TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Nowadays, gencar diberitakan bahwa Indonesia masuk dalam peringkat ke-3 Fatherless country yang menyebabkan selaksa orang bertanya mengapa hal tersebut bisa sampai terjadi. Pastinya tidak lepas dari peran budaya dan juga sosial, sehingganya kita akan mengulas bagaimana fatherless dalam kacamata psikologi sosial menggunakan beberapa teori yaitu teori hubungan interpersonal, pengaruh sosial, konsep diri dan agresi.
Fatherless adalah ketiadaan peran atau figure seorang ayah baik secara fisik, psikologis dan emosional dalam kehidupan seorang anak (Dasalinda & Karneli, 2021). Ketiadaan figur seorang ayah dalam suatu keluarga bisa dipicu dari beberapa hal seperti kematian, perceraian, masalah kesehatan, atau pekerjaan ayah yang jauh dari keluarga.
Indonesia dinobatkan sebagai negara tanpa peran ayah terbanyak ke-3 dari beberapa negara lainnya seperti yang disampaikan oleh Menteri Sosial Indonesia yaitu Khofifah Indar Parawansa (Sobari, 2022).
Sebagai negara yang menyandang predikat ke-3 fatherles country, ketiadaan peran ayah banyak ditemukan dalam kegiatan atau pola pengasuhan anak di dalam keluarga. Bukan semata-mata ayah tersebut telah tiada, melainkan kehadirannya tidak membawa peran yang semestinya. Absensi peran tersebut jelas menjadikan seorang anak haus akan kasih sayang dan perhatian dari figure seorang ayah dan dalam hal ini disebut sebagai Father Hunger.
HUBUNGAN INTERPERSONAL AYAH & ANAK
Pola asuh yang tidak tepat menjadi salah satu reason bagaimana hubungan interpersonal yang terjadi dalam keluarga khususnya ayah dan anak tidak dalam radar yang aman. Menurut Sarlino dan Eko (2005), hubungan interpersonal adalah hubungan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang memiliki ketergantungan satu sama lain dan menggunakan pola interaksi yang konsisten (Sarlito & Eko, 2005
Dewasa ini, fenomena yang terjadi adalah eksistensi dari ketiadaan peran ayah semakin dapat diamati dari minimnya komunikasi dan interaksi antara ayah dan anak. Adanya ketidakevektifan komunikasi interpersonal seorang ayah dengan seorang anak dapat dilihat dari ciri-ciri berikut ini:
Pertama, tiada keterbukaan (openess), Kedua, ketiadaan empati (empathy. Ketiga, tiada dukungan (Supportiveness), Keempat, ketiadaan rasa positif (positiveness), Kelima, ketiadaan kesetaraan atau kesamaan (equality) yaitu sebuah pengakuan bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna dan mempunyai sesuatu yang penting untuk dikembangkan Sangat ironis bukan? Jika ditelisik lebih lanjut, buruknya hubungan interpersonal ayah dan anak tidak lepas dari adanya pengaruh sosial.
ADANYA PENGARUH SOSIAL; KOMFORMITAS
Menurut Prayitno, Konformitas merupakan pengaruh sosial dalam bentuk penyamaan pendapat atau pola tingkah laku seseorang terhadap orang lain yang memengaruhinya. Beberapa hal yang membuat perilaku seseorang cenderung mengikuti pengaruh social yang ada yaitu untuk pemenuhan dan penerimaan (Alfi Laili Nur F, dkk, 2022) .
Bukan hal yang mengejutkan lagi jika Indonesia dikenal dengan budaya Patriarki yang masih mandarah daging. Adanya paradigma pengasuhan yang dipengaruhi oleh budaya lokal dipandang sebagai pemantik terpeliharanya fenomena Father Hunger di Indonesia. Contohnya adalah terdapat penyempitan teritori peran ayah yang hanya sekedar mencari nafkah di luar sedangkan seorang ibu ditugaskan utuh dalam pengasuhan anak. Walhasil, konformitas terjadi dan hal tersebut dilakukan secara turun-temurun antar generasi agar dapat diterima dalam pandangan norma sosial yang berlaku.
Degradasi peran ayah dalam tumbuh kembang seorang anak jelas sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak. Hal ini selaras dengan penelitian Arsyia Fajarini & Aji Nasrul Umam yang menjelaskan bahwa ketiadaan peran ayah berdampak pada karakter anak seprti mudah minder, sulit mengontrol diri, dll (Fajarrini & Umam, 2023) .
KONSEP DIRI & DAMPAK
Pada proses pembangunan dan pembentukan karakter, seorang anak terlebih dahulu akan berusaha memahami konsep diri mereka. Konsep diri sosial merupakan persepsi, pikiran, perasaan, serta evaluasi seseorang terhadap kecenderungan sosial yang ada pada diri sendiri .
Father involvement atau keterlibatan ayah dalam pengasuhan memiliki pengaruh terhadap konsep diri anak sebagaimana yang diuraikan dalam penelitian Ayu Isnaini, dkk (2021) bahwa peran ayah dapat membentuk konsep diri anak seperti kemampuan mengenal dan menerima diri sehingga anak mampu untuk menjadi lebih baik ke depan (konsep diri positif) demikian juga dengan konsep diri berupa adanya kekecewaan dan ketidakmampuan untuk mencapai apapun yang diharapkan (konsep diri negatif) .
Apabila selama proses perkembangan seorang anak terdapat absensi intervensi dari sang ayah, kebutuhan emosional seperti ingin diperhatikan, dimengerti, tidak terpenuhi. Hal tersebut menjadikan anak sering menutup diri, enggan mengungkapkan apa yang dirasakan.
Emosi yang dipendam biasanya akan mudah meluap melalui hal-hal negative dan tak jarang bersifat uncontrolled. Anak biasa akan melihat bagaimana lingkungannya bekerja, dan biasa aktivitas komparasi kondisi dengan mudahnya terjadi, sehingga mudah membentuk konsep diri yang negatif.
Konsep diri yang negatif akhirnya akan berpengaruh pada bagaimana cara penyikapan seorang anak dalam berinteraksi. Adanya kausalitas tersebut dapat terefleksi salah satunya dari tindakan agresi.
Menurut Baron (Dalam Koeswara, 1988) bahwa perilaku agresi merupakan tingkah laku individu yang ditunjukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak memiliki keinginan datangnya tingkah laku tersebut. Anak-anak yang haus akan kasih sayang ayah akan tumbuh menjadi remaja yang agresif yang enteng melakukan tindakan agresi seperti halnya banyak diberitakan oleh jagat sosial.
Dalam penelitian Putri Rahmaning Sekar (2021) menjelaskan bahwa faktor agresivitas remaja terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari frustasi, gangguan berpikir, dan intellegency remaja serta gangguan emotional atau perasaan pada remaja, sedangkan factor eksternal bisa hadir dari lingkup keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan sosial .
URGENSI KESADARAN PERAN
Mudahnya anak dalam meluapkan emosi negatif melalui tindakan-tindakan agresi dapat menyeret mereka pada kriminalitas. Tentu hal tersebut tidak masuk dalam list harapan dan cita-cita orang tua dalam membesarkan seorang anak sehingga menjadi bahan konsiderasi bagi para ayah atau pun calon ayah mengenai urgensitas peran atau figur seorang ayah dalam pengasuhan tumbuh kembang anak.
Munjiat (2021) mengatakan, seorang ayah tidak hanya memenuhi kebutuhan material saja, melainkan menajalankan peran dan tanggungjawab sebagai pendidik atau educator, menjadi guru bagi anak-anaknya, baik di dalam maupun di luar rumah. Tidak hanya masalah kognitif melainkan juga afektif bahkan spiritual. Tidak sebatas pendidik dalam hal akademik melainkan sosial dan nilai-nilai agama. Kesadaran peran ayah sangatlah wajib dan penting agar tidak ada lagi anak yang haus dan lapar akan kasih sayang seorang ayah.
***
*) Oleh : Supratiwi, S.Pd.; mahasiswi Pascasarjana program studi Interdisciplinary Islamic Studies dengan Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |