TIMES MALANG, MALANG – ‘Bahasa’, seringkali menjadi alat tempur paling efektif untuk melanggengkan atau merebut sebuah kuasa.
Terlebih dalam kontes perpolitikan dan pemerintahan suatu daerah. Kondisi ini pun semakin pelik, didukung dengan perkembangan teknologi yang sedemikian pesatnya.
Hal tersebut menjadi poin yang disampaikan Soe Tjen Marching, penulis, dan feminis saat diskusi mengenai bahasa, sastra, dan kuasa, Bincang Santai Apa Itu Neo-Orba pada Minggu (13/04/25) di Kafe Pustaka, Jalan Pekalongan No. 1 Kota Malang.
“Perang hari ini itu sudah beda. Sekarang sudah ada media sosial,” ujar Soe Tjen, yang juga dosen senior dalam bidang Bahasa dan Kebudayaan di SOAS University of London.
Lapak buku Griya Buku Pelangi di luar ruang acara. Lelaki berkaos hitam: Deni Mizhar, pendiri Pelangi Sastra Malang (FOTO: M. Arif Rahman Hakim/TIMES Indonesia)
Wanita kelahiran Surabaya itu memiliki perhatian yang mendalam dan kritis perihal isu politik, khususnya pemerintahan.
“Kita harus kritis kepada mereka, jika tidak, kita akan dipengaruhi oleh bahasa mereka.”
Permainan bahasa, bagi Soe Tjen memiliki peran yang sangat vital dalam membangun relasi kuasa di benak publik.
Ia bercerita, temannya yang ia kenal cukup pintar, bahkan sempat berubah pandangan mengenai rekam jejak seorang tokoh yang dinilai kontroversial sebab terpapar konten di sosial media, tanpa mempelajari sejarah dan riset yang ada terlebih dahulu.
Ini menunjukkan betapa saat ini, algoritma media massa mampu dimanfaatkan siapapun termasuk banyak pihak berkepentingan untuk memanipulasi atensi publik.
Setiap klik di media sosial—setidaknya mampu merepresentasikan kebutuhan dan kegemaran penselancar media—dapat direkam untuk dipelajari, lalu selajutnya data yang terkumpul itu bisa menjadi bahan dasar pembentukan strategi kampanye dengan persentase dukungan tinggi.
Sastra di Mata Soe Tjen
Membicarakan peran bahasa, tentu peran sastra juga tak bisa lepas darinya. Soe Tjen mengungkapkan keresahannya, sastra seringkali dianggap rendah oleh masyaramat umum, juga pemerintah.
Tetapi di saat yang bersamaan sastra tak jarang mengundang ketakutan berlebih bagi pihak pemerintah otoriter. Ini paradoks. Mengapa suatu yang dianggap rendah dan remeh dianggap begitu mengancam dan jika perlu dihapuskan?
Ia mencontohkan, semisal, pada era kolonial, pemerintah Hindia-Belnda begitu kalang-kabut dengan buku karya Multatuli, Max Havelaar.
Hal ini sama halnya dengan Orba yang sangat memandang karya-karya Pramoedya sebagai berkas-berkas yang dipropagandakan kepada masyarakat sebagai bacaan yang musti dihindari kala itu.
Soe Tjen mencontohkan, buku Anak Semua Bangsa. Buku itu bercerita tentang kritik terhadap pemerintah Belanda, tetapi kenyataannya banyak diisukan terbalik.
Peserta khidmat menyimak materi yang sedang dibincangkan dan didiskusikan oleh pemateri dan moderator (FOTO: M. Arif Rahman Hakim/TIMES Indonesia)
Buku tersebut sering dikampanyekan pihak-pihak berkepentingan kepada masyarakat bahwa itu buku adalah ajaran Komunis yang harus dijauhi (lebih sialnya, mereka sendiri belum memahami apa itu komunis sendiri). Mereka seakan sangat ketakutan akan bacaan-bacaan bergaya tersebut.
“Indonesia ini berhasil mengusi Belanda dan Jepang, tapi belum berhasil mengusir (sosok) penjajahnya (yang sekarang berasal dari bangsa sendiri),” cakap Soe Tjen.
Akhir acara, Soe Tjen kembali mengingatkan, hari ini banyak sekali kemiripan tragedi dengan masa Orba.
Misalnya, meluasnya wewenang apatatur neggara ke wilayah sipil. Atau bahkan teror yang ditujukan kepada pihak-pihak lantang memberikan krtitik kepada otoritas, bandingkan keluarga Gus Dur semasa Orba dengan Tempo yang beberapa waktu lalu mengalami teror. Bagi Soe Tjen ini memiliki pola yang mirip.
Ia mengimbau kepada peserta forum, jika ada ketidaksesuaian dalam kebijakan, maka kita pantas menyuarakannya. Itu adalah bentuk kepedulian kita sebagai warga negara agar Indonesia semakin baik kedepannya, “Sebarkan, sebarkan, sebarkan. Jangan berhenti. Jangan menyerah."
Diskusi menarik ini digelar Pelangi Sastra Malang dengan menggandeng Komunitas PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia) Malang.
“Kami (Pelangi Sastra) selalu ingin membagikan banyak hal dan mendiskusikannya kepada Masyarakat,” ungkap Cahyaing, anggota Pelangi Sastra. (*)
Pewarta | : M. Arif Rahman Hakim (Magang MBKM) |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |