TIMES MALANG, MALANG – Trem sebagai Tulang Punggung Perkebunan di Malang (1897-1930)
Trem mulai beroperasi di Malang pada tahun 1897. Fungsi trem saat itu adalah pengangkut hasil perkebunan berupa tebu untuk dibawa ke pabrik gula dan kemudian diolah. Rutenya Jagalan-Bululawang.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Malang, fungsi trem mulai berubah. Trem mulai difungsikan juga sebagai alat untuk mengangkut manusia sekitar tahun 1910-an.
Meski trem dan kereta api digunakan sebagai moda transportasi massal saat itu, masyarakat Bumiputera dilarang naik gerbong kelas satu. Gerbong itu hanya dipergunakan oleh warga Eropa.
Di samping itu, trem juga berfungsi sebagai alat pengangkut bahan bakar. Terutama untuk bahan bakar pesawat yang ada di Lapangan Bugis dan di samping mengangkut BBM menuju ke DEPO BBM yang ada di Jagalan.
Berdasarkan berita dari surat kabar Tjahaja Timoer edisi 20 September 1916, trem menambah jam operasinya hingga pukul 24.00 WIB guna mengangkut pedagang yang berasal dari Tumpang dan Dampit. Mereka biasanya pulang larut setelah berjualan di kawasan Kota Malang.
Dengan total panjang rel yang mencapai 88 kilometer membuat pertumbuhan sosial dan ekonomi di Malang bergerak pesat. Malang yang pada abad-19 merupakan daerah pedalaman mulai berubah menjadi daerah ramai.
Depresi Ekonomi Global dan Bisnis Trem yang Mulai Terpuruk (1931-1942)
Gondanglegi merupakan stasiun yang ramai angkutan penumpang dan barang karena terdapat percabangan dari Malang ke Dampit dan Kepandjen. Tampak suasana stasiun Gondanglegi pada tahun 1919.(Sumber: Universiteit Leiden, Nederland diambil dari kelsumbersari.malangkota.go.id)
Depresi ekonomi global yang terjadi mulai 1929 berdampak sistemik kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini juga berpengaruh pada banyak perusahaan kolonial di Indonesia. Termasuk yang ada di Malang.
Banyak pabrik gula di Jawa yang bangkrut saat itu dan berujung ditutupnya usaha-usaha yang berikatan dengan tebu. Akibatnya, luas tanah garapan tebu di Malang turun 50% dan produksi gula berkurang lebih banyak.
Tutupnya banyak pabrik gula membuat bisnis trem juga ikut terpengaruh. Perlu diingat, sebelum tahun 1910, gula merupakan muatan utama yang dibawa trem. Ketika muatan gula menurun drastis, pendapatan trem juga ikut menurun.
Pendudukan Jepang Makin Menenggelamlan Fungsi Trem (1943-1949)
8 Maret 1942 adalah hari terakhir penjajahan Belanda di Indonesia. Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang melalui Perjanjian di Kalijati, Subang.
Pengalihan keuasaan itu juga mengubah banyak hal. Termasuk bisnis trem.
Jepang membuat kebijakan-kebijakan baru yang berbeda yang merugikan bisnis trem lebih dalam. Jepang bahkan membongkar jalur trem rute Gondanglegi-Kepanjen sepanjang 17 km pada tahun 1943.
Namun, Pabrik Gula Krebet masih difungsikan. Nah, fungsi trem masih eksis untuk mengangkut gula dari Stasiun Malang Kota Lama menuju Surabaya. Selain itu, trem juga masih digunakan sebagai transportasi massal dan tetap digunakan untuk mengangkut BBM dan avtur menuju Lapangan Terbang Bugis.
Hal tersebut terus berlanjut sampai awal kemerdekaan tahun 1945. Fungsi trem saat itu lebih banyak dijadikan sarana transportasi umum. Jumlah penumpangnya jauh meningkat dibanding pada masa pendudukan Jepang. Penumpang trem umumnya adalah para pedagang yang berasal dari wilayah pedesaan yang menjajakan dagangannya menuju kota.
Trem mulai berubah fungsi lagi ketika pemerintah Indonesia menetapkan Perjanjian Renville pada 1948.
Inti isi dari Perjanjian Renville adalah TNI harus meninggalkan daerah-daerah yang letaknya di tengah-tengah daerah Belanda, yang disebut daerah kantong.
Perjanjian Renville sangat merugikan TNI dan rakyat. Mereka ramai-ramai harus meninggalkan lokasi-lokasi yang strategis yang termasuk dalam kawasan Belanda. Kota Malang merupakan salah satu wilayah yang berada di bawah kekuasaan Belanda saat itu.
Pribumi harus meninggalkan Kota Malang dan pergi menuju Kabupaten Malang. Trem yang semula digunakan untuk transportasi masyarakat pun mengalami penurunan akibat dari kebijakan Perjanjian Renville tersebut.
Pendapatan trem pun mulai mengalami penurunan akibat dari pelarangan pribumi yang berada di bawah naungan Pemerintah Indonesia untuk memasuki wilayah kekuasaan Belanda. Begitu juga sebaliknya.
Kondisi perekonomian dan politik mulai berangsur stabil semenjak Konferensi Meja Bundar. Pada 15 Desember 1949, Kolonel Sungkono selaku Komandan Teritorial Jawa Timur menerima wewenang dan tanggung jawab atas keamanan wilayah Malang.
Kemunduran dan Penutupan Bisnis dan Operai Trem di Malang (1950-1979)
Pada 1950 kondisi perekonomian di Malang mulai membaik. Namun tidak buat nasib alat transportasi trem.
Malang mulai ramai dengan kendaraan modern. Meningkatnya volume kendaraan yang semakin meningkat membuat semakin banyak rute trem yang dibongkar terutama jalur trem yang sudah ada dianggap mengganggu kenyamanan pengendara.
Djawa Post pada edisi tanggal 10 Maret 1953 memberitakan jalur trem yang menghubungkan Jagalan-Blimbing dibongkar karena banyak pengguna jalan raya yang terjatuh bahkan tertabrak trem yang sedang melintas.
Bisnis trem semakin mengalami penurunan pendapatan. Operasi trem mulai sedikit demi sedikit ditutup. Yang tersisa saat itu, hanya jalur untuk mengangkut pedagang yang berasal dari Dampit menuju Jagalan.
Jalur itu masih dinilai penting karena memuat pedagang yang mengangkut kebutuhan pokok seperti beras, pisang, arang, tepung tapioka, dan ketela. Jalur itu juga masih tetap difungsikan sebagai alat transportasi penting yang mengangkut BBM menuju Depo BBM dan juga ke Lapangan Bugis.
Nasib dan sejarah trem di Malang akhirnya berakhir pada 1979.
Pengoperasian trem di Malang diberhentikan oleh pemerintah. Alasan utamanya adalah kondisi trem yang sudah usang serta sebagian besar masyarakat Malang sudah mulai beralih ke kendaraan lain yang lebih modern. Baik berupa kendaraan umum (oplet) maupun kendaraan pribadi seperti mobil atau sepeda motor.
Memang trem dan jalur trem sudah punah di Malang. Namun sejarah trem tak akan pernah punah dan akan tetap jadi bagian tak terpisahkan dari kota Malang dan Kabupaten Malang.
(Pewarta: Dhea Puja Ananda)
--------------------
Tulisan ini disadur berdasarkan tesis berjudul "Ekspolitasi Trem di Kabupaten Malang (1879-1979)" karya tulis Cahyo Tri Wibowo, Skripsi, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Malang, November 2013.
Pewarta | : Dhea Puja Ananda (MBKM) |
Editor | : Faizal R Arief |