TIMES MALANG, MALANG – Seiring berjalanya waktu perkembangan teknologi komunikasi, penggunaan media dan informasi, akan menghadapi banyak tantangan, khususnya dalam lingkup akademis. Teknologi dan pemikiran kritis cenderung memberi pengaruh yang saling berkebalikan pada kebanyakan orang.
Prosedur sistematis mesin pencari modern, seperti Google dan turut mempersempit kemampuan seseorang untuk beropini dengan menyajikan informasi berdasarkan riwayat pencarian. Lebih lanjut lagi, kemudahan semacam ini akan melahirkan fenomena "new illiteracy" yang digambarkan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk membedakan fakta dan fiksi yang berujung pada hilangnya nalar kritis.
Nalar kritis pada dasarnya mengacu pada cara berpikir seseorang guna meningkatkan kualitas pemikirannya melalui aktivitas menganalisa, menilai, merekonstruksi pemikirannya dengan baik, dan aktivitas ini hendaknya diarahkan atas inisiatif, disiplin, pantauan, dan koreksi pribadi.
Akan tetapi, kaum akademisi khususnya mahasiswa masih banyak yang sukar untuk merespons berbagai persoalan diri dan masyarakat sesuai dengan kompetensi dan bidang keilmuan yang digelutinya dengan cara mengidentifikasi masalah, mensintesis, menganalisis dan selanjutnya dapat memberi jalan keluarnya.
Krisis nalar kritis akademis merujuk pada berbagai masalah yang menghambat kemampuan mahasiswa, peneliti, atau akademisi untuk melakukan analisis yang mendalam, kritis, dan objektif terhadap informasi, ide, atau argumen. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan krisis nalar kritis akademis antara lain:
Pertama, Ketergantungan pada Sumber Tunggal atau Terbatas. Mahasiswa mungkin terbatas pada sumber informasi yang terbatas atau bias. Hal ini dapat menghambat kemampuan mereka untuk melihat isu dari berbagai perspektif atau mempertimbangkan pendapat yang berbeda.
Kedua, Kurangnya Keterampilan Kritis yang Diajarkan. Sistem pendidikan atau program akademis tertentu mungkin tidak memberikan cukup penekanan pada pengembangan keterampilan berpikir kritis. Ini bisa menghasilkan lulusan yang kurang mampu menganalisis informasi secara kritis atau mempertanyakan keyakinan yang ada.
Ketiga, Teori Konspirasi dan Pemikiran Konfirmasi. Penyebaran teori konspirasi dan pemikiran konfirmasi dapat menghambat kemampuan seseorang untuk memproses informasi secara rasional dan objektif. Ini bisa berdampak pada cara mahasiswa atau akademisi menafsirkan data atau argumen.
Keempat, Tekanan Kuantitas atas Kualitas. Di beberapa lingkungan akademis, ada tekanan untuk memproduksi karya dalam volume besar, kadang-kadang pada biaya kualitas. Hal ini dapat mengurangi kemampuan untuk melakukan analisis mendalam atau refleksi kritis.
Kelima, Ketidakmampuan untuk Memisahkan Fakta dari Opini. Terkadang, mahasiswa atau akademisi mungkin kesulitan membedakan antara fakta yang didukung oleh bukti dan opini subjektif. Ini dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk melakukan penilaian objektif terhadap informasi yang diterima.
Keenam, Ketidakmampuan Menerima Kritik. Lingkungan akademis yang tidak mendorong kritik konstruktif atau tidak memberikan umpan balik yang bermakna dapat menghambat kemampuan untuk mengembangkan nalar kritis.
Mengatasi krisis nalar kritis dalam lingkup akademis membutuhkan perubahan dalam pendekatan pendidikan, budaya akademis, dan praktik pengajaran. Penting untuk mendorong pembelajaran yang aktif, mempromosikan keragaman perspektif, dan membangun kemampuan untuk mempertanyakan dan mengevaluasi informasi dengan kritis.
Dalam lingkup akademis, khususnya mahasiswa tidak seharusnya hanya memakai pemikiran kritisnya ketika berada di dalam kelas. Lebih dari itu suatu keharusan baginya untuk menganalisa keadaan sekitar. Masih banyak mahasiswa yang apatis tidak menggunakan pikiran kritisnya, acuh tak acuh melihat realitas saat ini yang mungkin sedang tidak baik-baik saja. Mahasiswa hari ini patutnya berefleksi diri. Apakah mereka pantas disebut sebagai mahasiswa? Apakah mereka pantas disebut sebagai pemuda yang kritis?
Untuk menghadapi perkembangan dan mengantisipasi dampaknya, maka perlu adanya kemampuan dan daya kritis dalam kampus dan diri mahasiswa. Mahasiswa perlu berusaha membiasakan diri berdialog, berkomunikasi, berdiskusi dan mengikuti berbagai seminar ilmiah. Dengan menerjunkan diri pada kegiatan-kegiatan berbasis intelektual akademik ini, mereka dapat berlatih berpikir secara terstruktur, logis dan sistematis, berwawasan luas, bersikap inklusif, rasional, kritis, selektif dan konstruktif dalam mencermati realitas diri dan sosialnya.
Meningkatkan pemikiran kritis tidak hanya mahasiswa dapat pada pemaparan diatas saja, lebih dari itu mahasiswa harus keluar dari zona nyaman kampus. Lingkungan masyarakat dapat dijadikan objek sebagai sarana proses peningkatan pemikiran kritis yang memberi banyak manfaat salah satunya menyelesaikan masalah dan memahami sudut pandang orang lain secara luas tidak hanya rekan sejawat kalangan mahasiswa saja.
***
*) Oleh : Argha Zidan Arzaqi, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
___
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |