TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Pergantian tahun merupakan momentum selalu hadir setiap dua belas bulan sekali. Ketika meninggalkan tahun lama dan memasuki tahun baru diselenggarakan beragam agenda. Pelaksanaannya tergantung visi masing-masing pribadi.
Ada pribadi menafsirkan tahun baru sebagai suka cita, maka dirinya menyambut tahun baru dengan pesta pora, harapannya dapat memetik sensasi kegembiraan. Namun ada pribadi lain, menginterpretasikan peralihan tahun, sebagai kesempatan melakukan refleksi.
Seperti menjalani evaluasi selama setahun ke belakang, barangkali banyak tindakan kurang tepat, berdampak hambatan pengembangan secara personal maupun sosial, sehingga kehidupannya belum mencapai prestasi maksimal dan minim kemanfaatan bagi lingkungan.
Yang paling ideal, merayakan tahun baru meraih keduanya, yaitu menikmati perputaran tahun membuat kegiatan tak berlebihan yang penting bikin bahagia. Perayaan ini sebagai bentuk rasa syukur, Tuhan masih memberi waktu lebih lama mewarnai kehidupan untuk meningkatkan kualitas diri dan berbuat baik pada sesama.
Saat ada kesadaran perubahan tahun merupakan wujud rasa syukur, bisa mengetuk pintu hati mengadakan refleksi yang menghasilkan kontemplasi, berbuah meninggalkan perbuatan tak sesuai dan mengupayakan perilaku lebih baik pada tahun mendatang.
Sebagai bentuk refleksi ranah individu, sosial maupun lebih luas pada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di tahun 2024, merupakan tahun melahirkan kepemimpinan nasional maupun daerah. Melalui proses menguras energi berbagai elemen bangsa, mengantarkan penetapan presiden, wakil presiden dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat di tingkat pusat maupun daerah.
Di akhir tahun 2024, juga dilaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung menghasilkan pemimpin, ditandai terpilihnya gubernur dan wakil, wali kota dan wakil, serta bupati dan wakil secara definitif.
Belajar dari penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara langsung tahun 2024, ternyata memperoleh ketidakpuasan dari banyak kalangan, karena proses demokrasi tidak diimplementasikan dengan semestinya.
Penyimpangan arah demokrasi terutama terlihat pada perubahan aturan Mahkamah Konstitusi menguntungkan salah satu calon, mengemuka politik dinasti, berkibarnya politik uang, fenomena politik gentong babi, kriminalisasi kandidat potensial, konspirasi gabungan partai politik menggagalkan pencalonan, campur tangan aparatur negara memenangkan calon tertentu dan penyelenggara pemilu belum menjalankan tugas secara profesional.
Mestinya catatan negatif ini menjadi bahan evaluasi memperbaiki praktek demokrasi pada masa mendatang, agar diperoleh pemimpin memiliki kredibilitas tinggi di mata rakyat.
Dan apapun kelemahan pelaksanaan demokrasi pada ajang pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, telah melahirkan pemimpin di tingkat nasional dan daerah. Meski ada kekurangan, masih beruntung pesta demokrasi pada tahun 2024 berlangsung aman dan damai, tak ada kerusuhan bersifat masif terjadi di pelosok negeri.
Pasca melahirkan pemimpin baru melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara langsung. Ada harapan disandarkan pada mereka, yaitu menjadi pemimpin amanah.
Pemimpin yang mampu membawa kemaslahatan bagi seluruh warga bangsa, sesuai cita-cita tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terutama melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ikhtiar pemimpin mewujudkan cita-cita itu, butuh effort tinggi, karena sejatinya diberi jabatan publik sebagai ujian. Menjadi teringat ungkapan legendaris dari Presiden Abraham Lincoln: “hampir setiap orang mampu bertahan menghadapi kesulitan, tetapi jika anda ingin menguji karakter sejati seseorang, beri dia kekuasaan.”
Berpondasi dari pernyataan presiden Amerika Serikat ke 16 dikenal sebagai tokoh demokrasi ini dapat dijadikan penanda sebagai pemimpin yang baik ujiannya adalah kekuasaan. Ketika seseorang diberi kekuasaan, ternyata berani tidak popular, seluruh kemampuan dialokasikan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, mendonasikan materi demi kemakmuran warga, tidak terlalu memikirkan kinerja bertujuan melanggengkan kepemimpinan dan memberi faedah bagi seluruh masyarakat, bukan semata dibagikan pada kelompok dan dinastinya. Ketika indikator ini dilaksanakan, maka sesungguhnya mereka adalah pemimpin yang baik.
Pemimpin yang baik memang rela menderita demi rakyat, bukan memperkaya diri sendiri. Seperti yang dituturkan oleh Agus Salim : “menjadi pemimpin bukan jalan mudah. Memimpin adalah menderita.“
Jika pemimpin mengikuti prinsip dari pernyataan Agus Salim ini dapat terhindar dari peringatan yang disampaikan oleh Lord Action, profesor sejarah modern Cambridge University Inggris, saat memegang kekuasaan: “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut, cenderung korup secara absolut.”
Selanjutnya harapan yang digantungkan kepada pemimpin nasional maupun daerah hasil dari pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah langsung pada tahun 2024, semoga meneladani jejak kepemimpinan Umar Bin Khattab melalui kisah terkenal bersama wanita merebus batu. Kisahnya adalah Umar Bin Khatab sebagai khalifah menunjukkan kepedulian pada rakyatnya dengan rajin berkeliling untuk memastikan rakyat dalam keadaan sejahtera.
Suatu kali, di tengah perjalanannya mengunjungi warga, mendengar tangisan bocah. Umar pun mendekat dan memasuki tempat tinggal bocah itu. Setelah masuk rumah, Umar melihat ibu sedang merebus batu.
Rupanya, ibu sedang membujuk anaknya agar berhenti menangis. Caranya merebus batu. Tindakan ini dilakukan sebagai dampak dari anak menangis karena kelaparan. Ibu mengerti, satu-satunya cara menghentikan tangis anak memberi makanan, namun sayang dia tidak punya bahan pangan sama sekali. Kondisi tersebut menyebabkan ibu merebus batu.
Pura-pura memasak, sebenarnya strategi agar anak menunggu hidangan datang. Semakin lama menunggu, tentu anak merasa letih. Dalam keadaan keletihan, ibu berharap anak tertidur dan tidak menangis lagi. Melihat realitas ini, Umar langsung bertindak mengutus pengawalnya mengirim bahan pangan supaya keluarga miskin tersebut tidak kelaparan lagi.
Kisah popular lain dari Umar Bin Khatab, berkenaan lampu. Kisah tersiar, Umar membincangkan masalah kepemerintahan dengan tamu menggunakan lampu milik negara untuk menerangi ruangan. Namun pembicaraan mulai bergeser ke urusan pribadi. Tiba-tiba Umar mematikan lampu, diganti lampu milik pribadi.
Melihat tindakan Umar, menstimulasi tamu bertanya mengapa harus menggantikan lampu? Jawaban Umar: “Lampu itu merupakan milik negara, sehingga tidak pantas menggunakan fasilitas negara yang bukan milik ku untuk keperluan pribadi. Segalanya akan dipertanggungjawabkan pada Allah SWT.“
Hikmah dipetik dari kisah Umar Bin Khatab itu menjadi teladan bagi pemimpin agar memiliki integritas, menjunjung keadilan, mengedepan kejujuran, memperkuat komitmen, mampu memisahkan antara kepentingan pribadi dengan negara dan pengembaraan spiritualitas mengenai menjadi pemimpin ujungnya akan dipertaruhkan di hadapan Allah SWT.
Harapan tercurah pada pemimpin nasional maupun daerah terpilih. Semoga memasuki tahun 2025 memiliki soft skills, seperti petuah Agus Salim, Abraham Lincoln dan kisah Umar Bin Khatab. Yang menjadikan pemimpin mampu mewujudkan baldatun thoyyibatun wa rabbhun ghaffur, yaitu suatu negeri makmur dan damai mencakup seluruh kebaikan bagi alam dan lingkungannya.
***
*) Oleh : Hadi Suyono, Direktur Center for Community Empowerment Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |