TIMES MALANG, MALANG – Prof. Dr. Mundi Rahayu, M.Hum menjabarkan soal perbedaan peran perempuan dalam film Indonesia pada masa Orde Baru dan pasca reformasi. Hal itu dia sampaikan saat dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Cultural Studies UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Rabu (4/12/2024) di Gedung Rektorat lantai 5.
Dalam pidato ilmiahnya yang berjudul "Melampaui Representasi: Agensi Perempuan Dalam Narasi Film Islami Indonesia" dia mengupas bagaimana perempuan direpresentasikan dalam film Indonesia dari masa ke masa, terutama dalam konteks perubahan sosial, budaya, dan agama.
Profoser ke 7 di Fakultas Humaniora UIN Malang ini menjelaskan bahwa representasi perempuan dalam film Indonesia mengalami perubahan signifikan antara masa Orde Baru (1966-1998) dan era Reformasi (pasca-1998).
Pada masa Orde Baru, narasi perempuan dalam film cenderung terkungkung dalam peran-peran domestik yang tradisional. Perempuan digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang setia, istri yang patuh, atau objek pelengkap bagi laki-laki. Pemerintah melalui lembaga sensor turut mengarahkan narasi film agar sesuai dengan ideologi nasional dan nilai-nilai keluarga konservatif.
"Akibatnya, film-film masa itu sering kali membatasi peran perempuan hanya sebagai pendukung atau subordinat laki-laki," ucapnya.
Namun, setelah era Reformasi, narasi perempuan dalam film Indonesia mulai berubah secara signifikan. Prof. Mundi menyoroti bahwa perempuan kini tampil lebih beragam dan aktif, tidak hanya dalam peran domestik tetapi juga sebagai tokoh profesional, aktivis, dan pemimpin yang memperjuangkan hak-haknya.
Dia mengangkat contoh film Siti (2014) dan Kartini (2017). Dalam Siti, misalnya, perempuan digambarkan menghadapi tantangan sosial dan ekonomi sambil tetap berjuang untuk perubahan hidupnya. Sedangkan Kartini menampilkan kompleksitas perjuangan perempuan melawan struktur sosial yang membatasi mereka.
Pidato Prof. Mundi juga menyoroti bagaimana perempuan direpresentasikan dalam film-film Islami Indonesia, seperti Ayat-Ayat Cinta (2008), Perempuan Berkalung Sorban (2009), dan Emak Ingin Naik Haji (2009). Film-film ini, menurutnya, berperan penting dalam mencerminkan dinamika perempuan Muslim yang hidup di tengah persinggungan antara tradisi agama dan modernitas.
Prof. Mundi menjelaskan bahwa film Islami tidak hanya menggambarkan perempuan sebagai figur yang taat pada ajaran agama, tetapi juga sebagai agen perubahan yang berani memperjuangkan hak-haknya. Dalam Ayat-Ayat Cinta dan Perempuan Berkalung Sorban, perempuan digambarkan menghadapi konflik antara ajaran agama dan tuntutan sosial.
Mereka harus menegosiasikan identitas mereka di tengah masyarakat yang cenderung patriarkal, sambil tetap mempertahankan keyakinan mereka. Sementara itu, Emak Ingin Naik Haji menunjukkan perjuangan perempuan dalam konteks keluarga, menyoroti dedikasi dan keteguhan mereka untuk mencapai tujuan spiritual.
Lebih jauh, Prof. Mundi mengulas konsep agensi perempuan dalam film-film Islami. Menurutnya, agensi perempuan tidak hanya diwujudkan melalui pemberontakan terhadap norma-norma tradisional, tetapi juga melalui upaya untuk mendefinisikan ulang apa artinya menjadi perempuan Muslim yang modern di Indonesia. Film-film tersebut menggambarkan perempuan yang menolak praktik budaya yang merugikan, seperti diskriminasi gender, sekaligus mencari peluang profesional dan otonomi pribadi tanpa mengorbankan nilai-nilai agama.
“Film-film Islami tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga medium yang kuat untuk merepresentasikan dinamika perempuan Muslim di tengah perubahan sosial yang kompleks. Film-film ini menunjukkan bagaimana perempuan mampu beradaptasi dengan modernitas tanpa kehilangan identitas spiritual mereka,” ungkap Prof. Mundi.
Ia juga menyoroti bahwa representasi perempuan dalam film Islami mencerminkan peran mereka dalam menciptakan dialog sosial yang lebih luas mengenai gender, identitas, dan peran perempuan di ruang publik. Film-film tersebut menjadi ruang negosiasi antara tradisi dan modernitas, yang mencerminkan pengalaman dan aspirasi perempuan dalam masyarakat kontemporer.
Prof. Dr. Mundi Rahayu, M.Hum, dikenal sebagai salah satu akademisi terkemuka di bidang Cultural Studies. Dalam karier akademiknya, dia telah banyak berkontribusi pada kajian-kajian budaya, gender, dan representasi media. Penelitian-penelitiannya kerap mengeksplorasi bagaimana budaya populer, termasuk film, menjadi medium untuk memahami dinamika sosial dan identitas. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |