TIMES MALANG, MALANG – Indonesia Emas tahun 2045 mungkin masih lama, tapi masa depan itu sesungguhnya dimulai sekarang, di tangan kita semua. Tahun 2045 menjadi tonggak bersejarah bagi Indonesia. Pada saat itu, Indonesia akan merayakan satu abad kemerdekaannya.
Visi besar yang dicita-citakan bersama adalah mewujudkan Indonesia menjadi negara yang maju dan berdaulat di kancah dunia. Namun, untuk mewujudkan impian tersebut, pondasi yang kokoh harus disiapkan sejak sekarang.
Di antaranya adalah membentuk generasi muda yang unggul dalam berbagai aspek kehidupan.
Indonesia Emas 2045 tidak akan datang secara otomatis. Ia lahir dari kerja keras kita hari ini. Dari orang tua, masyarakat, guru, dan dosen yang mendidik anak dengan cinta.
Dengan kata lain, ia lahir dari pendidik (guru/dosen) yang menginspirasi anak didiknya untuk bermimpi besar. Dari pemerintah yang membangun kebijakan cerdas. Dari setiap anak muda yang berani melangkah melampaui batas.
Bulan ini, Hari Pendidikan Nasional diperingati kembali. Tapi marilah kita merenung sejenak: apa kabar pendidikan kita? Lebih jagoan guru-guru kita, dosen-dosen kita, atau penjual sate di pojok gang yang sabarnya sudah mendekati atau selevel dewa.
Guru dan dosen adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Namun kenyataannya, tanda jasa tersebut masih perlu dicicil sampai pensiun. Di sisi lain, penjual sate mungkin tak pernah ikut seminar nasional tentang "metode pendidikan abad 21", tetapi mereka terus bekerja keras dengan tekun.
Lihatlah bagaimana mereka dengan tabah mendidik asistennya menyalakan arang yang “ngambek” dan mengatur irisan daging setebal kartu ATM. Jika guru atau dosen mengajarkan teori ekonomi, penjual sate mengajarkan praktik ekonomi. Bagaimana dengan modal Rp200 ribu bisa bertahan hidup dan membayar SPP anaknya.
Kalau guru atau dosen mengupas filsafat ketekunan ala Kierkegaard, penjual sate memeragakannya setiap malam, di bawah gerimis kecil yang menusuk tulang. Oleh sebab itu, pada Hari Pendidikan Nasional ini, marilah kita berterima kasih bukan hanya pada guru dan dosen, tapi juga pada penjual sate.
Bahkan, kita juga berterima kasih pada penjual bakso, sopir ojek, angkot, dan bus. Mereka adalah guru kehidupan tanpa seremoni. Mereka telah mengajarkan kita tentang hal penting: belajar dan berusaha itu tugas seumur hidup, bukan cuma sampai lulus ujian.
Sering kita dengar atau baca bahwa pendidikan menjadi kunci utama dalam membangun generasi emas. Pendidikan bukan hanya tentang transfer pengetahuan. Namun, tentang membentuk karakter, kreativitas, dan semangat inovasi.
Oleh karena itu, pendidikan kita harus mampu membekali generasi muda dengan keterampilan abad ke-21. Keterampilan berpikir kritis, berkomunikasi efektif, berkolaborasi, dan mampu berinovasi. Selain itu, pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Pancasila serta akhlak mulia dan jiwa nasionalis.
Sebagai pendidik/dosen, saya terkadang menertawakan dan menyalahkan diri sendiri. Sebab, masih belum memiliki karya yang mendunia. Di sisi lain, baik guru atau dosen selalu dituntut untuk jadi superman di dunia pendidikan yang fasilitasnya masih level lilliput.
Padahal, pendidikan itu tugas kita semua. Penjual sate pun, dengan bara apinya, ikut mendidik bangsa ini. Mereka mendidik tentang kerja keras, kesetiaan pada kualitas, dan ketulusan dalam memberikan layanan tanpa batas.
Semua itu, sebenarnya mengajarkan dan menyadarkan kita tentang hidup. Bahwa sesungguhnya, kehidupan adalah sekolah yang paling keras. Sedangkan kita, sadar atau tidak adalah murid-muridnya.
Pada Hari Pendidikan Nasional ini, baik guru atau dosen tentu mengerti, bahwa masih banyak guru/dosen dengan gaji pas-pasan. Namun mereka dibebani administrasi setumpuk. Sementara persoalan pendidikan lebih sering dibahas di ruang rapat daripada dipikirkan di lapangan.
Oleh sebab itu, marilah peringati pendidikan ini sambil lalu bertanya: siapa sebenarnya yang paling gigih mendidik bangsa? Guru, dosen, ataukah penjual sate di sudut jalan yang mengajarkan tentang sabar. Mengajarkan tentang inovasi dan manajemen risiko yang mungkin lebih efektif daripada kurikulum kewirausahaan.
Guru sibuk mengajarkan rumus matematika dan lain-lain, yang kadang dilupakan siswa dua jam setelah ulangan. Dosen sibuk mengisi SKP dan BKD, di samping pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Bahkan dituntut menulis artikel di jurnal internasional bereputasi, sebagai syarat kenaikan pangkat dan kelengkapan administrasi.
Sementara penjual sate, tanpa beban SKS, tanpa supervisi BAN-PT, setiap hari menyajikan pelajaran yang nyata. Pelajaran bagaimana mengelola modal dan mengatur waktu. Menjaga kualitas, membaca pasar, dan membangun brand loyalty (dengan sambal dan bumbu kacang spesial).
Ironis, pendidikan yang seharusnya memerdekakan justru sering kali menjerat: kurikulum kaku, sistem birokratis, dan target-target absurd. Murid belajar untuk lulus, guru mengajar untuk administrasi, dan dosen meneliti demi angka kredit. Lalu kapan kita belajar untuk hidup?
Sedangkan di bawah tenda plastik seadanya, penjual sate mengajarkan kita tentang prinsip sederhana: siapa malas, lapar. Siapa kreatif, bertahan. Siapa sabar, menang.
Dengan demikian, pendidikan sejati tidak hanya lahir di ruang kelas, tapi juga di bawah tenda sate, di antara bara api dan angin malam. Jika guru dan dosen mengajar tentang teori, penjual sate mencontohkan cara menjalani hidup. Mereka sebenarnya adalah “guru kita”, kalau kita mau belajar tentang hidup.
Sekolah mengajarkan lulus ujian, penjual sate mengajarkan cara bertahan dalam kehidupan. Kita membutuhkan semuanya, bukan hanya orang-oraang bergelar, tapi yang bisa mendidik dengan benar. Sebab, sejatinya pendidikan adalah sikap, bukan “pameran gelar”.
Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga tahun depan, yang mengisi seminar nasional tidak hanya profesor atau doktor, tetapi juga penjual sate. Supaya kita kembali ingat dan menyadari bahwa pendidikan itu upaya menghidupkan manusia, bukan sekadar mencetak lulusan yang ada.
Salam hormat dan bangga kepada guru, dosen, dan para penjual sate, pendidik tanpa podium. Mereka telah menyadarkan kita bahwa pendidikan bukan semata-mata soal ijazah, tapi cara membakar semangat, seperti membakar sate dengan arang, sabar tapi pasti." Bahkan, bisa jadi pelajaran tentang hidup lebih tulus diajarkan di lapak sate, ketimbang di ruang seminar atau diskusi, serta pidato dan janji-janji pejabat yang tanpa bukti.
*) oleh: Mohamad Sinal Corporate Legal Consultant, ahli bahasa hukum, founder Pena Hukum Nusantara (PHN), dan dosen Polinema.
Pewarta | : Wahyu Nurdiyanto |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |