TIMES MALANG, MAGELANG – Ribuan warga meramaikan acara grebeg ketupat atau grebeg kupat yang digelar di Lapangan Drh. Soepardi, Sawitan, Kabupaten Magelang, Minggu (6/4/2025).
Ada lima gunungan ketupat yang terlihat dalam acara yang baru kali pertama ini digelar. Sementara itu ada 2 gunungan ketupat yang ketupatnya akan diperebutkan oleh para penonton. Gunungan ketupat itu disusun dari 2025 selongsong ketupat.
Di dalam ketupat -ketupat itu juga telah diisi berbagai hadiah (voucher), tempat wisata dan uang tunai, mulai Rp.2.000 sampai Rp.100.000 ribu.
Bupati Magelang, Grengseng Pamuji mengatakan bahwa acara tersebut merupakan yang pertama digelar di Lapangan Drh. Soepardi. Sebelumnya grebeg kupat ini diadakan di Dusun Ndawung, Banjarnegoro, Mertoyudan.
"Semoga acara grebeg kupat ini bisa menjadi acara rutin tahunan pada setiap lebaran," ucapnya.
Sejarah Ketupat
Dihimpun dari berbagai sumber, sejarah ketupat diyakini berawal dari masa Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga, yang memperkenalkannya sebagai bagian dari dakwah Islam di tanah Jawa.
Tradisi ini dikenal dengan istilah "Bakda Kupat," yang berlangsung seminggu setelah Idul Fitri.
Dalam acara Bakda Kupat, ketupat biasanya disajikan sebagai simbol rasa syukur kepada Allah sekaligus permohonan maaf atas kesalahan yang telah dilakukan selama setahun terakhir.
Sunan Kalijaga memanfaatkan ketupat sebagai media dakwah untuk memperkuat makna religius dalam budaya Jawa.
Filosofi Ketupat
Ketupat menyimpan filosofi yang kaya dan mendalam. Kata "ketupat" dalam bahasa Jawa berasal dari "ngaku lepat," yang berarti mengakui kesalahan.
Makna ini menjadi dasar tradisi saling memaafkan di Hari Raya Idul Fitri. Bentuk anyaman daun kelapa muda yang membungkus ketupat melambangkan kompleksitas kehidupan manusia dengan berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi.
Sementara itu, bagian dalam ketupat yang putih dan bersih setelah dimasak mencerminkan hati yang telah bersih, baik setelah menjalani puasa ramadhan ataupun meminta maaf di saat Idul Fitri.
Makna Simbolik
Selain filosofi religius, ketupat juga memiliki makna simbolik yang berkaitan dengan kehidupan.
Anyaman daun kelapa muda yang biasa disebut dengan Janur, diyakini memiliki kekuatan untuk menangkal bala atau energi negatif.
Lebih dari itu, ketupat juga menjadi simbol kemakmuran, kesatuan, dan rasa syukur yang mendalam.
Bagi masyarakat Jawa, bentuk segi empat ketupat mencerminkan prinsip "kiblat papat lima pancer," yang melambangkan keseimbangan hidup dengan pusat spiritual yang kuat.
Atas dasar dan keyakinan itulah, ketupat menjadi bagian yang tidak terpisahkan saat Hari Raya Idul Fitri, khususnya bagi masyarakat Jawa Tengah. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Grebeg Kupat Digelar di Sawitan Magelang, Ini Sejarah dan Maknanya
Pewarta | : Hermanto |
Editor | : Ronny Wicaksono |