TIMES MALANG, MALANG – Aktivis Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Blitar, Jawa Timur, Siska Sunarti, menyusun agenda preventif dan edukatif menyusul kasus perundungan yang terjadi di SMP Negeri 3 Doko, Kabupaten Blitar.
Kasus ini terjadi pada Jumat (18/7/2025), melibatkan 18 siswa yang diduga melakukan kekerasan fisik terhadap seorang siswa kelas VII. Kejadian tersebut terjadi di area belakang sekolah dan terekam dalam video yang kemudian viral di media sosial. Korban dilaporkan mengalami trauma psikologis, dan keluarga meminta penyelesaian melalui jalur hukum.
Siska Sunarti, yang juga menjabat sebagai pimpinan Yayasan Al-Kindi Tunas Pertiwi, menegaskan bahwa kekerasan terhadap anak tidak bisa ditoleransi dalam bentuk apa pun, sekalipun pelakunya juga masih anak-anak.
“Kekerasan pada anak tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun, meskipun pelakunya juga masih anak. Kita perlu telaah menyeluruh, terutama dari sisi pola asuh keluarga,” ujar Siska, Kamis (24/7/2025).
Menurutnya, perundungan merupakan persoalan yang kompleks dan harus ditangani dengan pendekatan menyeluruh. Edukasi tentang bahaya bullying perlu diberikan tidak hanya kepada korban, tetapi juga pelaku dan lingkungan sekitarnya.
Sebagai respons langsung atas insiden tersebut, Siska merancang sejumlah agenda sosialisasi dan edukasi yang menyasar sekolah, keluarga, dan masyarakat di Kecamatan Doko. Program tersebut meliputi:
- Edukasi ke SMPN 1, SMPN 2, dan SMPN 3 Doko untuk membangun pemahaman siswa tentang bullying dan dampaknya.
- Sosialisasi di PAUD Al-Kindi guna menanamkan nilai empati dan saling menghargai sejak usia dini.
- Diskusi bersama keluarga korban dan pelaku, yang sama-sama masih berusia anak, untuk mendorong pemulihan berbasis edukasi.
- Konsolidasi dengan aktivis komunitas Sapuan Blitar, Titim Fatmawati, dalam memperkuat jaringan perlindungan anak.
- Koordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Blitar untuk mendapatkan dukungan teknis dan kelembagaan.
“Gerakan ini untuk membentuk kesadaran kolektif. Tidak hanya menghukum pelaku, tapi memperbaiki sistem di sekitar anak,” tegasnya.
Siska juga menyoroti kurangnya akses edukasi parenting di wilayah pedesaan seperti Doko. Menurutnya, banyak orang tua yang menganggap bahwa menyekolahkan anak ke lembaga formal sudah cukup, tanpa menyadari bahwa pendidikan moral dan sosial anak tetap menjadi tanggung jawab keluarga.
“Sekolah formal tidak sepenuhnya fokus pada pendidikan moral. Anak-anak akhirnya belajar dari lingkungan atau tontonan tanpa pendampingan,” jelas Siska.
Ia menambahkan bahwa banyak anak belum memiliki pemahaman bahwa bullying adalah tindakan yang melanggar hukum. Anak-anak juga cenderung meniru perilaku dari lingkungan sosial dan media yang mereka konsumsi secara bebas.
Siska menegaskan bahwa gerakan edukatif yang ia rancang bukanlah respons sesaat, melainkan bagian dari gerakan jangka panjang dalam membangun sistem perlindungan anak di tingkat desa.
“Sejak mengikuti pelatihan JPPA tahun 2018, saya terus mengupayakan gerakan zero bullying. Kami ingin mendorong kesadaran bersama bahwa kekerasan terhadap anak, dalam bentuk apa pun, harus dicegah sejak dini,” ungkapnya.
Ia berharap gerakan ini bisa menjangkau lebih luas hingga ke desa-desa lain di Kabupaten Blitar. Menurutnya, kolaborasi antarpihak menjadi kunci agar edukasi moral dan perlindungan anak tidak hanya dibebankan kepada sekolah.
“Kami sudah menjalin komunikasi dengan dinas terkait untuk memperluas dampak dari gerakan ini. Harapan saya, masyarakat bisa melihat pentingnya edukasi moral, pola asuh yang sehat, dan perlindungan anak sebagai bagian dari pembangunan sosial yang berkelanjutan,” katanya.
Menurut Siska, upaya ini harus menjadi gerakan bersama, melibatkan seluruh unsur masyarakat. Ia menekankan bahwa tujuan utama bukan sekadar memberi hukuman, tetapi memperbaiki lingkungan tempat anak-anak bertumbuh.
“Langkah kami bukan untuk menyalahkan siapa pun, tapi untuk memperbaiki sistem yang menaungi anak-anak kita. Ini gerakan bersama,” tegasnya.
Program yang dirancang Siska Sunarti bersama JPPA Blitar menjadi upaya konkret untuk membangun kesadaran bersama dalam mencegah kekerasan terhadap anak. Kasus perundungan di SMP 3 Doko menjadi pengingat bahwa edukasi moral, penguatan pola asuh, dan sinergi antarpihak harus menjadi perhatian utama dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan ramah anak. (*)
Pewarta | : TIMES Magang 2025 |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |