TIMES MALANG, MALANG – Kepulauan Raas di Kabupaten Sumenep bukan wilayah miskin potensi. Lautnya kaya, manusianya ulet, dan solidaritas sosialnya kuat. Namun, dari tahun ke tahun, wajah pembangunannya nyaris tak berubah.
Infrastruktur jalan tertinggal, layanan publik berjalan seadanya, dan akses ekonomi bergerak lambat. Persoalannya bukan semata keterbatasan sumber daya alam atau anggaran, melainkan soal yang lebih mendasar: kualitas sumber daya manusia dan arah birokrasi pembangunan.
Raas kerap diperlakukan sebagai wilayah pinggiran yang cukup “dikelola agar bertahan”, bukan dikembangkan untuk tumbuh. Padahal, pembangunan tidak hanya soal membangun fisik, tetapi membangun cara berpikir. Tanpa SDM terdidik dan birokrasi yang memiliki orientasi pembangunan, anggaran sebesar apa pun hanya akan berputar sebagai rutinitas belanja, bukan sebagai mesin perubahan.
Kenyataan pahitnya, birokrasi di wilayah kepulauan sering terjebak dalam pola administratif, bukan transformatif. Banyak aparatur sibuk mengurus laporan, prosedur, dan formalitas, tetapi gagap membaca kebutuhan jangka panjang. Pembangunan dipahami sebagai proyek tahunan, bukan agenda berkelanjutan. Akibatnya, program datang dan pergi, tetapi dampaknya nyaris tak terasa.
Masalah ini berakar pada kualitas SDM birokrasi. Tidak sedikit aparatur yang ditempatkan di Raas tanpa bekal pemahaman konteks kepulauan. Penugasan lebih bernuansa “rotasi jabatan” ketimbang misi pembangunan.
Mereka datang dengan pola pikir daratan, bekerja secara minimal, lalu berharap segera pindah. Dalam situasi seperti ini, Raas kehilangan sosok-sosok birokrat visioner yang mau menetap, memahami medan, dan berani mengambil inisiatif.
Padahal, wilayah kepulauan membutuhkan pendekatan khusus. Birokrasi tidak cukup sekadar patuh aturan, tetapi harus kreatif, adaptif, dan berani menembus sekat prosedural selama tidak melanggar hukum.
Pembangunan Raas menuntut aparatur yang mampu membaca potensi lokal: perikanan, ekonomi pesisir, pariwisata berbasis kearifan lokal, hingga penguatan pendidikan dan kesehatan dasar. Tanpa orientasi itu, Raas akan terus tertinggal meski dana transfer mengalir.
Di sisi lain, keterbatasan SDM lokal juga menjadi tantangan serius. Banyak anak-anak Raas yang memiliki semangat belajar tinggi, namun akses pendidikan lanjutan terbatas. Mereka yang berhasil menempuh pendidikan tinggi sering kali enggan kembali, karena minimnya ruang aktualisasi dan penghargaan terhadap kompetensi. Akibatnya, terjadi kekosongan intelektual di kampung sendiri. Raas kehilangan generasi terdidik yang seharusnya menjadi motor perubahan.
Pembangunan kepulauan tidak bisa bergantung pada “orang luar” semata. Ia harus ditopang oleh kader-kader lokal yang memahami denyut sosial, bahasa budaya, dan kebutuhan masyarakat. Karena itu, investasi pada pendidikan SDM Raas menjadi keniscayaan, bukan pilihan. Beasiswa, afirmasi pendidikan, dan jalur karier birokrasi bagi putra daerah harus dirancang serius dan berkelanjutan.
Namun, SDM terdidik saja tidak cukup jika birokrasi tidak memberi ruang. Banyak gagasan lokal kandas karena bertabrakan dengan mentalitas birokrasi yang alergi perubahan. Inisiatif dianggap ancaman, kritik dipersepsikan sebagai pembangkangan. Dalam iklim seperti ini, birokrasi justru menjadi penghambat pembangunan, bukan fasilitator.
Orientasi pembangunan harus diubah secara mendasar. Birokrasi Raas tidak boleh hanya bekerja untuk menyerap anggaran, tetapi untuk menciptakan dampak. Indikator keberhasilan tidak cukup diukur dari laporan selesai, tetapi dari perubahan nyata di lapangan. Jalan yang layak, layanan kesehatan yang mudah diakses, pendidikan yang berkualitas, serta ekonomi lokal yang bergerak.
Lebih jauh, pembangunan Raas membutuhkan keberanian politik dan konsistensi kebijakan. Pemerintah kabupaten harus berhenti melihat kepulauan sebagai beban, melainkan sebagai investasi jangka panjang.
Pendekatan pembangunan harus berbasis kebutuhan riil masyarakat, bukan sekadar menyesuaikan template program dari pusat. Tanpa keberpihakan yang jelas, Raas akan terus menjadi catatan pinggir dalam dokumen perencanaan.
Membangun Kepulauan Raas adalah soal keberanian memilih arah. Apakah kita ingin terus membiarkannya bertahan dalam keterbatasan, atau mendorongnya tumbuh dengan SDM terdidik dan birokrasi berorientasi pembangunan. Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah Raas tetap menjadi wilayah yang “selalu dijanjikan”, atau benar-benar bergerak menuju masa depan yang lebih adil dan bermartabat.
Pembangunan sejati dimulai dari manusia dan cara berpikirnya. Selama SDM dan birokrasi Raas tidak dibangun dengan kesadaran itu, maka pulau ini akan terus menunggu bukan kekurangan potensi, tetapi kekurangan arah.
***
*) Oleh : Mashudi, Pengurus IKatan Mahasiswa Raas (IMR).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |