimana tidak semua orang cocok menjadi dokter atau insinyur. Pendidikan bukan ladang coba peruntungan. Ia adalah ruang strategis yang menentukan masa depan sosial sebuah bangsa. Ketika sekolah menerima guru yang tidak siap secara mental, intelektual, dan moral, maka sesungguhnya kita sedang menabung masalah jangka panjang.
Sudah saatnya yayasan pendidikan berani berbenah. Seleksi guru harus berbasis kompetensi, bukan semata gelar. Pelatihan harus menjadi kebutuhan, bukan formalitas. Evaluasi kinerja harus jujur, meski menyakitkan. Dan yang tak kalah penting, guru sendiri perlu bertanya secara jujur: apakah ia benar-benar ingin mendidik, atau sekadar mencari tempat bertahan hidup.
Pendidikan yang bermutu tidak lahir dari kompromi murahan. Ia lahir dari keberanian mengambil sikap: bahwa ruang kelas bukan tempat kebingungan orang dewasa, melainkan ruang tumbuh anak-anak yang menitipkan masa depannya. Jika guru dan yayasan gagal memahami ini, maka krisis pendidikan bukan lagi ancaman, melainkan kenyataan yang kita pelihara bersama.
***
*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |