https://malang.times.co.id/
Opini

Anekdot Negara Kacau

Minggu, 21 Desember 2025 - 23:21
Anekdot Negara Kacau Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

TIMES MALANG, MALANG – Indonesia kaya akan anekdot. Dari warung kopi hingga ruang sidang, dari obrolan santai sampai panggung politik, anekdot menjadi cara paling populer untuk menyindir keadaan. Namun ada satu pola yang terus berulang dan semakin mengganggu: jawaban yang kacau, tidak nyambung, dan sering kali menghindari inti persoalan. Anekdot tentang “jawaban asal bunyi” ini memang mengundang tawa, tetapi di balik kelucuannya tersembunyi persoalan serius: krisis cara berpikir.

Dalam banyak anekdot populer, kita mendengar pertanyaan sederhana dijawab dengan kalimat panjang yang tidak menjawab apa pun. Ada pejabat yang ditanya soal kebijakan, menjawab dengan sejarah masa kecil. Ada pemimpin yang ditanya solusi, menjawab dengan motivasi kosong. Anekdot itu lalu ditertawakan, dibagikan, dan dilupakan. Padahal, justru di situlah masalahnya. Jawaban kacau telah menjadi kebiasaan yang dinormalisasi.

Anekdot seharusnya menjadi alat kritik. Ia menertawakan kebodohan agar kita sadar dan berubah. Namun dalam konteks Indonesia hari ini, anekdot sering berhenti pada tawa, bukan refleksi. Kita menertawakan jawaban yang ngawur, tetapi tidak lagi mempertanyakan mengapa cara menjawab seperti itu terus dipertahankan, bahkan dirayakan.

Jawaban kacau bukan sekadar persoalan individu yang tidak siap. Ia mencerminkan budaya komunikasi yang menghindari tanggung jawab. Dalam banyak ruang publik, menjawab lurus dan jujur justru dianggap berisiko. Maka, jawaban diputar, diperluas, atau dibelokkan. Yang penting terdengar panjang, terdengar pintar, meski kosong makna. Anekdot pun lahir dari situ.

Lebih jauh, fenomena ini menunjukkan lemahnya tradisi berpikir kritis. Kita terbiasa berbicara, tetapi tidak terbiasa menjawab. Terbiasa menyampaikan narasi, tetapi tidak dilatih merespons pertanyaan secara logis. 

Dalam sistem pendidikan dan birokrasi, kemampuan menjawab sering kalah penting dibanding kemampuan menghafal atau berbasa-basi. Tak heran jika jawaban kacau menjadi warisan kolektif.

Anekdot tentang jawaban yang tidak nyambung juga mencerminkan relasi kuasa. Banyak jawaban kacau datang dari mereka yang berada di posisi dominan. Ketika kekuasaan tidak perlu dipertanggungjawabkan, jawaban tak lagi harus masuk akal. Anekdot pun menjadi alat masyarakat untuk melawan, meski hanya lewat tawa. Namun, tawa tanpa tekanan perubahan justru memperpanjang siklus kekacauan itu sendiri.

Ironisnya, masyarakat sering ikut memaklumi. “Namanya juga pejabat,” atau “sudah biasa begitu,” menjadi kalimat pembenaran. Anekdot berubah dari kritik menjadi hiburan. Jawaban kacau yang seharusnya memalukan justru dianggap lumrah. Di titik ini, anekdot kehilangan daya subversifnya.

Dampaknya tidak main-main. Ketika jawaban kacau menjadi norma, diskursus publik menjadi dangkal. Kebijakan dibahas tanpa kejelasan. Masalah struktural ditutup dengan humor. Kesalahan fatal dibungkus narasi ringan. Anekdot yang seharusnya membuka mata justru menjadi tirai yang menutup akal sehat.

Kita perlu bertanya secara jujur: mengapa kita betah hidup dengan jawaban yang tidak menjawab? Barangkali karena jawaban yang jelas menuntut konsekuensi. Menjawab tepat berarti siap dievaluasi. Menjawab lurus berarti membuka diri pada kritik. Jawaban kacau menawarkan zona aman: tidak bisa disalahkan karena tidak pernah benar-benar mengatakan apa pun.

Di sinilah anekdot seharusnya dikembalikan pada fungsi awalnya: sebagai cermin yang menyakitkan. Anekdot bukan untuk ditertawakan lalu dilupakan, tetapi untuk direnungkan. Ketika kita menertawakan jawaban kacau, seharusnya kita juga bertanya: apakah kita ikut berkontribusi dalam budaya ini? Apakah kita juga sering menghindari jawaban yang jujur dalam hidup sehari-hari?

Perubahan tidak cukup dimulai dari elite. Ia harus dimulai dari kebiasaan kecil: berani menjawab sesuai pertanyaan, berani berkata “tidak tahu,” dan berani bertanggung jawab atas kata-kata. Pendidikan harus melatih nalar, bukan sekadar retorika. Ruang publik harus menghargai kejelasan, bukan keruwetan yang dibungkus humor.

Jawaban kacau dalam anekdot Indonesia adalah alarm budaya. Ia menandakan bahwa kita sedang menghadapi krisis ketepatan berpikir dan keberanian moral. Selama jawaban ngawur terus ditertawakan tanpa dikoreksi, kita akan terus hidup dalam lingkaran absurditas yang sama.

Anekdot memang lucu. Tetapi jika negeri ini terus dipimpin oleh jawaban yang tak menjawab, maka yang tersisa bukan lagi kelucuan, melainkan tragedi yang kita anggap biasa.

***

*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.