TIMES MALANG, JAKARTA – Isu tentang pemberian makan bergizi gratis yang digagas oleh pemerintah untuk mendukung gizi anak tengah menjadi perbincangan hangat. Program ini memang dirancang untuk memastikan setiap anak mendapatkan asupan makanan bergizi, yang diharapkan dapat berdampak positif pada kesehatan dan perkembangan mereka.
Namun, apakah benar makan bergizi gratis akan secara signifikan meningkatkan kualitas pendidikan dan kecerdasan anak, atau justru ini lebih merupakan janji politik yang hanya membuang-buang anggaran?
Jika kita mengkaji pengalaman negara-negara maju yang memiliki sistem pendidikan unggul, kita tidak menemukan bukti yang kuat bahwa kualitas pendidikan atau kecerdasan anak dipengaruhi oleh pemberian makan bergizi gratis.
Negara-negara dengan pendidikan berkualitas tinggi tidak hanya bergantung pada program makan bergizi, tetapi lebih pada sistem pendidikan itu sendiri, mulai dari kurikulum yang baik, pelatihan guru yang memadai, hingga pengelolaan pendidikan yang efektif.
Dengan kata lain, kualitas pendidikan tidak bisa hanya diukur dari seberapa baik anak-anak mendapatkan makan siang, tetapi dari berbagai faktor yang lebih fundamental.
Mari kita lihat kenyataan yang ada di lapangan terkait dengan program ini. Beberapa temuan yang mencuat justru menunjukkan bahwa kualitas makanan yang disediakan tidak sesuai dengan harapan. Di beberapa daerah, makanan yang disajikan bahkan jauh dari standar gizi yang seharusnya.
Dalam sebuah penelusuran, ditemukan bahwa program ini sebetulnya lebih untuk menunjang ekonomi melalui kebijakan ketahanan pangan nasional yang lebih berfokus pada pengembangan sektor pangan. Hal ini juga terlihat dalam pemilihan susu merek Indomilk yang disajikan, yang jelas menguntungkan pihak industri tertentu.
Ini memunculkan pertanyaan besar: apakah ini adalah solusi nyata untuk perbaikan gizi anak, ataukah sekadar langkah politik yang tidak berdampak signifikan?
Kondisi di lapangan juga menunjukkan banyak ketidakpuasan dari para siswa. Banyak siswa yang merasa bahwa rasa makanan tidak enak dan bahkan ada yang menyebutkan susu yang disajikan sudah terasa asam.
Makanan yang sudah dimasak sejak malam hari memang memiliki kualitas yang menurun, dan dalam banyak kasus, makanan yang disajikan tidak habis dimakan, karena bahan yang digunakan tidak disukai oleh para siswa.
Bahkan, ada laporan mengenai banyaknya pekerja dapur yang mengundurkan diri karena beban kerja yang terlalu berat, mengingat banyaknya jumlah makanan yang harus disiapkan, hingga mencapai 3.000 kotak di setiap dapur.
Masalah lainnya adalah bahwa program makan siang gratis ini memakan waktu yang cukup lama. Proses makan yang membutuhkan waktu sekitar satu jam mengakibatkan waktu belajar terbuang sia-sia. Siswa lebih banyak menghabiskan waktu untuk makan daripada belajar, yang jelas berpengaruh pada efektivitas proses pendidikan itu sendiri.
Program makan bergizi gratis memang terdengar seperti langkah yang baik dalam meningkatkan kesehatan anak-anak, tetapi realitas yang ada menunjukkan bahwa pelaksanaan program ini jauh dari ideal.
Alih-alih memberikan manfaat yang maksimal, banyak faktor yang perlu diperbaiki. Dari kualitas makanan, rasa yang tidak disukai siswa, hingga waktu yang terbuang, semua ini menunjukkan bahwa program ini mungkin perlu dievaluasi lebih lanjut.
Sebagai solusi jangka panjang, lebih baik fokus pada perbaikan sistem pendidikan itu sendiri, dengan memastikan bahwa kurikulum, metode pengajaran, dan pelatihan guru lebih memadai. Pemberian makan bergizi bisa jadi langkah positif, tetapi bukan satu-satunya faktor penentu dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kecerdasan anak.
Kita perlu lebih bijak dalam memandang kebijakan ini, agar tidak terjebak dalam proyek politik yang justru membebani anggaran negara tanpa memberikan hasil yang optimal.
***
*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |