TIMES MALANG, MALANG – Selalu ada makna dan tawa kritis disetiap ruang diskusi yang di hadiri oleh Ach. Dhofir Zuhry. Kali ini ia datang kesekian kalinya dalam acara peluncuran dan diskusi buku yang di tulisnya.
Buku terbaru itu berjudul "Filsafat Timur (bukan) untuk Pemalas" sebagai edisi lanjutan buku sebelumnya yaitu "Filsafat untuk Pemalas".
Buku yang menawarkan persoalan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari itu membuat karyanya selalu menarik bagi semua kalangan untuk membacanya.
Ach. Dhofir Zuhry, dalam sekapur sirih bukunya mengajak pembaca untuk merenung dalam dirinya.
"Pencarian terakbar adalah mencari diri sendiri. Perjumpaan paling Kudus adalah menjumpai diri sendiri. Karena upaya mengenali diri sendiri tidak jatuh dari langit, maka dengan tekun manusia harus mengupayakan saat demi saat, dengan filsafat," katanya.
Lebih lanjut, Ach. Dhofir Zuhry menjelaskan bahwa filsafat tidak lahir di Barat saja, tapi sudah ada saat manusia mulai berpikir untuk mengelola hidupnya.
“Filsafat itu ada untuk ditolak, tidak seperti agama yang hadir untuk diterima dan dijalankan,” ucapnya disambut senyum dan anggukan peserta diskusi di Gramedia Kayutangan, Sabtu (07/06/2025).
Filsafat yang Membumi, Tak Terjebak Pengultusan
Dengan gaya yang ringan namun tajam, diskusi berkembang pada bagaimana filsafat Timur hadir tidak dalam ruang akademik saja, tapi juga di dapur, di kamar, bahkan saat kita sedang ngobrol santai di warung kopi.
“Filsafat hidup” ini, kata Ach. Dhofir Zuhry, justru hadir di tengah aktivitas paling remeh sekalipun, dari tidur sampai bersosialisasi.
Pernyataan-pernyataan Ach. Dhofir Zuhry yang penuh satire pun mengundang tawa sekaligus renungan:
“Tuhan kita tidak pernah tersinggung. Yang tersinggung itu cuma Tuhannya orang-orang yang gampang tersinggung.”
“Manusia paripurna? Ya yang gak ngerepotin mertua. Itu udah filsuf banget.”
“Anak-anak hebat itu lahir karena zamannya. Kalau kamu lahir di zaman Nabi, bisa jadi kamu malah pengikut Abu Jahal.”
Tak luput dari kritik tajamnya, Ach. Dhofir Zuhry juga menyinggung soal identitas keagamaan yang sering dijadikan alat pembenaran diri.
“NU gak penting. Tapi kenapa banyak yang tersinggung ketika saya ngomong begitu? Karena mereka sudah menganggap NU itu agama. Di situlah bahayanya: ketika filsafat diperlakukan seperti agama,” jelasnya.
Menjemput Pencerahan dari Timur
Menurut Gus Dhofir akrab disapa itu sudah saatnya kita tidak lagi menggantungkan identitas pemikiran pada Barat, melainkan mulai menggali pencerahan dari akar dan nilai-nilai Timur yang selama ini luput dari perhatian.
Gus Dhofir mengajak pembaca dan peserta diskusi untuk tidak berhenti belajar hanya demi gelar atau status, tapi demi menjadi manusia seutuhnya.
“Banyak orang belajar bukan untuk menjadi manusia. Mereka justru mencari identitasnya di tempat lain, lalu menutup diri dari kebenaran yang berbeda,” tambahnya.
Sementara itu, Fahrudin Faiz, tokoh yang juga dikenal sebagai ahli filsafat turut memberi kata pengantar dalam buku itu. Ia menegaskan bahwa penulis buku "Filsafat Timur (Bukan) untuk Pemalas" tidak di ragukan lagi khidmatnya kepada dunia Filsafat.
"Melalui gaya, kreativitas dan karya-karyanya, beliau mampu memberikan warna tersendiri terhadap dunia Filsafat di Indonesia," ujarnya.
Fahrudin Faiz juga menyebut Gus Dhofir adalah salah satu representasi dari figur seorang filsafat Timur masa kini, khususnya di Indonesia.
"Gaya tutur Dhofir, baik secara lisan maupun tulisan, yang santai namun tetap dalam," tegasnya.
Peluncuran buku ini membuktikan bahwa filsafat tidak selalu kaku dan membosankan. Dalam tangan penulis seperti Ach. Dhofir Zuhry, filsafat menjadi hidup, bernyawa, dan menyapa kita dalam bahasa yang dekat-kadang menyentil, kadang menertawakan, tapi selalu mengajak berpikir.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |