TIMES MALANG, MALANG – Sambil tertawa, anak itu menyodorkan layar gadget kepada teman-teman yang ada di dalam kelas. Meminta siswa SMP yang lain, menonton apa yang dia lihat. Padahal, konten yang diperlihatkan bukanlah konten yang ramah untuk anak. Yang seharusnya tidak ditonton atau bahkan ditiru. Namun atas tindakan itu, Daffa (bukan nama sebenarnya) tidak bisa disalahkan sepenuhnya.
Pertama, karena konten itu memang muncul tanpa dia sengaja mencarinya. Algoritma media sosial (Medsos) yang begitu luas, seringkali menjadi lahan empuk bagi pihak yang tidak bertanggung jawab untuk membuat dan menyebarkan konten ber-aroma 18+ kepada siapa saja yang membuka Medsos.
Kedua, Daffa adalah anak disabilitas tunarungu dan tunawicara, yang sekaligus mempunyai keterbelakangan mental. Dia tidak sepenuhnya paham, mana konten yang seharusnya ditonton dan dibagikan dan mana yang tidak. Mereka sering kesulitan membedakan mana yang boleh ditiru dan mana yang seharusnya dihindari.
Cerita ini muncul dari kesaksian Evy Yuli Hastuti, Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Al-Fir Ma’unah, Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kepada TIMES Indonesia dia mengaku, dampak konten negatif di Medsos, membawa pengaruh yang luar biasa kepada anak SLB.
“Kalau anak normal, mungkin masih bisa diajak omong ya, bisa dinasihati. Tapi kalau anak ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) itu kan susah,” ucap Evy.
Kejadian Daffa waktu itu begitu membekas bagi Evy. Guru di sekolah yang kecolongan, merasa bersalah dan tidak bisa berbuat banyak. Kondisinya diperparah karena Daffa sebagai seorang penyandang disabilitas, belum sepenuhnya memahami bahasa isyarat. Sehingga guru tidak bisa dengan lugas menasihatinya.
“Begitu tahu, kita kasih nasihat, tapi susah. Jadi kita kasih nasihatnya ke anak-anak lain yang bisa ngomong lancar, supaya mereka yang mengingatkan temannya,” jelas Evy.
Tentu ini bukan satu-satunya kejadian yang pernah dia temui di sekolah. Satu kasus lain, dia juga pernah memergoki muridnya menonton video vulgar di salah satu platform Medsos. Awalnya, muridnya yang masih SD memang hanya iseng membuka gadget untuk mencari video Upin Ipin. Namun di tengah itu, muncul video 18+ di gawainya.
"Kita tahu sendiri waktu di sekolah.
Akhirnya kita tegur. Loh gak boleh lihat itu. Dia jawab "enggak kok". Ya memang dia gak nyari, itu muncul sendiri. Nah seperti itu kan bahaya. Itu masih kecil loh, walaupun dia gak paham, tapi kan dia melihat. Bisa jadi akhirnya mungkin penasaran juga," terangnya.
"Karena anak gini kan kurang pemahamannya. Saya khawatirnya ditiru. Kemudian, dipraktekan ke temannya, ini kan bahaya," lanjut Evy.
Sebagai seorang guru SLB, Evy banyak tahu soal kebiasaan muridnya, baik ketika di sekolah maupun di rumah. Menurutnya, para siswa, meski punya keterbelakangan mental, biasanya punya cara sendiri untuk mencuri-curi waktu bermain gagdet, agar tidak diketahui orangtua atau gurunya.
"kalau anak seperti ini kebanyakan tidurnya kan malam. Orang tuanya mau tidur, mereka pura-pura tidur. Ketika orangtua sudah tidur, dia bangun main HP. Kalau anak B ini, kalau buka HP, sudah vc sama teman-temannya yang lain," kata dia.
Menurutnya, konten vulgar yang ditonton murid berkebutuhan khusus, kebanyakan tidak mereka cari sendiri. Algoritma Medsos yang mengarahkan anak-anak untuk melihat adegan-adegan yang seharusnya tidak mereka lihat.
"Karena anak ABK ini, begitu melihat, dia dalam otaknya pasti gini, "oh saya harus begini ya". Kebanyakan seperti itu. Terus menyebarkan ke teman-teman yang lain," ujarnya.
Sehingga sebagai seorang guru, dia sangat mendukung upaya pemerintah, melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 17 tahun 2025, atau biasa disebut PP Tunas, untuk melakukan beragam pembatasan penggunaan Medsos bagi anak, untuk melindungi anak-anak itu sendiri.
"Saya sangat setuju sekali regulasi yang mengatur tentang pembatasan konten untuk anak sesuai dengan PP Tunas," tukasnya.
Konten Negatif yang Menjadi "Kurikulum Tersembunyi"
Fenomena anak terpapar konten negatif bukan hanya kekhawatiran para guru di sekolah luar biasa. Tetapi juga seluruh anak di penjuru Nusantara. Pakar bimbingan pribadi sosial dari Universitas Negeri Malang (UM), Prof. Dr. Arbin Janu Setiyowati, M.Pd., menyebut paparan itu sebagai hidden curriculum, yang menggerus nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan sekolah.
“Konten negatif seringkali menormalisasi perilaku buruk, seperti berkata kasar atau agresif, seolah itu sesuatu yang lucu atau keren. Anak jadi bingung membedakan mana yang benar dan salah,” jelasnya.
Menurut Prof. Arbin, dampak lain yang sering muncul adalah meningkatnya resistensi anak terhadap nasihat, serta berkurangnya empati. “Banyak konten negatif yang menjadikan orang lain sebagai objek lelucon atau cemoohan. Ini berpotensi mereduksi kemampuan anak mengembangkan empati,” tambahnya.
Dalam beberapa kasus, juga ada anak yang melakukan bullyng karena meniru konten di media sosial. Menurut Prof Arbin, sikap yang harus diambil orang tua dan guru untuk menyikapinya adalah harus tegas namun tidak reaktif. Fokus pada edukasi, bukan hukuman.
"Ajak anak berdiskusi untuk memahami motif di balik tindakannya. Bantu mereka menghubungkan dunia maya dengan konsekuensi nyata,” ujarnya.
Menurut wanita yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan 3 Fakultas Ilmu Pendidikan UM ini, langkah pemerintah untuk membatasi akses anak ke Medsos memang patut diapresiasi. Namun pembatasan menurutnya adalah solusi hilir.
“Yang paling penting adalah penguatan literasi digital dan pendidikan karakter. Anak harus punya filter internal yang kuat, sehingga mampu menolak konten negatif dengan kesadarannya sendiri,” tegasnya.
Dia pun memberi beberapa strategi dan rekomendasi untuk orang tua dan guru, agar apa yang telah diusahakan pemerintah melalui PP Tunas ini bisa berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Guru dan orang tua harus bisa menjadi teladan digital, dimana perilaku digital orang tua adalah guru terbaik.
Selain itu, mereka juga harus bisa menciptakan komunikasi terbuka, membangun suasana dimana anak berani dan bebas bercerita tentang apa pun yang mereka temui di dunia maya. Bahkan yang aneh, tanpa takut dimarahi.
"Orang tua dan anak bisa membuat kesepakatan digital keluarga, yaitu dengan melibatkan anak dalam membuat aturan bersama. Kapan boleh main gadget, dimana saja area bebas gadget, dan apa konsekuensinya jika dilanggar," tuturnya.
Selain itu, dia juga menyarankan agar guru bisa terus update pengetahuan. Karena guru juga perlu terus belajar tentang tren digital terbaru agar tetap relevan dan memahami dunia yang sangat digandrungi siswa
Meski dibatasi, baginya, sangat mustahil untuk melindungi anak 100% bebas dari konten negatif. Untuk itu, penguatan literasi digital adalah hal fundamental yang harus diberikan untuk mempersiapkan anak banga menjadi digital citizen yang tangguh, cerdas, dan beretika.
Diibaratkan Prof. Arbin, menjaga anak di dunia digital sama seperti mengajari mereka menyeberang jalan. Kita tidak bisa selamanya melarang mereka keluar rumah, tapi kita bisa membekali mereka keterampilan agar selamat.
Dia menegaskan bahwa keamanan digital anak adalah tanggung jawab bersama. Platform memiliki tanggung jawab etis untuk mendesain produk yang lebih aman. Pemerintah memiliki tanggung jawab tentang regulasi.
"Sedangkan fondasi terkuat tetap harus dibangun di rumah dan sekolah melalui pendidikan, komunikasi, dan teladan perilaku," pungkasnya.
Tantangan Attention Span Generasi Digital
Pakar linguistik dan budaya dari Universitas Brawijaya, Sahiruddin, S.S., M.A., Ph.D., menyoroti persoalan lain. Yakni menurunnya attention span generasi digital. Jika generasi lama bisa fokus hingga 40 menit, kini rata-rata anak hanya mampu bertahan sekitar lima menit. Konten negatif memperburuk kondisi ini karena bias negatif membuat otak lebih memperhatikan informasi buruk. Akhirnya muncul stres, kecemasan, dan penurunan konsentrasi.
Menurut Sahiruddin, hal ini berdampak langsung pada efektivitas belajar mengajar. Dia menyebut, tantangan guru saat ini adalah menyesuaikan metode pembelajaran agar lebih mikro, ringkas, namun tetap padat isi. “Kalau seperti zaman dulu, pelan-pelan, generasi sekarang sudah diskip,” ujarnya.
Pria yang juga sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya ini mencontohkan kebijakan di Australia yang melarang anak di bawah 16 tahun bermain media sosial. “Kalau di Indonesia belum sampai melarang. Tapi pembatasan usia dan konten adalah langkah preventif yang harus kita dukung bersama,” tambahnya.
Harapan Generasi Muda Bangsa
Di balik regulasi, ada harapan besar dari anak-anak yang merasakan langsung dampak dunia digital. Dua siswi SMP Laboratorium UM, Yuanitia Arita Mahila dan Aura Kasyafina Ramadhani, berharap, kedepan, anak Indonesia bisa lebih aman. Baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa konten negatif juga turut menjadi pendorong seseorang untuk melakukan hal negatif pula. Seperti kekerasan seksual.
“Kami berharap anak Indonesia terhindar dari kekerasan seksual. Itu bisa merusak masa depan, terutama bagi perempuan,” ungkap Yuanitia.
Aura mengajak teman-temanya untuk lebih bijak dalam menggunakan teknologi. “Kita juga sebagai pengguna harus lebih bijak lagi menggunakan teknologi di zaman sekarang,” pungkasnya. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Imadudin Muhammad |